PART - DUA PULUH SATU

4.6K 308 1
                                    

Catatan Kim Gauri

21 Agustus 2013

Aku duduk di belakang rumah sembari menikmati sore dengan secangkir teh hangat. Tanganku menggenggam buku gambar dan pensil. Sudah sejak sejam yang lalu aku duduk di sini dan menghasilkan dua buah desain baju yang siap dikirim kepada Wynda. Sejak aku hamil, aku lebih sering menghasilkan desain baju dibandingkan aktifitas lain. Sesekali aku masih pergi ke stasiun televisi untuk melakukan shooting acara talkshow, tentu saja itu atas seijin Bima.

Beberapa bulan yang lalu, setelah mengantarkanku pulang ke Jakarta, Bima mendatangi agency bersamaku untuk mengakhiri kontrak tentang acara talkshow. Tentu saja bigboss tidak menyerah begitu saja apalagi pihak stasiun televisi. Setelah berbagai macam negosiasi, pada akhirnya, Bima mengijinkanku untuk tetap menjadi presenter namun dengan persyaratan aku tidak boleh memakai heels ataupun bekerja terlalu lelah. Juga, ia meminta ada driver khusus yang akan menjemput dan mengantarku, sehingga aku tidak akan kelelahan untuk menyetir mobil sendiri. Aku yang pada saat itu di sampingnya hanya bisa diam dan sesekali menarik nafas panjang. Suamiku memang sangat protektif sejak aku hamil, tetapi sekali lagi aku mengingatkan diriku sendiri kalau semua ini ia lakukan karena bayi yang telah kami berdua tunggu sejak lima tahun yang lalu.

Di rumah, aku juga ditemani oleh pembantu rumah tangga yang biasa melayani rumah mertuaku. Mama sengaja memintanya untuk menjagaku supaya aku tidak sendirian di rumah. Wynda juga sesekali menginap di rumah bersama anak – anaknya. Bima sendiri juga pulang setiap minggu dengan catatan tidak ada pekerjaan mendadak. Dan sudah satu bulan ini, ia belum juga pulang ke rumah. Ia bilang ia sedang banyak pekerjaan dan minggu kemarin ia juga diundang dalam pembukaan kantor cabang baru di Singapura.

“Bu, ada tamu mencari ibu.” Mbok Minah membuyarkan lamunanku. Aku menoleh padanya dan tersenyum. Perlahan aku bangun dari duduk sembari memegangi perutku yang mulai tampak besar. Berat badanku sendiri juga sudah naik sekitar 10kg.

Aku berjalan ke depan dan menemukan seorang pria sedang menungguku di ruang tamu. Ia tersenyum saat melihatku datang.

“Hai Kim.” Sapanya seraya melambaikan tangannya. Entah sudah berapa lama aku tidak melihatnya meskipun aku masih sering datang ke stasiun televisi miliknya.

Aku hanya membalas sapaannya dengan senyum sekilas lalu duduk di depannya.

“Selamat ya atas kehamilanmu. Maaf kalau aku masih merepotkanmu dengan acara talkshow.” Ia sedang berbasa – basi. Aku tahu itu karena ia tidak akan datang ke rumahku untuk sekedar mengucapkan selamat atas kehamilanku.

“Ada apa?” tanyaku. Aku sedang tidak ingin berbasa basi dengannya.

“Tidak ada apa – apa Kim. Aku hanya ingin tahu keadaanmu saja.” Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.

Aku memicingkan mata mencoba mencari tahu arti gerak matanya. Sakha bukanlah orang yang datang tanpa ada tujuan. Semua yang ia lakukan pasti ada sesuatu di belakangnya.

“Dimana suamimu?” tanyanya. Matanya mengitari seluruh ruangan tamu dan melihat foto pernikahanku dan Bima di tembok ruang tamu.

“Palembang.” Jawabku singkat.

“Oh, ya? Aku baru saja dari Palembang beberapa hari yang lalu. Apa mungkin aku tidak sengaja bertemu dengannya?” ucapnya lagi. Kali ini aku merasakan ada sesuatu yang mungkin Sakha tahu dan aku tidak tahu tentang suamiku. Namun, aku lebih memilih untuk tidak menghiraukannya saja.

“Sakha, kalau memang tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku mau istirahat.” Aku beranjak dari dudukku. Aku tidak ingin berlama – lama berbicara dengan Sakha.

“Oh. Baiklah Kim. Aku akan pulang.” Ia juga berdiri dan melangkah untuk pergi. Namun, ia berhenti di daun pintu dan menoleh padaku. “Tapi Kim, kamu harus ingat kalau aku peduli padamu.” Ucapnya lalu berjalan pergi.

Aku masih tidak bergerak dari posisiku tadi. Otakku sedang berpikir keras tentang apa yang Sakha maksudkan tadi. Suasana hatiku seketika berubah menjadi kalut. Ada apa sebenarnya? Apa yang tidak aku tahu namun ia ketahui tentang suamiku? Aku berjalan menuju ke kamar dan mencari handphoneku. Setelah menemukannya, aku segera mencari nomor handphone Bima dan meneleponnya. Dua, tiga kali nada sambung tidak diangkat, hingga berkali – kali aku menelepon tetapi juga tidak diangkat. Dimana dia? Kekalutanku semakin menjadi. Banyak hal yang muncul di otakku saat ini. Aku menggigiti kuku – kuku jariku sembari berpikir. Apa yang harus aku lakukan sekarang?

“Halo Wyn.” Wynda adalah orang yang terpikir olehku di saat seperti ini. Karena siapa lagi jika bukan dia yang akan membantuku.

“Kenapa Kim?” Aku kemudian menceritakan semua yang Sakha katakan tadi padaku. Aku juga menceritakan tentang semua pikiran dan prasangka yang muncul di dalam otakku.

“Kim, kamu tenang dulu ya. Aku akan kesana sekarang.” Ucap Wynda sebelum telepon ditutup.

Aku bersandar pada tembok karena aku merasa badanku sangat lemah sekarang. Ku letakkan handphone di meja. Nafasku memburu dan aku mencoba menenangkannya dengan berkali – kali menarik nafas panjang. Lalu, handphoneku berbunyi ada sebuah pesan masuk dari aplikasi Whatsapp. Aku meraih handphone dan membuka pesannya. Sebuah gambar dikirimkan padaku dan satu pesan di bawahnya.

Such a coincidence, right?

Badanku yang sudah lemas menjadi semakin lemas setelah melihat gambar itu. Aku jatuh ke lantai dan menangis sejadinya hingga rasanya dadaku terasa sangat sesak. Lalu, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi padaku karena semuanya menjadi gelap?

Aku membuka mataku perlahan. Entah sudah berapa lama aku tertidur. Hal pertama yang aku lihat adalah langit – langit kamar berwarna putih, berarti aku tidak sedang berada di kamarku. Mataku mengitari sekitar ruangan dan memang benar aku sekarang sedang berada di rumah sakit. Pandanganku lalu beralih pada sesosok pria yang tertidur disamping ranjang. Tangannya sedang menggenggam tanganku. Hanya dengan melihat sekilas, aku sudah tahu siapa yang sedang tidur dengan posisi menelungkup di samping ranjang. Dan refleks, aku menarik tanganku yang sedang digenggamnya. Aku sedang tidak ingin bersentuhan dengannya saat ini.

Pria itu langsung terbangun saat aku menarik tanganku dari genggamannya dengan kasar. Matanya terbuka lebar saat ia melihatku yang sedang menatapnya.

“Kim, kamu sudah sadar?” ia langsung memegang tanganku. Dari matanya aku melihat kelegaan luar biasa ketika ia melihatku. Aku hanya membalasnya dengan menyunggingkan senyum.

“Kamu mau minum Kim?” tanyanya yang aku balas dengan anggukan. Ia mengambilkan segelas air putih di nakas dan membantuku meminumnya.

“Berapa lama aku pingsan?” tanyaku. “Kamu tidak sadarkan diri selama 10 jam Kim. Tetapi dokter bilang, kondisimu dan bayi semuanya baik – baik saja.” Jawabnya.

Mendengar tentang bayi, aku langsung mengelus perutku dan membatin, “Maafkan ibu Nak, yang sudah membahayakanmu hanya karena sakit hati yang ibu rasakan.” Mataku lalu beralih pada Bima yang masih berdiri di sampingku.

“Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku.

“Aku langsung terbang ke Jakarta ketika Wynda menelepon kamu pingsan dan sedang berada di rumah sakit.” Jelasnya. Aku menatap matanya lagi dan menanyakan pada diriku sendiri, benarkah ia sekhawatir itu padaku? Atau ia hanya khawatir pada anaknya yang sedang di kandunganku ini?

“Aku mau istirahat Mas.” Ucapku lalu menarik selimut hingga sebatas dada. Aku sedang tidak ingin berbicara banyak dengannya. Ada sesuatu yang sangat sakit saat aku melihatnya terlalu lama. Aku memilih memejamkan mata meski aku tidak ingin tidur.

-00-

SAUDADE [Complete] [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang