Isi 24

4.5K 191 4
                                    

•Penjelasan•

Rasa sesak di hati akan bisa tenang jika ada kejelasan.

Suara roda terdengar sangat jelas, beberapa orang mendorong brankar pasien ke arah ruang UGD. Pasien dengan sesak napas mengundang perhatian para pengunjung rumah sakit.

"Intubasi! Ventilator! Cepat!" Dokter dengan seragam putihnya melakukan tugas dengat sangat cekat dibantu oleh para perawat.

"Dok, tekanan darah pasien menurun, tidak stabil," lapor salah satu perawat.

Dokter dengan seragam putihnya naik ke atas brankar pasien lalu melakukan kompresi selama tiga puluh kali. Berusaha untuk menstablikan tekanan darahnya agar pasien dapat bernapas dengan normal. Keringat bercucuran di dahi dan lehernya, sebagai dokter dia harus melakukan yang terbaik untuk keselamatan pasien.

"Dok ...." lirih perawat sambil melihat ventilator, tanda garis lurus jelas terlihat. Namun, Fahmi masih saja melakukan kompresi.

"Dok, pasien telah---" Fahmi pun berhenti melakukan kompresi, ia turun dari brankar, melihat ventilator bergaris lurus, mengartikan detak jantung pasien telah berhenti.

Ia menghela napas berat. Ini hal yang paling sulit untuk Fahmi atau dokter lainnya menerima kenyataan bahwa mereka gagal menyelamatkan nyawa seseorang. Tapi, takdir kematian ada di tangan Allah, tidak ada yang bisa mengubah kecuali Dia.

"Waktu kematian pukul 11.50," lapor Fahmi.

Dengan berat hati para perawat mencabut alat pernapasan dari pasien.

Laki-laki yang baru saja gagal menyelamatkan pasien melangkahkan kakinya dengan gontai, seolah kedua kakinya tak bisa menahan tubuhnya saat ini. Rasa bersalah memenuhi hatinya, namun ia sudah melakukan yang terbaik.

Langkah kakinya menuju ruang kepala rumah sakit.

"Surat perpindahan tugasmu sebentar lagi akan tiba," ujar kepala rumah sakit setelah mempersilakan Fahmi duduk.

Fahmi menghela napas panjang. Pernyataan yang ia dengar menambah rasa bersalah dalam dirinya.

"Sudah beritahu keluargamu perihal masalah ini, Fahmi?"

"Belum, Pak,"

Lelaki berjas putih itu mengangguk paham. "Saya tau ini berat buat kamu, apa lagi kamu pengantin baru. Tapi, ini sudah keputusan dari pusat, saya harap kamu mengerti."

"Iya, Pak, saya mengerti,"

"Ya sudah, silakan lanjut bekerja," titah kepala rumah sakit.

"Terima kasih, Pak, saya permisi." Fahmi menunduk sopan lalu pamit.

«»

Sang suami lembur sudah menjadi makanan untuk Allyza, hampir setiap hari. Sejak pagi itu, suaminya pun belum ada menjelaskan sesibuk apa di rumah sakit. Hari ini tepat satu pekan suaminya lembur, dan Allyza mulai terbiasa walau ada yang mengganjal di hatinya.

Allyza menjalankan rutinitas biasanya, ke kampus, bimbingan, dan tak terasa skripsinya sudah selesai hingga pekan depan ia sudah bisa sidang. Perihal sidang belum ia ceritakan pada suaminya, bagaimana mau cerita kalau Fahmi saja sibuk di rumah sakit. Terkadang ada rasa sedih dalam hati, tapi sebagai seorang istri harus bisa memahami.

Lukisan di dinding karyanya satu jam yang lalu menjadi target lamunannya. Lukisan yang bergambar sepasang suami istri yang tersenyum ke arah kamera.

Suara getaran di lantai terdengar membuyarkan lamunannya, ia menoleh pada ponselnya.

"Assalamu'alaikum, Ma," sapa Allyza setelah menggeser tombol hijau di layar, sebisa mungkin juga ia menetralkan suaranya agar tidak terdengar serak karena menangis.

Until the dustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang