Happy reading!
Dimas menciumku perlahan, seolah ingin memastikan setiap sentuhan bibirnya terekam dalam pikiranku. Gerakan lembut itu membuat tubuhku kaku, dan entah kenapa aku hanya bisa diam, tak mampu membalas ataupun menolaknya.
Dadaku berdegup semakin kencang, seiring dengan caranya melumat bibirku yang mulai berubah intens. Kelembutan itu memudar, tergantikan oleh dorongan naluriah yang terasa mendesak. Ia bergerak lebih dalam, lebih tegas, seakan mengklaim seluruh perhatianku. Aku bahkan nyaris kehilangan napas.
"Dimas..." Aku mencoba memanggilnya di sela desahanku, suaraku terdengar lemah dan teredam oleh bibirnya yang tak henti menginvasi. Bukannya berhenti, ia justru semakin menekan tubuhnya ke arahku, bibirnya bergerak kasar, penuh rasa yang tidak lagi bisa kubaca.
Tangan Dimas mulai meninggalkan pipiku, bergerak perlahan ke bawah, menyusuri garis tubuhku hingga mencapai pinggul. Dengan cekatan, ia menarikku mendekat, memaksa tubuh kami untuk benar-benar menyatu tanpa celah. Kulitku merasakan kehangatan tubuhnya, dan aku tahu ini mulai melangkah terlalu jauh.
Aku meraih sedikit keberanian dan berbisik, "Dimas, aku mohon hentikan."
Namun, jawabannya terdengar rendah dan tegas, hampir seperti rintihan yang terbungkus nafsu, "I can't."
"Dimas!" Aku menaikkan suaraku, mencoba memberinya peringatan terakhir, namun ia tidak menghiraukannya.
Entah dari mana datangnya kekuatan itu, aku berhasil mendorong tubuhnya hingga ia terhuyung ke belakang dan terjatuh di tepi kasur.
Aku langsung memalingkan wajah, menghindari tatapan matanya. Dari sudut mataku, aku bisa melihatnya yang tertunduk, mungkin berusaha menenangkan dirinya, atau... aku berharap, menyesali perbuatannya.
"Maaf," katanya akhirnya, suaranya terdengar berat dan sedikit serak, mungkin karena napasnya yang belum sepenuhnya stabil.
Aku tidak menjawab. Bahkan untuk menoleh saja aku enggan. Dadaku masih terasa sesak oleh semua yang baru saja terjadi. Aku bukan wanita yang tak mengenal dunia, aku tahu betul tentang hasrat dan keinginan. Namun, aku juga bukan wanita yang mudah menyerahkan dirinya begitu saja. Ada bagian dalam diriku yang tidak bisa begitu saja dipermainkan oleh desakan momen.
Keheningan datang menyelimuti kami. Tidak ada yang berkata apa-apa, hanya suara napas kami yang saling bersahutan di dalam kamar. Pikiranku penuh dengan pertanyaan—mengapa ia berubah menjadi seperti ini?
Setelah beberapa saat, Dimas akhirnya bersuara lagi, kali ini lebih tenang. "Aku akan ke kantor sebentar. Ada berkas yang tertinggal di sana," katanya datar, seolah berusaha mengalihkan pembicaraan.
Aku tahu ia berbohong, sengaja menghindar dariku setelah melakukan tindakan itu padaku. Tidak sulit membaca gelagatnya yang gugup, terutama dari caranya menghindari tatapanku dan nada suaranya yang terdengar terlalu dibuat-buat.
Aku menoleh perlahan, menatapnya dengan ekspresi terkejut. "Kau akan meninggalkanku sendirian?" tanyaku, suaraku nyaris tidak terdengar.
Sebelum aku sempat mengatakan lebih banyak, ia memotongku, "Ini sudah larut malam, Petra. Lebih baik kau tidur saja." Nada suaranya tidak memerintah, tetapi ada ketegasan di dalamnya.
Aku hanya mengangguk pelan, tidak mampu membantah.
Dimas menghapus keringat di dahinya dengan punggung tangannya, lalu berdiri. "Baiklah, selamat malam," ucapnya sebelum berjalan keluar kamar. Aku hanya bisa memandang punggungnya yang menghilang di balik pintu, menyisakan diriku sendiri di dalam ruangan yang kini terasa dingin meski udara tidak berubah.
![](https://img.wattpad.com/cover/151978180-288-k263577.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
His touch, Her desire
RomantizmJarak usia yang cukup jauh membuat Dimas tak pernah menganggap Petra sebagai lebih dari sekadar kenangan masa kecil. Namun, ketika mereka bertemu kembali, waktu telah mengubah segalanya. Petra tumbuh menjadi sosok memikat yang berhasil meruntuhkan p...