Part 40

1K 50 4
                                    

Mata Thya membulat sempurna. Melihat tubuh kakaknya bersender lemas dengan dinginnya dinding. Thya terkejut, terlihat raut wajah panik, begitupun dengan Martin, Bella, dan Rafa yang berada dibelakangnya.

Thya berjongkok kemudian menghampiri Shiren, dia memegang kening milik Shiren yang terasa dingin, seperti es batu. Setitik air mata jatuh mengenai permukaan pipinya, Thya merangkul Shiren lalu memeluknya.

"Bangun, Kak." Thya berucap sedih.

Bella menghela napas perlahan, sejenak dia tahan untuk tak menangis. Tak lama, dia mengelus-elus pelan pundak Thya. "Thya jangan nangis dulu. Kita bawa Kak Shiren keluar yuk,"

Thya menoleh ke Bella, dan melepas pelukannya yang tidak terbalas oleh Shiren. Setelah itu Thya mengangguk sendu. Bella menengok ke belakang, dimana ada Martin dan Rafa. Kemudian dia mengedipkan satu matanya, "Gotong Kak Shiren," pinta Bella dengan suara kecil.

Martin dan Rafa mengangguk serempak.

***

"Kak, bangun Kak." Thya merengek kepada Shiren, karena sedari tadi sudah ia oleskan minyak kayu putih di hidung Shiren. Tetapi tetap saja, Shiren tidak bangun-bangun.

Wajah Shiren memucat pasi, bibir pinknya kini mengering putih. "Apa kita bawa aja Kak Shiren ke rumah sakit?" Rafa bertanya mengusulkan sesuatu dan membuat mereka menoleh.

"Nggak ah, kapok gue ke rumah sakit itu lagi." Martin menyahut.

Thya tidak menjawabnya, karena air matanya terus berjatuhan.

"Jangan ke rumah sakit dulu, kita tunggu aja Kak Shiren. Mungkin beberapa menit lagi dia akan sadar." kata Bella.

Rafa mendengus kesal, dia tak terima ide-nya dikacaukan begitu saja dengan perkataan Bella serta Martin. Maka menjadi kalah suara satu lawan dua. "Ya udah si,"

Thya hanya bisa melihat mereka berdebat tanpa berkutik apapun. Dia kembali menghadap Shiren yang duduk bersebelahan di sofa. Thya menundukkan kepala, beriringan dengan air mata yang jatuh bergantian. Thya memegang salah satu lengan kakaknya.

Sambil berkata dalam hati, "Aku gak mau kakak pergi, bangun Kak."

Berkali-kali Thya mengulangi perkataannya seperti tadi dalam batin. Namun, tidak mempan, Shiren tak kunjung sadar. Perasaan Thya bercampur aduk, tetapi bisa dirangkum dalam satu kata, yaitu sedih. Hidupnya selalu mendapat kemalangan, kalaupun dia baru saja didatangkan kebahagiaan, maka kesedihan bertubi-tubi datang setelahnya.

Malangnya nasibmu.

"Rafa, anterin gue ke kamar mandi dong." Martin berujar pada seorang pemuda yang tengah berdiri disampingnya.

Rafa pun menoleh, dia sedikit membelalakkan mata. "Hah? Gila lo. Gue cowok, mau ngapain? Homo lo njirr." jawab Rafa terkekeh kecil.

Martin mengeluarkan napas berat. "Gue mau buang air kecil."

Rafa menggeleng antusias, "Gak, gak. Yakali gue ngeliatin lo kencing." Rafa menolak.

Martin berdecak kesal, "Bukan gitu juga kali. Emang gue homo, apa? Maksud gue lo tunggu di depan pintu kamar mandinya," jelas Martin agar teman satunya ini tidak salah paham.

"Ya udah, ya udah. GC lo, kalo gak gue tinggalin." ancam Rafa.

***

"Martin, udah belom kencing nya? Lama amat, lima menit lewat gue tinggalin lo." ucap Rafa.

Martin yang ada di dalam kamar mandi, menyahut. "Sabar."

Rafa menyipitkan mata, melipat kedua tangan di depan dada. "Yang ada gue digigitin nyamuk ini mah," celetuk Rafa.

Don't Approach MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang