PART - TUJUH BELAS

4.2K 289 0
                                    

Catatan Kim Gauri

12 Desember 2009

Aku menggigit bibir bawahku kasar. Airmata meleleh begitu saja dari kedua mataku. Kedua tanganku menutup wajahku dan aku menangis terisak. Aku masih duduk di atas kloset dan di samping kakiku ada testpack yang hanya menunjukkan satu garis. Itu artinya setelah satu tahun pernikahanku dan Bima, aku belum juga berhasil untuk hamil. Dan sesungguhnya aku berharap, aku bisa memberikan kado test pack dengan dua garis merah pada Bima di hari ulang tahun pernikahan kami yang pertama.  Hampir satu jam aku berdiam diri di dalam kamar mandi. Pikiranku kacau. Nanti malam kedua mertuaku akan datang ke rumah baru ku dan Bima, tentu saja mereka akan menanyakan lagi tentang cucu pertama mereka. Dan lagi – lagi, aku adalah orang yang selalu dipojokkan. Entah tentang aku sibuk atau aku yang memilih untuk tinggal berjauhan dari Bima. Andai saja mereka tahu, justru Bima lah yang memintaku untuk tinggal di Jakarta dan melakukan aktifitas seperti biasa sehingga aku tidak akan kesepian jika harus berhadapan dengan kesibukan Bima yang semakin tidak bisa ditolerir.

“Kim.” Tanpa aku sadari Bima sudah berdiri di daun pintu dan menatapku yang duduk menelungkup bersandar pada tembok kamar mandi. Ia tahu apa yang sekarang ada di pikiranku karena matanya baru saja menangkap test pack yang tergeletak di lantai kamar mandi.

Ia tidak berkata apapun. Dan dari matanya, aku tahu jika ia juga kecewa dengan hasilnya. Dua bulan yang lalu, aku bahkan sudah mengunjungi dokter obgyn dan tidak ada yang salah dengan rahimku. Lalu kenapa selalu gagal hingga sekarang? Bima kemudian mengambil test pack dan membuangnya ke tempat sampah. Ia lantas mengulurkan tangannya padaku dan mencoba tersenyum meski aku tahu itu dipaksakan. Aku meraih tangannya dan membiarkannya menuntunku kembali ke kamar.

Aku merebahkan diriku di tempat tidur dan Bima menyelimutiku. Lalu, ia keluar dari kamar dan beberapa saat kemudian aku mendengar suara mobil meninggalkan rumah. Ini adalah kesekian kalinya hal seperti ini terjadi. Dan aku selalu menangis pada akhirnya.

Jam menunjukkan pukul 7 malam saat semua makanan yang aku siapkan sudah terhidang di meja. Papa dan Mama sudah datang sejak satu jam yang lalu. Bima menjemput mereka dari Bandara dan selama 2 hari mereka akan menginap di rumah ini. Papa, Mama, Bima dan aku duduk bersama di meja makan. Bima sedang bercerita tentang pekerjaannya dan juga tentang kesehariannya di Lombok. Papa juga antusias bercerita tentang teman – teman bisnisnya yang tampaknya Bima mengenal mereka. Dan aku hanya diam mendengarkan atau aku adalah orang yang tidak dianggap ada saat ini. Bahkan hingga saat malam makan selesai dan mereka sudah meninggalkan meja makan, aku memilih untuk sendirian di meja dapur dan mencuci semua piring kotor. Ini jauh lebih baik daripada menjadi orang asing di tengah – tengah mereka.

“Kim, kamu sedang apa?” suara Mama membuatku menoleh ke arah suara.

“Bersihin piring – piringnya sekalian Ma.” Jawabku yang dibalas senyuman oleh Mama.

Mama lalu membuka kulkas dan mengambil beberapa buah – buahan yang aku simpan. Ia meletakkannya di piring. “Papa sama Bima kalau ketemu ya seperti itu. Mereka itu sejak kecil sudah seperti sahabat. Mama aja dulu sering dicuekin.” Cerita Mama sambil memotong semangka.

Aku hanya tersenyum mendengarnya, karena aku juga tidak tahu harus membalas seperti apa. “Mama sering lihat kamu di televisi sekarang Kim?” Mama tiba – tiba mengubah topik pembicaraan.

“Iya Ma. Ada beberapa kontrak kerja.” Jawabku seraya merapikan piring – piring pada tempatnya.

“Mama pikir kamu akan berhenti berkarir setelah menikah Kim. Jadi kamu bisa fokus ngurusin Bima. Kalian kan sudah menikah jadi lebih baik tinggal serumah. Biar kalian juga segera diberi kepercayaan sama Tuhan.” Aku tahu kemana arah pembicaraan Mama ini. Kehadiran bayi kecil diantara aku dan Bima memang sangat diinginkan Papa dan Mama, jadi apapun keadaannya, Mama pasti akan menyinggungnya padaku.

Aku memilih untuk tidak membalas perkataan Mama. Tidak mungkin rasanya untuk membantahnya dan mengatakan kalau justru Bima lah yang menginginkanku untuk tetap di Jakarta.

“Bima tadi meminta Mama dan Papa tidak membahas masalah anak di depanmu karena takut kamu kecewa. Tapi menurut Mama, kamu seharusnya tahu bahwa kehadiran anak adalah sesuatu yang penting di keluarga kami. Bima adalah anak satu – satunya di keluarga, jadi penerus Hardinata ada di tanganmu dan Bima.” Mama mengatakannya memang dengan lembut khas logat Jogjakartanya. Namun, tetap saja rasanya sangat sakit di hatiku. Tidakkah ia tahu bahwa menantunya bahkan sudah periksa ke dokter beberapa kali?

“Mama hanya menyarankan saja Kim, kamu kurangi pekerjaanmu itu dan sering menemani Bima di Lombok. Meskipun Bima tidak mengatakan apapun sama kamu, tetapi kamu seharusnya tahu kalau kewajiban seorang istri adalah mendampingi suaminya.” Mama masih saja melanjutkan rangkaian kata – katanya yang menyakitkanku. Tidakkah ia sekali saja mencoba merasakan rasanya menjadi aku?

“Iya Ma.” Hanya itu yang keluar dari mulutku, lalu aku memilih untuk membawa nampan berisi buah – buahan yang telah disiapkan Mama tadi ke ruang belakang rumah tempat Bima dan Papa sedang asyik bermain catur.

-00-

13 Desember 2009

Aku memasukkan beberapa bajuku ke dalam koper dan menatanya dengan rapi. Selama tiga hari ke depan aku akan berada di Filipina untuk sebuah show. Bima masuk ke dalam kamar dan menatapku yang tengah menata baju di dalam koper.

“Kamu berangkat malam ini?” tanya nya yang aku jawab dengan anggukan.

“Apa tidak bisa untuk berangkat besok jadi kita bisa barengan ke Bandara?” tanyanya lagi yang membuatku menghentikan aktifitasku. Aku melihat wajahnya yang tampak memelas. Tentu saja aku tahu arti tatapan itu. Ia menginginkanku untuk tinggal setidaknya sampai ia kembali ke Lombok besok.

“Pesawatnya nanti malam Mas. Dan besok ada beberapa persiapan yang harus dilakukan.” Aku menekan suaraku untuk menghindari pertengkaran yang sering terjadi beberapa bulan ini.

“Papa Mama juga masih di sini Kim.Tidak bisakah kamu mengorbankan sedikit saja pekerjaanmu untukku dan keluarga kita?” Ia mulai terlihat emosi namun suaranya masih pelan karena Papa dan Mama berada di sini. Jadi, mungkin ia takut kedua orangtuanya tahu kalau kedua anaknya ini lebih sering bertengkar sekarang.

Aku menarik nafas panjang untuk menahan emosiku yang siap meledak. Ku langkahkan kakiku mendekatinya. “Jangan bicara tentang berkorban padaku, kalau kamu sendiri justru lebih sering mengorbankanku daripada pekerjaanmu.” Aku berbisik di telinganya lalu berpaling padanya saat aku merasakan lenganku dicengkeram kuat oleh Bima.

“Aku bekerja seperti itu untuk siapa? Untuk apa?” dari yang aku lihat sekarang, Bima justru semakin emosi.

“Untuk siapa? Untukku? Untuk apa? Untuk bisa pindah ke Jakarta?” Dadaku semakin sesak mendengar ucapan Bima. Aku benar – benar marah padanya kali ini. Bagaimana bisa ia mengatakan semua itu ia lakukan untuk bisa pindah ke Jakarta? sementara beberapa bulan yang lalu ia memilih untuk mendapatkan posisi kepala cabang di Lombok daripada menjadi staf di Jakarta.

“Dan lagi Mas, siapa yang menyuruhku untuk beraktifitas supaya tidak kesepian? Siapa yang pada akhirnya protes begini karena pekerjaanku?” aku melepaskan cengkeraman tangannya dan berlalu darinya. Dengan cepat aku merapikan koperku dan meletakkannya di sudut kamar kemudian berjalan ke kamar mandi. Aku ingin mengguyur kepalaku yang panas ini.

Malam harinya, aku berangkat ke Bandara bersama Welly. Aku sengaja memintanya untuk menjemputku daripada aku harus diantar oleh suamiku sendiri dan berakhir dengan saling diam di dalam mobil. Aku menatap layar besar di terminal keberangkatan dan melihat masih 2 jam lagi sebelum take off. Malam ini pesawat akan ke Singapura terlebih dahulu dan besok pagi baru ke Filipina.

Aku melepas headset yang menggantung di telinga sejak dua jam yang lalu saat aku menunggu di boarding room. Tidak ada pesan apapun di handphone hingga saat terakhir aku akan mematikan handphoneku. Bima mungkin masih dikuasai oleh emosinya, pikirku. Ku masukkan handphone ke dalam tas lalu berjalan menuju pesawat.

-00-

SAUDADE [Complete] [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang