Isi 20

5.5K 202 8
                                    

•Seseorang di Masa Lalu•

Langit yang cerah mendukung aktivitas manusia di kota ini, jalanan sepagi ini sudah mulai ramai. Ada yang berangkat kerja, berangkat sekolah, maupun pergi ke pasar untuk berbelanja. Fahmi dan Allyza melewati beberapa gedung mall yang masih tutup karena masih pagi. Sedangkan gedung-gedung kantor perusahaan sudah buka.

Bunga mawar sudah siap di keranjang milik Allyza, ia dan Fahmi akan berkunjung ke makam Dena. Allyza sungguh merindukan Ibundanya.

Mereka sampai di pemakaman. Pak Aan, penjaga makan menghampiri mereka dengan tersenyum. "Mbak Allyza, Mas Fahmi, lama tidak ke sini," sapanya.

"Pak Aan, apa kabar? Iya, kami baru sempat ke sini, Pak," jawab Fahmi.

"Alhamdulillah baik. Mas sama Mbak toh pasti sibuk ya, apa lagi Mas Fahmi seorang dokter." Fahmi hanya tersenyum.

"Kabar Ali bagaimana, Pak?" Ali adalah anak Pak Aan yang putus sekolah karena tidak bisa membiayai pendidikan.

"Alhamdulillah baik, Mas. Sekarang bekerja di toko kecil milik warga sini," ujar Pak Aan.

Lantas, Fahmi mengeluarkan sebuah amplop dari dalam sakunya. "Ini ada rezeki untuk Bapak dan Ali, mohon diterima, Pak." Fahmi menyodorkan amplop pada Pak Aan.

"Tidak perlu repot-repot, Mas,"

"Tidak merepotkan, Pak, mohon diterima, ya," ujar Fahmi tulus. Ia memang suka berbagi kepada orang-orang yang baik pada keluarganya, apa lagi Pak Aan penjaga makam, yang sudah menjaga makam Ibu mertuanya.

Akhirnya Pak Aan menerima. "Terima kasih, Mas. Semoga kebaikan Mas dan Mbak Allyza dibalas oleh Allah.

"Aamiin, terima kasih, Pak. Kami ke makam Ibu dulu ya, Pak, permisi," pamit Fahmi.

Gundukan tanah dengan batu nisan di atasnya tertata rapi, menyisakan jalan setapak. Tanah yang kering dan tidak becek memudahkan Fahmi dan Allyza ke makam Dena. Mereka berdoa bersama di samping makam, lalu menaburkan bunga mawar.

"Hai, Bunda. Maaf, Allyza baru berkunjung ke sini," ucap Allyza lirih. "Allyza kangen Bunda ...." lanjutnya.

Memori kenangan bersama Dena terputar dalam pikirannya. Allyza menangis, menyesali kesalahannya. Tapi ia jauh lebih bersyukur karena telah mengabulkan permohonan Ibundanya, menikah dengan laki-laki asing yang kini menjadi suaminya. Laki-laki yang memiliki sikap lembut dan tatapan yang meneduhkan.

Cukup lama Allyza menangis, hingga suara lembut memasuki indra pendengarannya. "Allyza," panggil Fahmi.

"Iya, Mas,"

"Ayo pulang," ajaknya merengkuh Allyza.

Berat meninggalkan, namun Allyza melangkahkan kakinya. "Iya, Mas."

«»

Ruangan berukuran luas yang sepi, kini menjadi ramai. Allyza tersenyum senang saat melihat Anita dan Fahrim duduk di samping Arif.

"Mama, Papa!" serunya, lalu memeluk. "Maafikan Allyza, karena jarang berkunjung ke rumah," imbuhnya.

Anita mengusap punggung Allyza. "Nggak apa-apa, sayang. Mama dan Papa paham."

"Allyza kangen,"

"Mama juga, kamu baik-baik aja, kan?" Allyza mengangguk antusias.

"Za," panggil Aliya. "Tadi Ayah sadar dan memanggil namamu," ujarnya.

"Oh ... iya?" Allyza memperhatikan Ayahnya yang terbaring lemah.

"Iya, Kak. Tapi, setelah itu Ayah tidur lagi," sahut Raina.

Until the dustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang