PART - TUJUH

5K 330 1
                                    

Catatan Kim Gauri

08 Maret 2008

Salah satu kebahagiaan seorang wanita adalah ketika ia bisa menemukan pria yang akan menjadi tambatan hatinya. Dan bagiku, hari ini adalah salah satunya. Meskipun hari ini bukanlah hari pernikahanku namun hari ini Bima, officially, akan melamarku. Ia dan keluarga besarnya akan datang ke rumah siang ini. Dan demi hari ini, aku menunda jadwal pemotretan di Singapura. Meski pada awalnya, manajer agency mencak – mencak dan memarahiku, tapi pada akhirnya, dia mengerti dengan kondisi urgent ini.

Lamaran ini adalah acara mendadak yang terpikir oleh Bima setelah ia menyematkan cincin di jari manisku seminggu yang lalu. Tidak ada persiapan jauh –jauh hari karena memang tidak ada waktu lagi. Tiga hari lagi ia harus berangkat ke Bitung, Sulawesi Utara dan mulai bekerja di sana. Ya, semuanya memang berjalan begitu cepat sejak aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Aku dan Bima toh tidak membutuhkan waktu yang lama untuk saling meyakini dan percaya satu sama lain.

“Kim, kamu sudah siap? Mereka sudah datang.” Kakak iparku membuka pintu kamar dan memintaku untuk bersiap.

Aku menatap diriku sekali lagi di cermin. Kebaya warna peach dan riasan wajah natural. Rambut panjangku aku sanggul sendiri dan aku beri hiasan bunga disisi kanan nya. Aku berdiri perlahan. Tanganku memegang dadaku yang terasa sesak. Mungkin aku terlalu bahagia sekaligus sedih hingga jantungku berdetak begitu cepat. Setelah ini aku akan menjadi tunangannya, lalu aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi nanti setelahnya.

Langkah kakiku perlahan keluar dari kamar dan dengan dibantu kakak iparku aku berjalan ke ruang tamu dimana di situ aku bisa melihat Bima duduk dengan diapit kedua orang tuanya. Ia mengenakan baju batik yang senada dengan bawahan kebayaku. Ia tersenyum padaku, seperti senyum – senyum yang selalu ia lemparkan padaku.

Aku duduk di samping Mama dan Danny, tepat berseberangan dengan Bima. Pandanganku lebih banyak menunduk selama acara berlangsung. Pikiranku terus berjalan – jalan diantara kebimbangan yang aku hadapi. Bima adalah laki – laki yang sangat aku cintai bahkan aku bisa merasakannya saat pertama kali melihatnya. Namun, pekerjaannya memaksanya harus terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan membuat jarak antara aku dan dia. Tidak mungkin juga bagiku untuk meninggalkan pekerjaanku dan terus mengikutinya. Tetapi harus bagaimana? Aku harus segera mengambil keputusan. Setelah cincin ini sama – sama bertaut di jari kami masing – masing akan lebih sulit untuk berjalan mundur.

“Kim, aku tahu kamu ragu karena semua ini mungkin terlalu cepat bagimu. Tetapi, aku mohon, percayalah padaku. Aku akan terus menggenggammu apapun yang terjadi. Aku tidak akan pernah mundur sedikitpun meski kamu berpikir untuk mundur dariku. Jadi, aku mohon, ijinkan aku untuk menjadi pendamping seumur hidupmu?” Bima berbisik padaku sebelum menyematkan cincin di jariku. Aku menatapnya dan aku melihat kesungguhan di matanya. Lalu, satu hal terlintas di benakku bahwa aku akan mempercayainya. Aku mempercayainya sepenuh hatiku.

Detik selanjutnya, aku mengangkat tanganku sehingga Bima bisa menyematkan cincin di jari manisku. Lalu, aku pun melakukan hal yang sama. Satu hal yang aku semogakan saat ini adalah ia akan menjadi pelabuhan terakhirku.

-00-

11 Maret 2008

Tidak ada yang namanya kebahagiaan beruntun dalam hidup, karena akan selalu ada kesedihan di tengah – tengahnya. Dan dengan kesedihan yang kita alami, kita akan tahu seperti apakah rasanya bahagia. Seperti hari ini, saat aku harus melepas Bima untuk pergi ke Bitung. Rasanya masih teringat jelas apa yang terjadi beberapa hari yang lalu, saat dia melamarku dan meyakinkanku kalau dia akan terus menggenggamku. Namun, hari ini, aku harus melepaskan genggaman itu.

Aku berdiri menatapnya yang berusaha menutupi kesedihannya dengan senyumnya. Aku tahu persis ia sedang bersedih dan berat melakukannya karena ia lebih banyak diam sejak pertunangan kemarin. Meski ia terus menutupinya dariku, tetapi aku masih bisa melihatnya dengan jelas. Dan mungkin saja, ia juga tahu aku berusaha menutupi kesedihanku dengan mencoba tegar.

“Aku akan menemuimu sesering mungkin.” Ucapnya saat memelukku. “Bitung hanya butuh satu jam perjalanan ke Manado, dan hanya butuh tiga jam dari Manado ke Jakarta. Jadi dalam waktu empat jam aku bisa menemuimu di sini.” Lanjutnya lagi.

“Aku juga akan kesana kalau sedang libur. Hanya butuh empat jam untuk bisa memelukmu lagi seperti ini.” Aku mencoba tertawa kecil meski hatiku menangis.

“Aku akan merindukanmu, Kim.” Ia lalu mengecup keningku. Dan berjalan semakin jauh dari tempatku berdiri. Perpisahan seperti ini selalu terasa menyakitkan. Dan jarak ribuan kilometer selalu membuatku sakit hati. Airmataku menetes saat Bima tidak lagi terlihat olehku. Setidaknya, aku bisa mempercayai Bima kali ini.

-00-

SAUDADE [Complete] [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang