Chapter 6

6.5K 486 13
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Chapter Enam

Untung saja Matt menyingkir dari hadapanku, atau aku akan benar-benar mematahkan lehernya. Ditemani Melanie, kami pun pergi ke bank bersama-sama, dengan setumpuk uang mengisi tasku. Selama perjalananan, kakakku itu berulang kali mendesakku untuk menjelaskan perihal 'pacarku', karena aku hanya membungkam. Tiba giliran kami di bank tersebut, aku pun menjelaskan pada petugas bank untuk memeriksa uang yang kami dapatkan.

Melanie menarik tanganku. "Siapa pria itu? Mengapa kau tidak cerita..."

"Mell, apa kau percaya si brengsek itu?" Lebih banyak uang keluar dari tasku. "Dia itu pembual. Mana mungkin—" bahkan aku tersedak suaraku sendiri. "Aku punya pacar? Dia setengah mabuk ketika aku bertemu dengannya."

"Begitu kah?"

"Yah, dan berhentilah mengoceh lantas bantu aku," Aku melihat barisan uang itu menumpuk di depan mata kami, sementara sang petugas dengan cekatan memeriksa uang itu dengan penuh ketelitian. Setelah semua uang terkumpul, kami pun menunggu dengan aku yang berdiri dengan tenang sedangkan Melanie terus menyenggol lenganku. "Mel!" kesabaranku nyaris habis.

Melanie mengerang, "Ayo, cerita, siapa sih pacar adikku?!"

Setelah petugas itu kembali memberikan uang kami—semuanya asli—akhirnya aku dan Melanie keluar, mendapati Matt masih menunggu kami. Aku langsung masuk ke kursi belakang. "Mel, berhenti bicara, sekarang kita harus menyelesaikan beberapa urusan. Matt, cepat masuk." Pria itu patuh pada perintahku, bahkan lebih mirip pembantuku sekarang.

Tetapi kakakku, bergeming saja. "Ceritakan dahulu, siapa pacarmu!"

"Aku tidak punya pacar, astaga," kataku seraya menarik tangannya, membukakan pintu depan, dan mendorongnya masuk. "Atau aku akan sangat marah, dan tidak mau lagi tinggal bersamamu."

Matt mulai menyalakan mesin ketika Melanie menoleh ke belakang, dan aku sudah memasang wajah datarku. "Cerita?"

"Tidak," tukasku dengan tegas, memilah uang tadi lagi untuk kumasukkan ke kantung yang lebih kecil. "Sana, kembali melihat ke depan." Sementara Matt menyetir, Melanie pun terdiam sedangkan aku perlu untuk menghitung uang itu lagi berulang kali, sebelum menghela napas.

"Memang kita mau ke mana?" tanya Matt setelah bangunan bank sudah menjauh di belakang. "Kau tidak bilang apa-apa."

Si bodoh ini!

"Heh, jadi daritadi kau menyetir tanpa tujuan?" Pria itu pun hanya menggeleng cepat. "Dasar," aku mengertakkan gigiku. "Ke arah rumahku."

"Kita ke apartemen? Aku pikir ada urusan penting," ujar Melanie di kursinya. "Kau bilang sendiri."

Aku mendesis. "Yah, memang. Maksudku rumah lama kita, rumah orang tua kita," Matt dan Melanie sama-sama berpandangan. "Aku punya urusan di sana, dengan semua ini."

*

Rossel menyambut kami, pria setengah baya itu dengan gigih membukakan gerbang sementara Matt mulai memarkirkan mobilnya masuk. "Aku tidak punya waktu, mobil ini harus segera mungkin aku antar, apa aku boleh pergi duluan?" Aku mengangguk, dia dan keluarga kami memang tidak akur, ralat, aku bahkan Melanie pun tidak pernah akur kepada keluarga ini.

Bedanya, sekarang, aku tidak mau menghindarinya.

Tinggalah kami berdua yang turun, dengan Melanie mendekap tanganku. "Apa kau yakin? Kita bahkan ..."

"Diamlah," kataku mulai mengendong tas di punggung, dan kantung di tangan. Setelah menekan bell, bahkan aroma rumah ini masih sama, palem dan juga segar mint, aku pun menarik napas mengisi paru-paruku dengan udara yang ada. Satu sosok itu pun terkesiap melihat kami berdua.

"Reene ... Melanie?" Bibirnya gemetar melafalkan nama kami. Tidak lebih dari sedetik, ia langsung mendekap kami.

"Siapa dia, Mary?" Satu suara terdengar, hah, harusnya aku tidak heran. "Siapa tamunya? Apa dia tamu dari Florida?" Suara itu masih mendominasi ruangan, ketika aku dan Melanie manrik diri, dan masuk begitu saja.

"Sayang, ini Reene dan Melanie!"

Dad muncul dengan tergopoh-gopoh lantas mengerutkan sepasang alis tebalnya. "Ada apa ini? Kalian mulai berpikir untuk kembali?" Ia tertawa kering. "Mana mungkin? Uang kalian habis? Apartemen kalian terbakar? Atau tidak ada uang untuk membeli make up?"

"David!"

Dad hanya menggeleng pelan sewaktu aku dan Melanie masih berdiri di dekat sofa. "Katakan padaku, apa kalian membuat masalah lalu kemari untuk meminta bantuan kami? Kau pikir bisa seperti itu?"

Melanie berbisik pelan. "Kita pergi, Reene."

"Tidak." Aku pun maju ke hadapan mereka berdua, di saat Mom masih menatapku dengan berkaca-kaca, dan terkejut, aku pun melanjutkan."Kami tidak butuh semua itu justru kami kemari untuk alasan yang lebih penting."

"Apa? Hah? Satu-satunya yang bisa kalian lakukan adalah membuat masalah. Apa hal penting yang harus disampaikan? Bahwa kalian sekarang sudah bergabung dengan anggota geng brutal atau kalian bahkan hidup dari dunia malam?"

"David!" Mom memekik keras. "Jangan berani berkata macam-macam."

Dad hanya memalingkan wajahnya.

Aku pun menghela napas. Semua pikiran ini membuatku tidak bisa bersikap tenang lagi. Dad, kalau saja aku tidak punya urusan ini, aku mana mau menemuinya, bahkan melihat mukanya saja pun aku enggan. Aku membungkuk di lantai, seraya melepaskan tasku, Dad ataupun Mom mulai melihat bagaimana aku mengeluarkan uang-uang itu, semuanya sampai isi tas kosong, sedangkan kantung tadi—berisi uang untuk keperluan kami—sudah berada di tangan Melanie. "Aku ingin mengembalikan semua uang ini."

"Kau habis merampok bank?"

"Reene, uang darimana ini?"

Aku langsung mendorong tumpukan uang itu ke dekat kaki mereka. "Maaf, mungkin aku akan melunasinya nanti, tapi ... anggap saja itu bayaran karena kalian sudi menjadi orang tuaku, walaupun aku tahu, orang tua yang sebenarnya tidak mungkin bersikap kasar pada anak mereka sendiri, bahkan menyuruh mereka untuk pergi."

Mom sudah membungkuk hendak mendekapku. "Nak, tidak perlu ..."

Aku langsung bangkit, menarik tangan Melanie. "Terimakasih, kami harus pergi." Mom mengikuti kami, menahan tanganku dan Melanie sedangkan Dad mulai berteriak soal uang siapa ini, bagaimana kalau mereka ditangkap polisi, atau bagaimana kalau uang itu adalah uang negara yang kami berdua rampok bersama—dia tak pernah punya pikiran yang bagus tentang kami.

Di pelataran aku mendekap Mom. "Kami akan kembali."

"Kami pasti kembali, Mom," balas Melanie, ikut mendekap Mom.

"Setelah aku bisa buktikan pada Dad bahwa kami bukan anak-anak yang seperti itu," ujarku, coba menahan air mataku sendiri. Tidak mungkin hari ini lebih buruk lagi.

[]

Rogues (2017) ✔ (Akan Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang