31 • Gimana Ceritanya?

249 23 2
                                    

****

Adel pasrah. Dia baru menyadari, bahwa dirinya adalah pembawa sial bagi siapapun. Kenapa dia masih saja memegang hubungan yang merepotkan bagi Alex?
Sudah jelas, ia yang mendominasi kisah cinta mereka dengan segala masalah yang Adel buat.

Matanya semakin membesar saja, bahkan menghitam. Rambutnya acak-acakan, bantal yang ia gunakan sebagai tumpuan kepala pun juga basah akibat air mata.

Hingga lamunan Adel pun terpotong oleh suara wanita paruh baya yang memanggilnya agar segera turun ke bawah menghabiskan sarapannya.

Adel menuruti perintah mama-nya, ia menghabiskan sarapan. Lalu mandi untuk menetralkan perasaannya. Setelah mandi, Adel meraih jaket yang tergantung di paku samping almari kayunya. Ia juga mengambil kunci motor sekupi pink miliknya. Memoleskan sedikit bedak bayi dan liptint tidak berlebihan kan, biar tidak kelihatan pucet sehabis menangis.

"Mah.. Adel ke rumah sakit dulu ya, mau nengokin temen," pamit adel sembari mencium punggung tangan mama-nya. Ya.. berharap mendapat uang bensin.

Tiba-tiba datang suara ghaib entah dari mana, "Temen apa pacar lo yang sakit?"

Adel bersumpah ia akan mengutuk kakak sialan yang selalu menempatkannya dalam interogasi mama-nya sendiri.

"Jangan sotoi Lo!" tukas Adel sambil mendelik ke arah Surya.

"Emang bener'kan? Dia pacar Lo, lagi sakit. Sono tengokin," goda Surya.

Adel tidak menggubris perkataan Surya yang terakhir. Adel lebih memilih melanjutkan kegiatannya pergi ke rumah sakit. Mama-nya pun juga tidak mau ambil pusing, toh sudah biasa mereka berdua bertengkar.

Entah mengapa Adel menjadi sangat berani hari ini. Dia menjadi percaya diri, dan sangat siap dengan segala risiko yang mungkin saja terjadi. Adel dengan kecepatan normal mengendarai sepeda motornya.

****

Ponsel di tangan Adel masih menunjukan pukul 9, tapi matahari sudah terasa sangat panas. Mungkin kiamat sudah dekat, begitu pikir Adel.

Adel menyeka keringat pada dahinya menggunakan punggung tangan, setelah melepas helm. Ia mengambil buah jeruk yang bertengger di motor Adel, Adel membelinya saat perjalanan ke rumah sakit. Ia ingat Alex sering membeli jus jeruk dengan teman-temannya, jadi jeruk bukan pilihan salah sekarang.

Adel menghela nafas, berusaha meyakinkan dirinya tentang apa yang harus ia lakukan nanti. Memasuki lobby rumah sakit yang penuh dengan orang sibuk menunggu antrean obat. Adel berusaha bertanya kepada suster dimana kamar Alex.

Adel segera menuju kamar Alex.

VVIP Melati

Setelah berkeliling beberapa kali, akhirnya Adel menemukan kamar Alex. Adel mengetuk pintu dengan hati-hati, bisa saja dia salah orang.

Orang yang membukakan pintu tentu sangat familiar, David.

"Eh, Elu Del. Masuk!" suruh David mempersilahkan Adel masuk.

Tidak heran lagi, bangsal VVIP memang tidak diragukan kelengkapannya. Full AC, televisi, kamar mandi di dalam, bahkan dilengkapi balkon yang cukup luas, tak lupa kulkas dan sofa empuk khasnya. Mata Adel sedikit membulat, sesegera Adel berlari ke arah Alex yang tengah asyik memakan bubur ayam dari tangan Sekar.

"Paapaan nih?!" gertak Adel. Ia segera meletakan sekantung jeruk di atas nakas, lalu merebut sendok dari tangan Sekar.

"Gila lu nyet?" sinis Sekar.

"Lo itu bayi Dugong!" balas Adel.

"Gue duluan kali yang dateng."

"Tapi gue pacarnya. Gue yang pantes nyuapin kak Alex."

"Suruh siapa dateng telat?" sindir Sekar sambil mengalihkan perhatiannya ke arah lain.

"STOP! Ingat ya.. ini rumah sakit, bukan gang sempit yang biasa buat Lo berdua berantem," jelas Alex menengahi.

"Daripada ribut, mending salah satu nyuapin gue.. nih aaaa," celetuk David lalu membuka mulutnya lebar-lebar. Yang benar saja, mulut David segera disumpel dengan kresek bungkus bubur ayam tadi oleh Adel.

"Makan tuh kresek! Ada bau ayamnya kan?" seru Adel.

Otomatis, kamar Alex penuh dengan gelak tawa yang terdengar dari ketiganya. Menyaksikan wajah David yang dimanyun-manyunkan seperti dede emesh gagal pdkt.

Tawa mereka terhenti saat Adel berkata, "Kalian bisa kasih aku waktu buat ngomong sama kak Alex gak?"

Sekar langsung melenggang pergi keluar tanpa permisi, ia hanya menitip salam untuk ibunya alex saja. Sedangkan, David ikut keluar setelah ngedumel beberapa saat.

Adel menarik nafas dalam-dalam, menyakinkan lagi bahwa tekadnya sudah bulat. Ia duduk di kursi sebelah ranjang Alex, "Kak?"

"Hm?" Alex menghentikan segala aktivitasnya lalu fokus menatap Adel yang siap-siap mengatakan sesuatu.

"Kayaknya kita nggak bisa terus deh kak," Adel menundukkan kepalanya menatap sepatunya.

"Gimana ceritanya Del? Lo minta putus?" tanya Alex memastikan perkataan Adel. Sedangkan Adel hanya mengangguk pasrah.

"Nggak.. nggak.. Lo pasti bercanda kan? Nggak lucu bercandaan Lo," elak Alex disusul tawa yang ia paksakan.

"Aku serius kak. Aku ngerasa, udah bawa bencana aja buat kak Alex."

"Bencana apa Del?" Alex mengubah nada suaranya menjadi serius.

"Yang pertama, aku udah bukan Adel yang dulu.. ak--aku... Vito udah ngambil--," Adel tidak melanjutkan kalimatnya, ia mengusap wajahnya kasar. Matanya ia paksa tidak berkedip, karena jika ia berkedip, air mata mungkin akan terlinang di pipinya.

"Yang kedua, aku udah bikin persahabatan kakak sama Vito hancur."

"Yang ketiga, kak Alex jadi kayak gini juga gara-gara aku. Aku itu nyusahin kak," Alex sudah tak kuasa menahan air matanya. Tangisnya tumpah begitu saja, ia mengusapnya dengan kedua tangannya bergantian. Seperti anak kecil.

"Tapi gue cinta sama Lo. Gue nerima Lo apa adanya Del," sahut Alex sambil meraih pergelangan tangan kanan Adel.

Melting di saat tidak tepat, batin Adel.

Mati-matian Adel menahan gejolak yang ditimbulkan oleh kontak fisik dari Alex, Adel menahan pipi yang memanas dan jantung yang berdegup lebih kencang.

"Aku harap kak Alex bisa lupain aku. Maaf atas semua masalah ini ya kak," ujar Adel lalu melepas genggaman tangan Alex dan berlalu. Menyisakan pisau di lubuk hati Alex.

Adel menutup kenop pintu, ada David yang sedang duduk di kursi tunggu. Adel menatapnya sebentar, lalu berlalu tanpa pamitan.

"Kesambet apa tuh anak. Matanya biru gitu," gumam David. Ia kembali masuk ke kamar Alex dirawat.

Alex menutup selimutnya sampai atas kepalanya, David semakin yakin ada something di hubungan mereka. Tapi David masih diam, menunggu saat yang tepat untuk bertanya. Ia tahu, keadaan temannya saat ini sedang buruk. Ia tidak mau memperburuk keadaan lagi.

Buliran air mata Adel masih saja mengalir, walau Adel mengusapnya berkali-kali. Seperti sia-sia saja usahanya. Ia memakai masker yang selalu ada di dalam tas-nya, lalu memakainya agar tidak terlihat ia sedang menangis. Ia sangat malas, jika harus menjawab pertanyaan dari tukang parkir tengil.

****

TBC...

Am I Stupid ? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang