Pembuka 2

7.8K 255 2
                                    

•Rumah Sakit•

Allyza duduk di kantin bersama Arga dan Aliya. Mereka saling kenal karena Allyza yang memperkenalkan. Walaupun mungkin Aliya tidak terlalu menyukai Arga, tapi dia bisa bersikap biasa aja pada Arga. Hal itu yang membuat Allyza suka dengan sifat saudara kembarnya, bisa menempatkan diri dengan baik.

"Al, kamu pesan apa?" tanya Allyza hendak pergi memesan makanan.

"Bakso aja sama es jeruk, Za," jawabnya.

Allyza menuju kantin Bu Anik, kantin kesukaannya. Ia memesan makanan dan minuman. Kalau Arga tidak usah ditanya, pasti dia menyamakan makanannya sama dengan Allyza. Siomay.

"Pak, bakso satu, siomay dua, es jeruk tiga, ya!" teriak Allyza karena kantin ramai.

Setelah memesan, Allyza kembali duduk bersama mereka.

"Eh, aku punya pertanyaan untuk kalian," ujar Arga, menopang kedua tangannya di dagu, memikirkan sesuatu.

"Pertanyaan apa?" sahut Rachel.

Arga menjentikkan jarinya, menatap dua perempuan di depannya bergantian. "Kalian lebih pilih mencintai atau dicintai dan alasannya apa? Kamu duluan, Za," imbuhnya.

"Aku?" Arga mengangguk. "Kalau aku, sih, lebih pilih dicintai. Karena, kalo kita mencintai seseorang, belum tentu kita dicintai balik. Iya nggak?" jawabnya menyengir.

Arga mengangguk. "Bisa jadi. Kalau kamu, Al?"

"Kalau aku, sih, lebih pilih dicintai. Karena, dengan kita dicintai, kita bisa belajar mencintai orang itu juga," jawab Aliya santai.

"Benar juga apa yang kamu bilang, Al," balas Arga menyetujui

Allyza ikut mengangguk, menyetujui jawaban Aliya. Perihal mencintai dan dicintai, sebenarnya dua hal itu sangat penting. Jika kita memilih mencintai, jangan takut bila tak dibalas, karena kita sudah berusaha untuk mencintai seseorang itu dengan baik, membuktikan dengan sikap lembut padanya. Jika memilih dicintai walau belum mencintai, sebenarnya terkesan egois karena pengin dicintai. Namun, jawaban Aliya ada benarnya. Ketika kita dicintai seseorang, kita juga bisa belajar untuk mencintai.

Tak lama kemudian pesanan mereka datang.

«»

Koridor rumah sakit ramai, ruang tunggu untuk pasien juga ramai, mengantre untuk pengobatan. Dua perempuan dengan seragam putih abu-abu melangkahkan kakinya ke sebuah ruangan. Aroma bau obat-obatan tercium, bunyi mesin elektrokardiogram terdengar menampakkan gelombang naik turun pada layar.

Allyza dan Aliya menaruh tas sekolah di sofa, lalu duduk di samping laki-laki paruh baya yang terbaring lemah. Laki-laki itu Arif, Ayah mereka. Mengidap penyakit jantung, sudah hampir satu bulan dirawat. Jika pulang sekolah mereka ke rumah sakit, maka malamnya Dena akan ke rumah sakit untuk bergantian menjaga.

"Assalamu'alaikum, Yah," sapa Allyza, mengusap punggung tangan Arif. Walaupun mata Arif tertutup, Allyza yakin kalau Ayahnya mendengar salam Allyza.

"Yah, hari ini Allyza dan Aliya datang lagi untuk menjenguk Ayah. Aliya bawa bolu kesukaan Ayah. Nanti kalau sudah bangun Ayah jangan lupa makan bolunya, ya," ucap Allyza tersenyum kecil.

Mungkin bicara pada orang yang terbaring lemah bisa dibilang gila karena tidak dapat jawaban, namun Allyza menyukai hal itu. Berbicara dengan Ayahnya seperti ini bisa menyembuhkan rasa rindu dalam hati.

"Za, aku mau ke kantin rumah sakit, kamu titip apa? Biar sekalian aku yang beli," kata Aliya setelah keluar dari toilet.

"Minum aja, deh. Air mineral satu sama susu ultra cokelat satu ya,"

"Oh, oke. Kamu di sini aja, ya, jagain Ayah."

Allyza mengangguk. Setelah lima menit ia mengaji di samping Arif, ia merebahkan tubuhnya di sofa, ingin istirahat. Baru memejamkan mata, ponsel Allyza berdering.

"Halo, Ga, kenapa?" tanya Allyza langsung setelah menggeser tombol hijau pada layar. Ingin rasanya ia tidur nyenyak tanpa harus mengangkat telepon Arga. Namun ia sadar bahwa Arga adalah pacarnya.

"Kamu di mana, Za?"

"Di rumah sakit. Kenapa?"

"Mau kebab, nggak? Aku lagi di warung kebab nih, dekat rumah sakit Ayah kamu. Kalau kamu mau, nanti aku antar. Gimana?" tawarnya.

Tawaran Arga boleh juga.

"Boleh. Dua ya, Ga, sekalian buat Aliya,"

"Oke. 15 menit lagi aku sampai,"

"Iya. See you."

Setelah Allyza menutup teleponnya, Aliya datang dengan membawa pesanan dan dua porsi siomay. "Sekalian aku belikan siomay buat kamu," ucap Aliya, memberikan satu porsi siomay.

"Makasih. By the way, Arga nanti ke sini mau antar kebab," balas Allyza.

Aliya tersenyum kecil, rezeki bisa datang kapan saja.

«»

Sampai di rumah, Allyza dan Aliya membersihkan dirinya. Setelah lima belas menit mandi, mereka ke ruang makan.

"Bun, sampai kapan, sih, kita makan malam berempat terus? Raina kangen kita makan berlima di sini," ucap Raina, adik bungsu Allyza.

"Sampai Ayah pulang dari rumah sakit. Maka dari itu, kita harus banyak-banyak berdoa untuk kesembuhan Ayah. Raina harus rajin salat tahajud juga, ya," balas Dena, mengambil nasi.

Raina mengangguk, menunduk lesu. "Iya, Bunda."

"Eh, gimana sekolah kamu, Na? Ada cowok yang dekatin kamu?" tanya Allyza mengalihkan pembicaraan agar Raina tidak larut dalam kesedihan. Satu bulan tanpa kehadiran Arif di rumah membuat keadaan sepi tidak ada yang mengajak bercanda.

"Sekolah aku tetap gitu aja, Kak. Masih sama bangunannya, cuman ada pembaruan, sih. Dinding sekolah dekat gerbang sudah di cat warna putih. Dan kalau masalah cowok, nggak ada yang dekatin Raina," jawab Raina setelah mengunyah makanannya.

Ucapan Raina membuat Allyza menahan tawanya. Adiknya benar-benar masih polos.

"Pintar banget kamu jawabnya, Na!" seru Aliya menyubit pipi tembam Raina.

"Sakit tau, Kak!" dengkus Raina mengusap pipinya. "Raina jawab dengan jujur dan benar. Memang apa yang bikin Kakak dan Bunda ketawa?" tanyanya.

"Kamu memang jujur, sayang. Tapi, jawaban kamu itu polos banget buat kita tertawa!" jawab Dena tertawa.

Allyza tersenyum, senang bisa mencairkan suasana dari kesedihan. Setelah itu, makan malam mereka diiringi oleh canda dan tawa. Walaupun terdapat kesedihan, tetapi mereka masih bisa tertawa. Itulah hidup, nggak selamanya kita merasa sedih, dan nggak selamanya kita merasa senang.

«»

Re-publish, 4 Febuari 2021

Until the dustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang