"THYAA!! BUKAIN DONG PINTU GERBANGNYA!"
Dengan penuh emosi, Martin, Bella, dan Rafa meneriaki depan halaman rumah luas berpagar hitam yang selalu ditutup. Thya membelalakkan mata ketika mendengar hembusan suara meresapi seisi rumahnya, dia menghentikan tangisannya. "Mereka," ucap Thya dan langsung membuka pintu kamar, lalu pergi ke bawah tangga.
Sambil berjalan menuju pagar, Thya mengelap kedua pipinya yang tadi basah karena sehabis menangis. "Kalian," kata Thya yang melihat tiga temannya telah berdiri di depan pagar.
"Bukain Thya," Bella menyahut cepat.
Tanpa perlu dikasih tahu lagi, Thya merogoh-rogoh kantong celana tidur yang ia kenakan. Kemudian mengambil sebuah kunci dari situ. Dia memasukkan kuncinya ke gembok dan pintu gerbangnya pun terbuka.
Sebelum mereka memasuki rumah Thya, Rafa menanyakan sesuatu kepada Thya dan membentuk kerutan dahi diwajahnya. "Mata lo sembab? Kenapa Thya?"
Thya menggelengkan kepala. "Enggak papa, aku cuma kekurangan tidur doang."
Bella mendengus sebal, "Udah ayo masuk. Banyak nanya nih si rafa." Bella berujar sambil menatap kesal ke Rafa.
"Ye biasa aja napa," balas Rafa sinis.
Sehabis itu, Bella dan Rafa berjalan duluan. Sementara Thya dan Martin berada di belakang mereka. Martin menghela napas, "Abis nangis?" tanya Martin.
Thya menoleh ke Martin dan mendongak, karena anak lelaki itu lebih tinggi darinya. "Nggak," alibi Thya berkata singkat.
"Gue tau lo abis nangis. Jangan bohong," kata Martin dan meneruskan langkahnya.
"Aku gak nangis, Martin." elak Thya.
Tak lama, Martin menghadap lurus ke Thya. Dia menghentikan langkah, lalu memeluk tubuh kecil Thya. "Kalo ada apa-apa bilang sama gue, gue nggak suka lo bohong." Martin berucap sembari mengelus puncak kepala Thya.
Air mata Thya jatuh, Thya berusaha menahannya. Namun, kesedihan dalam hidupnya terasa dalam bagi dirinya. "Aku harus pindah besok,"
Martin mendengarnya, "Lo nggak boleh pindah. Lo milik gue,"
Panas, api dihati Martin membara cepat. Kala mendengar perkataan Thya yang bergitu menusuk. "Kak Shiren udah kasih uang sama yang punya rumah baru aku. Aku nggak bisa ngebantah," tutur Thya.
Martin melepas pelukannya, Thya menundukkan kepala. Martin terus menatap dirinya, Thya menyadarinya. Dia pun menengadah. "Kamu jangan liatin aku kayak gitu," ucap Thya.
Air mata dipipinya telah hanyut ketika semburat merah muncul. Martin tersenyum kecil kepada Thya. Anak perempuan dihadapannya tersipu malu, Thya memalingkan wajahnya dari Martin.
Bella dan Rafa yang merasa janggal, kalau dua temannya tidak ada bersama mereka saat berada di depan pintu rumah Thya. "Eh Martin sama Thya kemana?" tanya Bella keheranan.
Rafa celingak-celingukkan. Tepat ketika ia menengok ke belakang, terdapati Martin dan Rafa. "WOI! NGAPAIN MASIH BERDIRI DISITU? PACARANNYA NANTI AJA, ELAH!" papar Rafa.
Thya dan Martin terkejut, "Iya-iya! Maaf." Thya menjawab beranjak pergi disamping Martin dan berlari.
Martin nampak berjalan santai, justru dia memasang wajah sebal. "Bangke Rafa, ngerusak suasana orang." Martin bergumam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Approach Me
TerrorAku berbeda, karakter yang ku miliki memang berbeda dengan yang lain. Bicara dengan mereka, tertawa dengan mereka dan bermain dengan mereka. Mungkin orang lain menganggap ku gila karena hal itu. Mereka terus mengikuti ku, kenapa? Tiap kali mereka...