Isi 8

5.1K 203 3
                                    

•Mengikhlaskan•

Ikhlas mudah diucapkan, tapi sulit dilakukan.

SPECIAL ULTAH JUJUL WKWKWKWK

Awan hitam menutupi langit biru yang cerah seketika menjadi gelap. Angin berembus kencang meniup dedaunan di pohon-pohon. Dan pohon kamboja menjadi ciri khas di pemakaman tercium aroma bunganya. Suara petir terdengar, menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Namun, satu keluarga yang sedang berduka masih setia di sana. Arif memeluk ketiga anaknya, berjongkok untuk mensejajarkan tingginya. "Sudah mau hujan, ayo pulang," ajaknya lembut.

Setelah jenazah Dena dimakamkan, mereka tak bergerak untuk pulang, padahal para keluarga yang lain dan para tamu sudah pulang setengah jam yang lalu.

Allyza menggeleng. "Sebenarnya Bunda sakit apa, Yah?"

"Kanker rahim." Allyza menoleh, menatap kedua bola mata Ayahnya bingung. "Tiga tahun yang lalu Bunda mengidap penyakit itu, tapi Bunda tidak pernah bilang pada kalian."

"Kenapa, Yah?"

"Bunda tidak ingin kalian khawatir. Saat Allyza kabur dari rumah, tensi Bunda turun dan merasakan nyeri di perutnya. Sebenarnya kanker Bunda sudah parah, namun Bunda tidak pernah menunjukkan rasa sakit di depan kalian. Itulah Bunda, wanita hebat yang pintar menyembunyikan kesedihan," jelas Arif menitikkan air matanya.

"Ya allah, Bunda ..." lirih Allyza. "Berarti Aliya dan Raina juga tidak tau penyakit Bunda, Yah?" Arif mengangguk.

"Bunda ... kenapa pergi terlalu cepat hiks ... Raina masih mau main sama Bunda," ujar Raina sesegukan. "Raina minta maaf, Bunda ...." imbuhnya.

"Bunda sudah pergi, Na, kita harus mengikhlaskan agar Bunda tenang. Apabila ditimpa musibah, maka berkatalah 'Inna lillahi wa inna ilaihi ra'jiun, sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kita kembali'. Ini musibah untuk kita, kita harus bisa ikhlas," jelas Arif dengan menyampaikan salah satu ayat di Alquran, surah Al-Baqarah ayat 156.

Raina mengangguk paham, kemudian memeluk Arif. "Raina akan coba untuk ikhlas, Yah," tuturnya.

"Pintar anak Ayah. Sudah mau hujan, ayo pulang," ajak Arif. "Allyza, Aliya, ayo!"

Allyza menggeleng. "Allyza masih mau di sini, Yah," tolaknya.

"Sudah mau hujan, Za. Besok kita bisa ke sini lagi, jangan sampai sakit. Kita harus jaga kesehatan," imbuh Aliya. Walaupun dadanya sesak, ia mencoba untuk tegar. Menjadi anak tengah yang bijaksana, tenang dan damai, Aliya harus bisa membawa ketenangan untuk kakak dan adiknya, berusaha untuk tegar untuk menengahi keduanya.

"Aku mau di sini dulu," ucap Allyza tetap pada pendiriannya. Sifat keras kepala Allyza sudah melekat dalam dirinya.

"Ya sudah kalau gitu," balas Arif mengalah. "Fahmi, bisa tolong temanin Allyza di sini sebentar?" tanya Arif pada Fahmi, ia juga masih setia berada di sana.

Fahmi mengangguk, tersenyum kecil. "Bisa, Om. Saya akan temanin Allyza di sini," ujarnya.

"Makasih ya, Nak." Arif, Aliya, dan Raina pulang.

Suara petir terdengar untuk kesekian kalinya, rintik hujan mulai berjatuhan. Fahmi dengan sigap membuka kemeja hitamnya, meninggalkan kaos hitam. Ia menutupi kepala Allyza dengan kemejanya agar tidak kehujanan.

Allyza mendongak. "Kenapa kamu masih di sini? Aku mau sendiri," ucapnya dingin.

"Saya akan menjaga kamu,"

"Aku bisa jaga diri sendiri,"

"Ini sudah mau hujan, kalau kamu pingsan di sini karena kehujanan gimana?"

Until the dustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang