Isi 7

5K 212 2
                                    

Tegar•

Apa yang terjadi kemarin, besok, lusa dan seterusnya sudah takdir Allah. Jangan mengeluh. Cobalah untuk selalu bersyukur, sabar, ikhlas, dan berprasangka baik pada Allah.

Sudah satu minggu Dena tidak sadarkan diri, dan Allyza belum mengetahui penyakit Bundanya. Ia sudah bertanya pada keluarganya, namun keluarganya hanya diam, tidak memberi jawaban. Seolah menyembunyikan penyakit Dena.

Allyza duduk di samping Dena, mengusap punggung tangannya. Sesekali ia menangis karena masih merasa bersalah. "Bunda sakit apa? Kenapa mereka nggak mau memberitahu Allyza? Allyza, kan, berhak tau," ujar Allyza. "Maafin Allyza, Bunda ... Allyza kabur dari rumah dan membuat Bunda koma selama seminggu," imbuh Allyza. Walaupun Dena terbaring lemas, ia yakin bahwa Bundanya mendengar. Kejadian ini membuat ia teringat saat Ayahnya dirawat lima tahun yang lalu.

Allyza menunduk. "Allyza mau bilang, kalau sejujurnya Allyza bingung dengan hati Allyza." Selama seminggu, ia melakukan salat istikharah, tahajud, namun hatinya belum diberikan jawaban. Entah karena memang Allyza tidak menyadari, atau karena hatinya masih egois berharap Arga kembali.

Seketika ia merasakan tangan Bundanya bergerak, matanya terbuka secara perlahan. "Bunda?"

Dena menoleh, tersenyum tipis setelah ia sadar. "Allyza," panggilnya.

"Alhamdulillah Bunda sadar." Allyza memeluk Dena, ingin memencet tombol darurat namun ditahan Dena. "Kenapa?" tanyanya heran.

Dena tersenyum, mengisyaratkan Allyza untuk diam saja dan tetap di sampingnya.

"Allyza harus hubungi Ayah, Aliya dan Raina kalau Bunda sudah sadar." Allyza mengeluarkan ponselnya, namun saat ingin menelepon Arif−

"Assalamu'alaikum. Bunda?" Allyza menoleh ke arah sumber suara. Arif, Aliya, dan Raina datang.

"Alhamdulillah Bunda sadar," ucap Aliya dan Raina bersamaan memeluk Dena.

"Syukurlah kamu sudah sadar, sayang." Arif menghampiri Dena dan mencium keningnya lembut. Arif sangat merindukan istrinya.

Dena tersenyum hangat, lalu menatap Allyza, Rachel, dan Raina bergantian, "Bun---nda nggak punya waktu ba---nyak," ujar Dena terbata-bata.

"Apa sih, Bun? Bunda nggak boleh bilang gitu," sahut Raina.

"Bunda baru sadar kenapa Bunda ngomong seperti itu?" tutur Rachel lembut.

"Bunda senang sekali, di saat Bunda sadar kalian ada di sini," ujar Dena. "Bunda minta maaf atas kesalahan Bunda ...." imbuhnya.

"Bunda, seharusnya Allyza yang meminta maaf. Allyza sudah kabur dari rumah dan menyebabkan Bunda koma. Bunda sakit apa sebenarnya?" balas Allyza lembut.

Dena tersenyum menggeleng. "Bunda ingin kalian selalu bersama dan bersatu. Tidak ada perkelahian walaupun hanya masalah kecil."

Raina merasa tersindir mendengar ucapan itu. Ada rasa kesal di hatinya setelah Kakaknya kabur dari rumah dan menyebabkan Dena koma.

"Iya, Bunda. Kami janji akan selalu bersama dan bersatu," balas Aliya.

Dena tersenyum lagi, menggenggam tangan Aliya lembut. "Aliya anak Bunda yang mau jadi dokter, Bunda ingin kamu menjadi dokter muslimah, salihah, taat beragama, dan semoga bisa mewujudkan cita-citamu."

Aliya menangis. "Iya, Bunda ... semoga Aliya bisa menjadi apa yang Bunda inginkan."

"Ingat pesan-pesan Bunda." Aliya mengangguk. Dia akan selalu ingat nasihat yang diberikan Bundanya.

Dena beralih pada Raina, ia menggenggam tangannya. "Raina sayang, anak bungsu Bunda yang baik hati," tutur Dena membuat Raina ingin menangis. "Maafkan kesalahan Kakak kamu, ya, dia tidak sepenuhnya salah, sayang. Kakakmu orang baik, jangan benci dia," imbuh Dena membuat Allyza kaget.

"Iya, Bunda," balas Raina menangis.

"Semoga kamu bisa menjadi ustazah dan selalu menjadi tauladan yang baik untuk orang-orang, seperti keinginan Raina, kan?" Raina mengangguk. "Jangan menyerah untuk menghapal Al-Qur'an. Harus tetap mencintai Al-Qur'an agar bisa membantu Raina saat di akhirat nanti. Ingat pesan Bunda ya, sayang."

"Bunda mengapa berbicara seperti itu? Bunda pengin pergi?" tanya Raina sesegukan.

Dena tersenyum menjawab pertanyan Raina, ia beralih pada Allyza. "Allyza sayang," panggilnya.

"Iya, Bunda?"

"Bunda minta maaf karena sudah memaksa Allyza untuk menerima perjodohan ini, karena Bunda, Allyza kabur dari rumah,"

Allyza menggeleng. "Tidak, Bunda. Seharusnya Allyza minta maaf sama Bunda."

"Bunda sudah memaafkan Allyza." Allyza menangis. Ada sesuatu yang lega dalam hatinya.

"Terima kasih, Bunda," balas Allyza senang.

Dena mengusap tangan Allyza. "Kamu sosok wanita yang kuat, sayang. Bunda yakin kamu bisa. Bunda ingin sekali permohonan Bunda untuk terakhir kalinya Allyza kabulkan ...." tuturnya, tersenyum menatap Allyza penuh harapan.

"Apa, Bunda?"

"Menikahlah dengan Fahmi. Dia laki-laki yang baik, taat beragama, pengertian, lembut, dan sayang sama keluaganya. Bunda ingin dia menuntun dan membantu kamu untuk selalu berada di jalan Allah. Allyza mau mengabulkan permohonan Bunda?"

Allyza diam. Ia masih bingung dengan hatinya. Allah, apakah permohonan Bunda ini menjadi petunjuk untukku?

"Allyza?" panggil Dena lembut. "Bunda paham hati kamu belum ikhlas, tapi Bunda mohon, sayang." Mata Allyza berkaca-kaca menatap Dena. Ia paham tatapan mata Bundanya, berharap pada Allyza untuk mengabulkan permintaannya.

"Allyza---" Lidah Allyza kelu, rasanya sangat sulit menjawab pertanyaan Bundanya. Ini bukan keputusan yang mudah, apa lagi menyangkut pernikahan. Tapi, Allyza tidak ingin mengecewakan.

Allyza menarik napas, mengembuskan secara perlahan. Ia tidak yakin, tapi harus mengambil keputusan. Ia bertawakal pada Allah, jika memang ini menjadi takdir dari-Nya, Allyza akan coba untuk lapang dada. "Allyza menerima, Bunda."

Dena tersenyum lega, air matanya jatuh, terharu bahwa anaknya akan mengabulkan permintaannya. "Terima kasih, sayang. "

Suasana pilu memenuhi ruangan itu.

"Mas Arif," panggil Dena, beralih pada suaminya.

"Iya, sayang?" Arif tak tahan menahan kesedihan, hatinya sesak. Ia harus bisa ikhlas jika ditinggalkan Dena untuk selamanya.

"Terima kasih sudah menemaniku hingga saat ini. Sudah merawatku saat aku sakit, membuat aku bahagia, menuntun aku ke jalan-Nya, dan menjadi sosok suami yang selalu sayang kepada keluarganya. Aku minta maaf atas segala sikap dan sifatku yang menyakitimu." Dena mengusap punggung tangan Suaminya.

Arif mengangguk, seolah sudah tau apa yang terjadi. "Iya, sayang, aku sudah memaafkanmu," balas Arif, mencium kening Dena lembut. "Aku mencintaimu karena Allah."

"Aku juga mencintaimu karena Allah, Mas."

Sesak. Itu yang dirasakan oleh Arif, Aliya, Raina, dan Allyza. Mereka harus ikhlas jika harus ditinggalkan oleh orang yang sangat mereka cinta. Karena mereka tau, semua makhluk hidup akan kembali pada-Nya.

"Bunda menyayangi kalian." Mereka memeluk Dena. Satu kalimat terakhir terucap dari bibir seseorang yang sangat mulia, Dena, mengembuskan napas terakhirnya.

"Bunda!!!"

Tidak ada yang bisa menghindar dari kematian. Kematian bisa kapan saja datang untuk menjemput. Siapa pun kelak yang akan dipanggil, itu semua sudah menjadi takdir Allah. Kita sebagai makhluk sempurna yang diciptakan wajib beriman dan bertakwa pada-Nya, agar kita dimatikan saat benar-benar mencintai Allah.

«»

Re-publish, 9 Febuari 2021

Until the dustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang