•Mencari Jawaban•
Untuk mencari jawaban dan kepastian butuh perjuangan.
Satu minggu telah berlalu. Semenjak pertemuan Allyza dan Arga-itu pun juga karena Arga jadi asisten dosennya. Allyza jadi banyak diam dan sering melamun. Seperti sekarang, Allyza dan keluarganya sedang berkumpul di meja makan untuk makan malam, namun Allyza banyak melamun tak banyak bicara. Arif sampai bingung harus bagaimana, diajak ngomong juga jawabannya 'iya' dan 'tidak' saja.
Aliya-yang notabenya saudara kembarnya pun bingung. Tapi, Aliya merasakan satu hal, kebimbangan di hati Allyza. Makan malam terasa sangat sunyi, tidak ada yang membuka pembicaraan, semua bungkam, seperti ada keributan besar saja, padahal tidak.
"Allyza," panggil Arif lembut akhirnya bersuara.
"Iya, Yah?" Allyza menoleh, tersadar dari lamunannya.
"Kamu kenapa?" tanya Arif lembut.
"Nggak apa-apa, Yah," jawab Allyza tersenyum samar.
"Ya sudah, lanjut makan saja." Setelah makan malam, Allyza balik ke kamar.
Waktu Isya telah tiba, ia lekas mengambil air wudu untuk melaksanakan salat. Air wudu bisa menenangkan hati yang sedang gusar dan bimbang, seperti Allyza saat ini. Seusai salat, ia berdoa pada Allah, berdoa untuk kebaikan dirinya, meyakinkan dirinya, dan meyakinkan hatinya. Allyza sadar ia akan menikah minggu depan, namun masih ada hati yang tertinggal pada seseorang, yaitu Arga.
"Allyza," panggil Aliya dari luar kamar Allyza.
Allyza menyudahi doanya lalu membuka pintu. "Masuk." Allyza melipat mukena dan sajadah lalu menaruhnya di lemari.
"Sini, Za." Aliya menepuk kasur, memberi kode agar Allyza duduk di sampingnya.
"Kenapa?" tanyanya setelah duduk.
"Sudah berdoa?" Allyza mengangguk.
"Jawabannya?" Allyza diam, tentu saja Aliya sudah tau jawabannya apa. "Arga kembali, ya?"
Allyza mengangguk kecil. "Sudah ada bicara dengannya?" Allyza menggeleng.
Aliya tersenyum kecil. "Saranku, selesaikan dulu masa lalu kalian, Za." Aliya menggenggam tangan Allyza. "Kalau kamu nggak selesaikan masalahnya, hatimu nggak akan tenang. Itu pasti akan berdampak di kehidupanmu kelak sama Fahmi."
Salah satu sifat Aliya yang Allyza sukai adalah pikiran Aliya yang dewasa. Setiap ucapan yang terucap membuat hati Allyza tenang. Aliya lebih dewasa dari pada Allyza, begitu pikirnya.
"Masa lalu seharusnya ditinggalkan, Za, apa lagi kamu mau menikah. Jangan sampai masa lalu kamu merusak hidupmu yang sekarang maupun kedepannya. Jangan jadikan dia benalu yang selalu tumbuh. Tapi, jangan membenci masa lalu. Karena, masa lalu yang menyebabkan kita menjadi sosok yang sekarang, lebih dewasa." Aliya tersenyum hangat, memberi ketenangan untuk Allyza.
Allyza memeluk Aliya lalu menangis. "Makasih, Al."
"Selesaikan segera agar tidak menjadi beban kamu. Memang, ada saatnya masa lalu datang disaat kia sudah tidak menjadi sosok yang lama. Semua sudah kehendak Allah, Dia ingin tau bagaimana kita menghadapi masa lalu tersebut." Allyza mengangguk paham. "Tinggalkan hati yang lalu, mulailah membuka hati untuk yang baru. Percaya sama Allah, Dia akan memberi petunjuk." Aliya melepas pelukannya, menatap kedua bola mata saudara kembarnya.
"Semangat, Za!" Allyza tersenyum. "Gitu dong senyum, kan tambah cantik. Masa mau nikah tapi muka jelek." Refleks Allyza memukul bahu Aliya lalu mereka tertawa.
«»
Keesokan harinya, Allyza berencana untuk menemui Arga dan menyelesaikan semuanya, untuk kebaikan dirinya dan masa depannya. Pukul satu siang nanti, Arga mengajar di kelas Allyza. Selesai kelas, ia ingin menemui Arga. Banyak pertanyaan dan pernyataan yang ada di pikiran Allyza.
Sekarang pukul 12.00, Allyza bersiap untuk salat zuhur. Ia pergi ke masjid kampus. Allyza memang sengaja pergi pagi karena harus mengejar nilai saat ia izin kuliah beberapa minggu yang lalu. Selesai salat, ia masuk kelas.
"Hai, Za!" sapa Alin yang baru datang.
"Hai," balas Allyza dengan senyum.
"Eh, asdos kita nggak masuk, dia lagi sakit," jelas Alin.
"Maksud kamu Arga-eh maksudnya Pak Arga?" Alin mengangguk.
Jika ada asdos yang mengajar di kelas mana pun, para mahasiswa harus memanggilnya 'pak', sebagai bentuk penghormatan, walaupun asdos mereka ada yang seumuran, termasuk Arga, namun mereka harus memanggil 'pak'.
"Jadi, hari ini nggak ada sama sekali?" Alin menggeleng.
"Terus kenapa kamu masuk?" tanya Allyza heran. Dia melihat sekitar kelas, sepi.
"Mau temuin Pak Septo," jawabnya dengan cengiran. "Nilai aku, kan, ada yang kosong satu," imbuhnya.
Allyza mengangguk paham. "Ya sudah, makasih, Lin, infonya. Aku duluan," pamit Allyza langsung keluar kelas tanpa memedulikan teriakan Alin. Allyza harus menemui Arga hari ini, bagaimana pun kondisinya sekarang. Ini untuk ketenangan hatinya dan kebaikan masa depannya. Dia harus menyelesaikan semuanya.
Allyza menuju ruang dosen pendidikan matematika atau biasa disebut ruangan Pendmatik, menemui siapa saja yang ada di sana. Sampai di depan ruangan, ia mengintip ke dalam melalui jendela yang terlihat gelap dari luar, otomatis dia harus melihat keadaan di dalam dengan intens.
Sepi. Di dalam ruangan sepi. Namun, tiba-tiba ada seseorang yang baru keluar dari kamar mandi.
"Pak Bagas!" seunya. Lekas dia mengetuk pintu ruangan Pendmatik. Pada ketukan ketiga, pintu terbuka. Pak Bagas muncul dengan kerutan di dahinya.
"Rahma? Ada apa?" tanyanya.
Allyza tersenyum sopan. "Saya mau nanya, Pak."
Pak Bagas menghilangkan kerutan di dahinya. "Mau nanya apa? Mari masuk."
Allyza mengangguk, duduk di kursi setelah diizinkan.
"Silakan, Rahma." Pak Bagas menyodorkan air mineral padanya. Pak Bagas ini terkenal dengan keramahannya, dia selalu baik pada semua siswi dan siswa di kampus ini.
"Terima kasih, Pak," balas Allyza tersenyum.
"Jadi, bagaimana?" tanya Pak Bagas sembari memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman.
"Pak Arga sakit apa, ya, Pak?" tanya Allyza to the point tanpa basa-basi.
Pak Bagas mengernyit. "Kenapa tiba-tiba kamu nanya itu?"
Allyza terdiam sebentar lalu bersikap santai kembali. "Saya ada keperluan dengan beliau, Pak, mengenai urusan materi," ujarnya bohong. Ya Allah, maafkan Allyza telah bohong.
"Oh begitu, ya." Pak Bagas memperbaiki kacamatanya yang sedikit melorot. "Dia habis kecelakaan, makanya nggak masuk." Allyza terdiam, Pak Bagas menyadari itu. "Kenapa, Rahma?"
"Eh ... nggak apa-apa, Pak." Allyza mencoba santai kembali. "Beliau dirawat di mana, Pak, kalau boleh tau?"
"Sebentar." Pak Bagas mengeluarkan ponsel di sakunya lalu mencari sesuatu. Setelah menunggu beberap menit, akhirnya Pak Bagas berbicara, "Rumah sakit Siloam kamar 229," ujarnya.
Allyza mengangguk. "Makasih, Pak, atas infonya. Kalau gitu saya pamit dulu. Assalamu'alaikum," pamit Allyza.
"Wa'alaikumsalam," balas Pak Bagas dengan senyuman khasnya.
Tanpa Allyza sadari, seseorang di balik lemari dekat kamar mandi mendengar percakapan antara Allyza dan Pak Bagas. Seseorang itu menegang, lantas keluar dari tempat persembunyiannya. Untungnya ruangan itu sudah sepi. Mungkin Pak Bagas sudah keluar setelah Allyza keluar, pikir seseorang itu. Lalu seseorang itu mengikuti Allyza ke mana dia pergi.
«»
Re-publish, 11 Febuari 2021
Vote, comment, and share!
See you ~

KAMU SEDANG MEMBACA
Until the dust
Romansa[COMPLETED-REPUBLISH] Rahma Allyza Vierina, gadis yang akrab dipanggil Allyza. Menjalin kasih dengan seorang pria untuk pertama kalinya di masa SMA membuat Bundanya tak tinggal diam. Nasihat sudah menjadi makanan pokok setiap hari yang mental begitu...