Part 32

1K 55 7
                                    

Sekitar pukul sepuluh pagi, Dokter mengabarkan Thya boleh pulang hari ini. Jadi, Shiren dan Bella mengemaskan barang-barang milik Thya. Martin dan Rafa masih ada di ruangan ini, tetapi mereka tak diperbolehkan untuk melakukan hal itu.

Setelah beberapa menit, semua barang miliknya sudah tersusun rapi. Dan tinggal menunggu Thya sadar, begitu juga dengan mereka berempat yang sedari tadi raut wajahnya kepalang panik.

Alhasil, penantian mereka terkabul. Thya membuka kelopak matanya, iris mata berwarna biru laut tampil di wajah mereka. Shiren memeluk adiknya yang masih terbaring diranjang.

Bella menangis terharu, ia juga ingin memeluk Thya. Matanya berkaca-kaca, sungguh ia rindu pada sahabatnya. Martin merekahkan senyum manisnya, Rafa bersyukur dan mulutnya terus komat-kamit berterima kasih pada Tuhan.

Shiren melepaskan pelukannya. Kini gantian Bella yang memeluk dirinya. "Thya. Gue kangen sama lo," lirih Bella.

"A-aku juga Bel."

"Gue boleh peluk Thya gak?" Martin bertanya, sehingga membuat Shiren, Bella, dan Rafa sama-sama mebulatkan mata.

Rafa menoyor kepala martin. "Gila nih anak. Bukan muhrimnya,"

Martin mendengus kasar. "Iye, maap."

Thya juga melirik ke arah suara itu. "Martin? Kamu ada disini?"

Martin maju beberapa langkah. Tangan kirinya memegang kening Thya. "Iya. Kenapa? Lo kangen ya?" Martin bertanya dengan super PD nya ditambah segaris bibirnya ia lengkungkan.

"Cih.. yang ada juga elo Martin." Bella menyahut.

Martin memutar malas bola matanya.
"Jangan dipikirin Martin." Thya berucap lembut.

Martin mengangguk senang. Ia membungkukkan badannya, seolah berbisik pada Thya. "Maafin gue, gue hampir ngilangin nyawa lo."

Shiren, Bella, dan Rafa saling melempar pandangan. Mereka ingin tahu apa yang dibicarakan oleh Martin.

Thya mengangguk pelan. Tak lama kemudian, ia merasakan bibir seseorang telah mendarat di pipi kanannya. Thya terpelonjak kaget, semburat merah tampak di pipi. Martin memang tidak malu, yang malu Thya, untung saja disitu hanya ada orang-orang yang baik bagi Thya.

"LO NGAPAIN ANAK ORANG MARTIN? ETDAH, TAHAN ORANG MAH." Rafa menyindir heran.

Shiren dan Bella tertawa terbahak-bahak. "Uhuk..uhukk, maklum melepas depresinya. Kak Shiren aja santai ngeliatnya." timpal Bella yang sesekali mendelik ke Shiren.

Martin menengok ke arah mereka. "Berisik aja nih. Gak papa kan ya, Kak Shiren?" Martin bertanya sembari mengedipkan satu mata pada Shiren.

"Sebenernya mah nggak gue bolehin, soalnya Thya baru sembuh. Lo main nyosor-nyosor aja." Shiren menjawab.

"Tau nih. Anak orang pipinya merah tuh, tanggung jawab Martin." Bella ikut-ikutan menyindir.

Thya sangat malu. Dia tak bisa membiarkan pipinya merona, dan dilihat oleh beberapa orang. Thya mengerucutkan bibirnya.

"Mampus lo. Anak orang baper." Rafa berucap.

"Yaileh, kalian sih ribet. Thya aja diem kok."

"Haduh.. adek gue kasian tuh mau pulang. Udah jangan berantem lagi, berisik." Shiren risih melihat aksi mereka.

Mereka menggangguk serempak. Lalu, Shiren dan Bella menuntun tubuh Thya untuk berdiri. Martin dan Rafa membawa koper dan tas sekolah milik Thya. Mereka melangkahkan kaki keluar dari ruangan.

Thya menunduk diam, mereka sedang melihat dirinya. Dia sama sekali tak ingin menatap satupun hantu yang berada di hadapannya.

"Thya...tolong kami...."

Don't Approach MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang