CHAPTER SEBELAS
Siapapun harus menghentikan pria bernama Thomas itu! Aku bersumpah, atau aku akan mengemasi barang-barang lagi dan pindah ke Antartika! Sialan! Aku menelpon Melanie pada pukul empat pagi karena aku masih mendengar suara pria itu di luar kamar. Mengerikan sekali. "Aku tidak tahu dia siapa. Aku tidak pernah terlibat dengan semua ini. Apakah di sana ada Mom?" Aku tidak bermaksud meninggikan suaraku namun semalaman terus terjaga karena pria itu, cukup membuat tensi darahku melonjak tidak terkendali.
"Err, kurasa dia akan menceramahimu kalau kau bicara sekarang," jawab Melanie.
God!
"Jadi ini betulan? How about you?" Setengah berteriak, aku menempelkan ponselku tersebut. Setelah mendapatkan sedikit 'ketenangan', aku tidak menyangka badai ini akan datang lebih cepat daripada yang aku perkirakan.
"Aku tengah memikirkannya. Kau dicantumkan begitu pun aku, tapi kita berdua punya posisi yang berbeda. Kau menjadi pewaris, aku menjadi penerus untuk sejumlah bisnisnya di Brazil. Aku tidak mengerti, Daddy tidak pernah membicarkan ini."
Yah, karena pria itu memang sudah kehilangan akal! Aku ingin memaki keras. Namun menyadari itu tidak ada gunanya, aku mengulum bibirku dalam kemudian melirik ke arah pintu yang masih kukunci rapat, bahkan aku menahannya dengan bangku dan tidak lupa merantai gagang pintu saking gilanya makhluk bernama Thomas itu menerorku semalaman penuh.
Huh, mungkin aku harus pindah ke Antartika sekalian!
"Aku akan bicara denganmu nanti. Pastikan Mom tidak menyuruh lebih banyak asisten Dad untuk mendatangiku. I'm so done!" Aku pun menutup panggilan seraya memijat pelipisku. Kepalaku pening tidak terkendali, apalagi aku sudah meneguk aspiring namun aku tetap terjaga. Mungkin aku hanya tidur satu dua jam karena semua ini. Kantung mata langsung menggelayut di bawah mataku, rambutku kusut masai, aku seperti monster, secara jelas.
Bel bebrunyi seperti panggilan kematian. Setengah mendengus, aku akhirnya tidak tahan lagi. Aku mendorong kursi dengan bunyi keras, melepaskan rantai dengan serampahan kemudian memutar kunci. "JIKA ADA HAL YANG LEBIH GILA DARIPADA INI—"
"Reene?" Pria itu mematung kemudian melongok melewati tubuhku. Mungkin dia terkejut karena selimut dan bantal berceceran. Yah, sebut saja semalaman aku coba bereksperimen untuk tidur di manapun, membawa selimut dan bantal layaknya anak kecil yang ketakutan namun akhirnya menyerah tertidur di lantai dengan mengigil.
Xander menyipitkan matanya kepadaku. "Are you okay?"
"What the hell are you doing in here?" Aku mulai menatap awas ke arah sekitar koridor dan cukup terkejut karena pria mengesalkan itu tidak terlihat. Mungkin dia akhirnya lapar dan menyerah? Mungkin sarapan untuk mengisi energinya sehingga bisa merecokiku lebih lama. "Masuklah. Kita bicara di dalam."
Setelah memastikan Xander masuk, dan aku kembali mengunci pintu dengan pandagan awas, akhirnya aku menghela napas. Xander masih memandangiku dengan mimik bingungnya. "Maaf, ada pria sinting yang terus mengusikku dari semalaman. Tapi kau tidak perlu khawatir."
"Apakah dia menyakitimu?" Xander sontak maju lantasmenyentuh wajahku. "Dia melukaimu? Apakah—"
Aku menyingkirkan tangannya. "Dengar, apa yang kau lakukan? Aku kan sudah bilang, aku butuh waktu. Kau tidak mau mendengarkanku, huh?" Xander berdecak di tempatnya seraya mengusap sisi pipiku. Sejenak, aku dapat bernapas setelah semalaman ini hampir gila memikirkan bahwa akhirnya aku harus tampil di publik, diperhatikan ratusan mata yang lapar akan berita tentangku, pihak-pihak yang gatal untuk mendekatiku dan menjadikanku berdiri di atas kekuasaan Hadwitt—itu mimpi buruk. Namun, Xander berhasil membuatku tenang walaupun sebentar.
"Waktunya sudah habis. Jika aku perlu memberikanmu waktu lagi, kau sama saja berusaha membunuhku. So, ceritakan kepadaku."
Sejenak aku menunduk dalam. Apakah aku harus terbuka kepadanya? Perlahan aku mendongak untuk bertemu tatap dengan manik keemasan tersebut, yang berbinar dan menjeratku tiada henti. Semua ini membuatku geli karena sejak awal, aku sama saja; selalu terpikat dengan mata Xander. Warna keemasan yang membuatku tidak dapat melepaskan pandangan darinya.
"Uh, ceritanya panjang."
Xander pun mundur kemudian menarikku yang masih setengah linglung—kurang tidur dan kurang makan ini—ke dekat sofa. Dia menyingkirkan beberapa bantal yang ada dan memanduku untuk duduk. Setelahnya, dia duduk di sebelahku. "Aku akan mendengarkannya, sekarang ceritalah." Aku menarik napas dalam.
Should I tell him?
*
Lidahku pahit, ucapanku terasa seperti racun yang getir. Tiap kali Xander menekuk wajahnya dan menatapku dengan instens, aku perlu menarik napaskemudian memutuskan kontak mata di antara kami. Aku menjelaskan nama belakangku—dia agak terkejut. Aku pun menjelaskan bagaimana aku selama ini hidup dalam bayang-bayang. Sekarang, aku merasa malu karena aku tidak ebrbeda darinya—berusaha menutupi identitas seperti pecundang. Di hadapan Xander, yang selama ini selalu kumaki karena tidak pernah jujur, aku merasa sangat kerdil.
"Sorry."
Xander mengusap dagunya. "Well, ini agak rumit. Kau bisa saja menyerahkan dirimu dan masalah ini selesai. Si gila itu pun akan enyah dari sana. Tapi ..." Aku mengigit bibirku menunggu kalimatnya. "Kita mungkin tidak akan punya kesempatan bertemu lagi. Kau bisa saja pergi lebih jauh; ke London, Paris, Milan, bahkan Australia. Aku tidak sanggup menghadapi itu."
"Jadi, kau punya ide?" Sejujurnya, aku hampir gila sekarang. Aku mendapatkan ide gila ini; aku perlu merekontruksi wajahku dan pergi dengan passportku ke tempat yang jauh. Atau aku perlu mengubah identitasku dan menjadi buronan sekalian. Aku buntu.
"Kau tahu aku punya beberapa ide gila."
Aku mendelik. "Dan kali ini, apakah itu cukup manjur? Aku tidak peduli jika itu gila atau bagaimana. Asalkan, aku bisa lepas darinya. Kau tahu, ini tidak main-main. Bukan hanya kontrak di atas kertas, mereka akan mencekikku secara tidak langung, mereka akan mengerakanku seolah aku robot. Secara jelas, jiwaku sudah dikontrol oleh mereka jika aku bergabung dalam bisnis sialan itu. Seperti Dadku."
Xander melipat bibirnya dalam. "Apakah Dadmu seburuk itu?"
"Aku ingin berbohong bahwa dia tidak seburuk itu. Tetapi, meskipunsudah sejauh ini, aku tetap saja tidak mendapatkan gambar yang tepat tentangnya. Dia serakah, dan arogan. Dia tidak pernah bisa mengerti aku, dan terburuknya, dia terus mengatur kehidupanku seolah aku adalah aset untuknya. Mengesalkan." Aku berusaha menghalau air mataku, namun itu jatuh begitu saja. Xander cepat menghapus tangisku namun aku menyingkirkan tangannya. Terlalu malu karena aku masih selemah ini di hadapannya.
"Kau berhasil membujukku."
Aku mengusap mataku dan menatapnya bingung.
"Welcome to Rogues!"
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Rogues (2017) ✔ (Akan Diterbitkan)
Roman d'amourDemi mendapatkan uangnya kembali, Reene rela melakukan apapun. Mulai dari mencari sosok Matt, si kekasih kakaknya yang terkenal brengsek, sampai mendatangi klab tersohor di kota bernama Rogues. Namun, siapa sangka karena tindakan nekatnya tersebut...