Part 43

599 37 3
                                    

Langit mulai mendung, matahari tidak memancarkan sinarnya lagi seketika awan hitam itu berkumpul. Detak jantung Thya berdegup kencang sambil menggigit ibu jari tangan kanan. Berita heboh yang mengguncangkan seluruh siswa di sekolahya, siang ini Martin telah masuk ke dalam ruang operasi.

Bella menundukkan kepala, berdiri bersender di dinginnya dinding putih itu. Rafa mengacak-acak rambutnya sendiri dengan penuh frustrasi. "Ini semua salah aku ..."  batin Thya tak masuk akal.

Dokter yang sedang mereka tunggu akhirnya datang juga dari pintu, Thya bangkit dari duduknya. "Maaf Dok, bagaimana kabar teman saya?" Thya bertanya dengan bibir pucatnya.

Dokter itu membuka masker yang ia pakai. Dia mengangguk perlahan lalu tersenyum tipis. "Martin Geovanna belum sadar juga. Tetapi kami akan melakukan yang terbaik untuk dirinya, mohon bersabar ya." jawab Dokter itu.

Thya mengangguk kecil, menghela napas perlahan. "Aku gak boleh nangis, aku harus berdoa semoga Tuhan menyelamatkan nyawa Martin." katanya dalam batin.

Hatinya rapuh, kedua matanya berkaca-kaca. Dia tidak habis pikir Martin mengalami kecelakaan di persimpangan jalan raya.

"Ini salah gua Thya, seharusnya gua gak maksa Martin untuk bujuk Reyna agar gak jahatin lo lagi." Bella memyahut berdiri dihadapan Thya sambil menundukkan kepala.

Setetes air mata jatuh membasahi kedua pipinya. "Maafin gua Thya..." kata Bella dan langsung memeluk tubuh Thya.

Thya menangis dipundak Bella. Bella mengelus-elus kepala Thya tak sadar Bella juga ikut-ikutan menangis. Bella membuka mulut lagi dan bilang, "Lo jangan khawatir Thya. Lo juga baru sembuh, Martin pasti bakal sadar kok. Kita sama-sama berdoa aja ya," ucapnya yang menenangkan hati Thya.

"Ini semua salah aku Bel, seharusnya dari awal aku gak usah deket-deket sama Martin." tutur Thya melepas pelukannya.

"Jangan nyalahin diri lo sendiri Thya, mending kita duduk disitu yok." ajak Bella sembari menampilkan jari telunjuknya ke arah kursi panjang itu.

Thya menyetujuinya dan menggandeng tangan kiri Bella.

***

Bulir-bulir keringat dipelipis Shiren jatuh begiliran mengenai pemukaan wajahnya. Rambut coklat yang dikuncir tidak tertata rapih, kaos tipis yang ia pakai tercium aroma bau tak sedap.

Namun Shiren tidak menghiraukannya, dia merasa begitu lega karena telah merapihkan semua barang-barangnya yang telah dimasukkan ke dalam koper. Shiren duduk diatas kasur empuknya, mengeluarkan napas yang dalam.

Besok pagi, dia dan Thya akan pergi dari rumah ini. Sesuai dengan kesepakatan mereka berdua yang dibicarakan sebelumnya. "Akhirnya selesai juga," ucap Shiren berbicara sendiri.

Dia bangkit dari duduknya untuk mengambil sebuah benda berbentuk persegi panjang. Manatap layar ponsel itu dengan mata membulat. Dia baru ingat, kalau Thya belum pulang dari sore.

"Astaga Thya."

Shiren pun bergegas keluar dari kamarnya dan mengetok pintu kamar Thya. Tok tok tok... "Thya, buka pintunya dek." ucapnya.

Tidak ada balasan dari kamar yang sunyi itu. Shiren khawatir, dia membuka layar ponselnya dan menelepon seseorang.  Meletakkan benda tersebut ditelinga kanan sambil menggigit kuku ibu jari kirinya.

Hati Shiren resah, kekhawatirannya memuncak. "Duh Thya kemana si?" Shiren membatin, kemudian beralih menelepon nomor Bella.

Don't Approach MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang