Pembuka 4

5.8K 240 4
                                    

Terungkap

Keheningan mencekam dua orang yang sedang duduk di depan ruangan persalinan. Menanti kabar dari dokter yang menangani Sania. Dua orang itu tak ada berbicara, mereka sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing.

Sampai di rumah sakit, Aliya pamit untuk ke ruangan Arif, dan setelah itu Dena datang menghampiri Allyza dengan wajah khawatir. Dena bertanya mengapa mata anaknya sembab. Namun, Allyza hanya bisa bilang, "tidak apa-apa, Bunda. Jangan khawatir."

Jawaban Allyza membuat Dena geram, namun ia tidak ingin bertanya lebih lanjut, seolah paham dengan kondisi anaknya. Akhirnya Dena mengalah, ia pulang karena kasihan Raina sendirian di rumah.

Keheningan masih terasa. Air mata Allyza jatuh lagi. Arga tak bersuara sama sekali. Mereka hanya saling tatap, lalu sama-sama membuang muka. Allyza kecewa. Arga tak ada cerita sedikit pun padanya tentang perempuan itu.

Allyza menyandarkan tubuhnya di kursi, menutupi wajahnya. Arga masih diam.

Apa Arga tidak peka?

Apa Arga tidak peduli dengan Allyza?

Lalu, untuk apa Allyza menunggu Arga di depan ruang persalinan kalau bukan ingin tau alasannya?

Pertanyaan itu terngiang di kepala Allyza. Ia ingin dengar semua penjelasan, namun laki-laki di sampingnya seperti batu tidak bersuara.

Allyza menghela napas kasar. Kesabarannya mulai habis. Ia tidak ingin waktunya terbuang percuma. Dua menit berlalu. Sudah hampir satu jam Allyza menunggu di sana, namun belum berbuah hasil. Saat ingin beranjak, tiba-tiba Arga memeluk Allyza sambil menangis.

"Aku minta maaf, Za ...." ucapnya lirih.

Setelah keheningan mencekam, hanya satu kalimat yang keluar dari mulut Arga.

"Aku minta maaf ..." Arga semakin mengeratkan pelukannya. "Maafin aku yang nggak cerita sama kamu. Maafin aku yang nggak berani cerita sama kamu ...." imbuhnya.

Allyza masih diam. Ucapan maaf yang ingin didengar telat terucap, namun kata maaf tidak bisa menyatukan hati yang telah hancur, kan?

"Allyza," panggil Arga, melepaskan pelukan, lalu menangkup wajah Allyza. "Lihat aku, Za," pintanya.

Allyza menggeleng lemah.

"Allyza, lihat aku." Dengan keberanian, Allyza membuka kedua matanya, menatap Arga. Air matanya menetes saat melihat kedua bola mata laki-laki di depannya itu.

"Aku akan cerita, tapi aku mohon sama kamu untuk tetap sama aku, ya?"

Allyza menggeleng, melepaskan tangan Arga dari wajahnya. Ia tidak sanggup harus menatap Arga lebih lama. "Aku nggak tau, Ga."

Arga menghela napas lalu dia bersandar di kursi. Diam beberapa menit, namun akhirnya dia bersuara kembali. "Apapun tanggapanmu nanti setelah aku cerita, aku akan terima, Za."

Arga mengubah posisi duduknya. "Dia Sania," ucapnya mulai bercerita, mengawali dengan sebuah nama perempuan itu. "Pacar sahabat aku, namanya Rama. Rama memberi obat tidur saat itu pada Sania, agar dia bisa tidur dengannya," imbuhnya.

Allyza menoleh, mengernyitkan dahi.

"Sembilan bulan yang lalu, Rama mengenalkanku pada Sania di club," ucapnya menunduk.

"Kamu ke club?" tanya Allyza.

"Iya, aku ke club. Maaf karena aku nggak pernah cerita sama kamu," jawabnya.

"Terus?"

"Semenjak aku kenal Rama, aku sering ke club. Aku memang bodoh karena terpengaruh olehnya." Arga menghela napas berat. "Pada saat hari Sabtu, bertepatan dengan bulan Januari, Rama mengajakku ke club, dia membawa pacar barunya, Sania. Dia mengenalkan padaku. Sania adalah gadis yang polos."

Until the dustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang