Kembali ke sekarang.
Shiren menangis, mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Dia tidak menyangka kalau adiknya menjadi anak indigo dan di teror para hantu.
Tapi itu semua sudah rencana yang di Atas. Dia tidak bisa mengelaknya lagi .
Shiren terisak-isak menangis di depan ruang tunggu, kemeja yang ia pakai perlahan-lahan basah. Ia menundukkan kepalanya, dan mengusap-usap air mata yang terus jatuh mengenai pipinya.
Dokter belum memberi kabar dari tadi, detak jantung Thya berdetak tidak normal.
"Ke-kenapa gak gue aja yang jadi Thya. Di-dia kasian dia selalu begini," Kata Shiren yang sempat gugup.Shiren berjalan menuju kamar mandi. Matanya yang sembab membuat orang-orang disekitarnya melihat aneh kepadanya.
Kini ia tengah berdiri di hadapan cermin besar rumah sakit yang terdapat wastafel pencuci tangan. Menyalakan keran dan mencuci wajahnya yang kusam. Rambut yang tidak dikuncirnya terus berjatuhan seraya ia melihat sesuatu di sampingnya.
Ia menengok ke sisi kanannya, celahan rambut yang terus jatuh ia selipkan ke telinga. Tidak ada siapa-siapa, ia kembali menatap cermin besar dihadapannya. Seseorang yang tidak mempunyai kelopak mata, dan memakai baju pasien bercorak merah.
Bulu kulitnya mulai berdiri, Shiren menatap penuh ketakutan di depan cermin itu. Dia terus melotot ke arah Shiren. Wajah Shiren mulai pucat, semakin ia terus menatap hantu itu dari cermin, dirinya seperti terhipnotis.
Suara bisikan sosok perempuan dari belakang Shiren, "Adikmu bersama ku. Jika kamu ingin dia kembali, katakan kepada penghuni rumah sakit ini bahwa aku adalah mayat dari lantai 6 yang sudah seminggu disini. Jika kau ingin adikmu kembali, lakukanlah itu."
Shiren mengangguk pelan, dia memang seperti terhipnotis. Hilang arah dan tidak tahu tujuannya. Sosok perempuan tak kasat mata itu mulai pergi dari belakang cermin.
Shiren menggeleng-gelengkan kepalanya, agar ia mengingat apa yang terjadi barusan. Dia keluar dari kamar mandi, dan harus menulis tergetnya tadi supaya berhasil.
***
Martin duduk di lantai, bersandar di tembok yang hangat. Dia terus menyesali apa yang ia lakukan sejak kemarin. Thya yang kini tak kunjung memberinya kabar, Papa yang terus sibuk dengan perempuan, dan Mama berada di mana sekarang?
Martin berdecak sebal. Ponsel berlogo buah yang ia pegang langsung di lempar. Dia sudah mulai frustasi, rasanya hidupnya sudah hampa, kosong, tidak berguna.
"Arghhh, semua ini salah gue. Gue emang sampah, nyusahin orang terus, dan keras kepala. Bego banget sih gue!" Ucap Martin yang terus menjambak rambutnya sendiri.
Dia mulai membanting-banting lampu kamar tidurnya, mengacak-acak benda-benda di kamarnya dan menendang kasurnya.
"Ah-aww, kasur sialan." Ucap Martin yang mengelus-elus jari-jari kakinya.
Bibi yang mendengar suara itu, hendak mengetuk pintu kamar Martin. "Hallo, Den Martin. Ada yang bisa bibi bantu?"
Martin tidak menyaut sama sekali. Bibi terus mengetuk pintu kamarnya, "Buka pintunya, Den Martin."
Setelah beberapa kali Bibi terus mengatakan itu, pintu kamar Martin terbuka. Martin mengenakan kaos hitam dan celana jeans yang ingin keluar dari kamarnya.
Bibi mengernyitkan dahinya,
"Loh, mau kemana toh Den?" Tanya Bibi."Udahlah berisik, mending Bibi beresin tuh kamar gue." Jawab Martin dengan nada sedikit sebal.
Bibi mengambil napas perlahan-lahan. Dia sudah terbiasa dengan perlakuan Martin.
Martin keluar dari pintu gerbang bersama motornya mengenakan helm. Dia pergi ke rumah Rafa, teman curhatnya. Matanya sudah tak bisa menampung air mata lagi.
***
"Ya udahlah Tin, lo bisa kok ngelepas Thya. Lo lupain aja, dan Papa lo jangan dipikirin yang ada dia malah nambah jadi." Kata Rafa yang tengah duduk di kasur sambil memainkan games di ponsel nya.
Martin memutar malas bola matanya. "Gila lo ya. Kalo orang udah cinta, sayang susah. Lo sih lama ngejomblo jadi ya gitu," Martin sempat tertawa kecil di sofa.
"Bangke lo." Ujar Rafa sambil melempar satu bantal ke arah Martin.
Martin yang terkena lemparan bantal, langsung melempar balik ke arah Rafa. "Lo bangke."
Rafa yang melihat Martin, menyudahi keributan tadi. Ia tahu mana mungkin seorang Martin si the most wanted ingin kalah.
Suasana di antara mereka berdua kembali hening. Martin yang asik minum jus jeruk memulai pembicaraan. "Ntar temenin gue ya, ke rumah sakit."
Rafa yang sedari tadi terus mengutak-atik jari jempol ke layar ponsel sedikit melihat.
"Mau ngapain?" Tanya Rafa yang kembali memencet tombol layarnya."Mau jenguk Thya. Ajak Bella kalo perlu." Jawab Martin.
"Iye, masih lama kan? Ya udah jangan ganggu gue dulu, mayan gue udah beberapa kali jadi pemenang." Sahut Rafa dengan sombong.
"Dasar gamers." Kata Martin yang beranjak ke tempat tidur Rafa.
Hallo semuanya!
Kembali lagi dengan saya, heuheu. Maaf ya baru lanjut 😅
Beri Vote dan Komentar, kalian ya😊❤
Terima kasih:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Approach Me
TerrorAku berbeda, karakter yang ku miliki memang berbeda dengan yang lain. Bicara dengan mereka, tertawa dengan mereka dan bermain dengan mereka. Mungkin orang lain menganggap ku gila karena hal itu. Mereka terus mengikuti ku, kenapa? Tiap kali mereka...