PART - TIGA PULUH ENAM

4K 269 0
                                    

Bima termenung di kantin kantornya. Peristiwa Kim yang menghilang di Mall beberapa hari yang lalu masih menyisakan tanya di pikirannya. Kim memang berbeda dari sebelumnya. Beberapa bulan yang lalu, ia bahkan mencari jam tangan yang sudah ia pecahkan sendiri. Ia juga sering lupa menaruh kunci mobil, antingnya, atau barang lainnya. Ia juga lupa membawa kado yang bahkan menurut Wynda diletakkan di samping tas nya sendiri. Adakah sesuatu yang mengganggu pikirannya hingga ia menjadi seperti itu?

May I interupt you?” sebuah suara wanita menggugah Bima dari lamunannya. Ia menoleh pada seorang wanita dengan setelan dress selutut warna hitam dan blazer warna salem. Rambutnya yang panjang digerai. Dan bibirnya yang dipoles lipstik warna pink sedang tersenyum padanya. Bima membalas tersenyum. Ia menarik bekas piring di meja dan juga gelas jus melon yang tinggal separuh. Wanita itu lalu duduk di depan Bima dan meletakkan secangkir kopi yang ia bawa.

“Masih siang begini kok sudah melamun Bim?” tanya wanita itu lagi saat ia sudah duduk dengan nyaman di depan Bima.

“Bukan melamun Ran, hanya sedang berpikir.” Jawab Bima berbohong.

“Besok kamu jadi berangkat ke Makasar?” tanya Rana mengalihkan pembicaraan.

“Jadi. Karena masalahnya sudah menjadi besar dan media massa juga sudah terlibat, Pak Direktur memintaku untuk langsung terjun kesana.” Bima menyeruput lagi jusnya. “Aku dengar, tim LO mengirimmu?” Bima melanjutkan lagi.

“Yup. Semoga pekerjaan kali ini tidak membuat istrimu cemburu lagi.” Sahut Rana yang langsung membuat Bima menatapnya tajam. Sungguh, Bima tidak ingin masa lalu itu disebutkan lagi apalagi mengingat hubungan antara dia dan Kim sudah membaik sekarang.

“Aku kembali ke ruanganku dulu.” Bima langsung beranjak dari duduknya. Sementara Rana tampak menggigit bibir dan menyesali perkataannya. Ia hanya membiarkan Bima berjalan meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Bima berjalan kembali ke ruangannya dan ingatannya langsung tertarik kembali pada peristiwa lima tahun yang lalu ketika perang dingin antara dia dan istrinya dimulai. Andai saja ia memiliki kesempatan untuk memutar waktunya kembali, ia tidak akan pernah menyakiti istrinya hanya demi egonya yang ingin melakukan kebaikan pada wanita lainnya.

Bima tersadar dari ingatan masa lalunya saat handphonenya berdering. Ia melihat nama Kim tertera di layar.

“Halo Kim.”

“Kamu bisa menjemputku nanti sore di butik? Aku berangkat dengan taksi tadi.”

“Baiklah Kim. Aku akan menjemputmu jam 7.”

“Thanks Mas.” Sambungan telepon langsung ditutup oleh Kim. Bima menatap layar handphonenya dan termenung lagi. Untuk pertama kalinya setelah 5 tahun perang dingin itu, untuk pertama kalinya Kim memintanya untuk menjemputnya. Antara kebahagiaan yang meledak – ledak karena akhirnya Kim membutuhkannya dan pertanyaannya yang semakin menjadi – jadi tentang apa yang sedang terjadi pada istrinya itu. Bima lalu meletakkan handphonenya dan membaca laporan – laporan yang sudah disiapkan pegawainya yang harus ia bawa besok ke Makasar untuk menyelesaikan masalah di salah satu cabang.

-00-

Tepat pukul 7 malam, Bima sudah memarkirkan mobilnya di depan galeri butik Kim. Pandangannya bahkan sekarang sedang terfokus pada gerak istrinya yang tengah melayani pelanggan. Senyum yang ia tunjukkan adalah satu dari sekian banyak hal yang sangat dirindukan Bima. Meski hubungan mereka semakin baik dari hari ke hari, namun ia sangat jarang sekali melihat Kim tersenyum padanya seperti dulu. Yang sering ia lihat adalah Kim yang lebih sering membuang muka dan melamun. Rasanya ingin sekali ia menanyakan apa yang sedang membebani istrinya itu dan mencoba membantunya, tetapi ia tidak seberani itu untuk menanyakannya. Ia justru takut jika yang membebani istrinya adalah kehadirannya lagi. Ia takut jika keinginannya untuk kembali pada Kim justru memberatkan Kim dan membuatnya tidak bahagia.

Bima lalu turun dari mobil saat ia melihat istrinya berjalan ke arahnya. Ia membukakan pintu mobil untuk istrinya yang dibalas dengan ucapan terimakasih oleh Kim. Bima lalu masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin mobilnya.

“Trimakasih ya sudah menjemputku.” Ucap Kim memulai pembicaraan.

“Kenapa harus terimakasih Kim? Ini sudah tugas suami.” Jawab Bima seraya tersenyum kecil.

Kim ikut tersenyum. “Besok kamu berangkat jam berapa?” tanya Kim.

“Pesawat pagi Kim. Kamu mau mengantarku ke Bandara?” Bima malah balik bertanya.

“Biar driver kantor saja ya, Mas. Aku mau istirahat besok.” Jawab Kim. Ia terpaksa berbohong pada Bima. Tentu saja ia takut jika tiba – tiba penyakitnya menyerang dan ia tidak tahu jalan pulang ke rumah dari Bandara. Ia bahkan memilih untuk berangkat ke butik dengan taksi dan meminta Bima menjemputnya pulang karena ia takut kalau ia tidak tahu jalan pulang atau jalan menuju butik.

“Kim, ada yang mau aku katakan padamu.” Ucap Bima tiba – tiba yang membuat Kim menoleh. Kim menunggu Bima mengatakan sesuatu yang sepertinya berat diucapkan karena ia membiarkan waktu berjalan beberapa menit sebelum akhirnya ia mengatakannya. “Besok aku ke Makasar dengan Rana.” Lalu yang terjadi kemudian adalah diam dan sunyi. Bima diam. Kim juga diam. Ia memilih untuk memalingkan wajahnya lagi dari Bima dan menatap ke jendela. Ingatannya menyeretnya pada peristiwa lalu yang hampir menghancurkan rumah tangganya jika saja pada saat itu ia sedang tidak mengandung Nez. Rasanya sangat pahit bahkan masih terasa hingga sekarang. Setiap harinya, ia berusaha mati – matian untuk menghapus ingatan itu di dalam memorinya dan memaafkan suaminya lagi. Dan seperti mendengarkan doanya, Tuhan memberikan sakit ini padanya yang mungkin akan menghapus ingatan – ingatan itu bahkan juga akan menghapus ingatan tentang pria di sebelahnya ini.

“Bisakah kamu tidak pergi saja Mas?” tanya Kim hanya di dalam hatinya. Ia bahkan tidak sanggup untuk mengucapkannya karena sejak dulu ia tahu bahwa Bima adalah orang yang sangat profesional dengan pekerjaannya dan kemarin ia mengatakan kalau Direkturnya sendiri yang menunjuknya untuk pergi ke Makasar. Jadi bagaimana bisa ia mengatakan pertanyaan itu pada Bima?

“Pergilah Mas. Aku percaya padamu.” Sebuah kebohongan besar yang pada akhirnya meluncur dari mulut Kim. Ia bahkan tidak sanggup menatap Bima saat mengatakannya.  Karena yang sebenarnya ia rasakan saat ini adalah rasa takut kehilangan yang sangat besar. Ia tahu persis siapa Rana dan apa yang pernah terjadi antara wanita itu dan Bima. Lalu, bagaimana bisa ia akan percaya jika segala kemungkinan yang pernah terjadi mungkin saja berulang sekarang?

Bima menatap Kim ketika mendengar jawabannya. Ia tahu kalau Kim sedang berbohong saat ini. Tapi ia juga tidak bisa begitu saja membatalkan keberangkatannya. Ia hanya bisa meminta maaf pada istrinya berulang kali di dalam hati jika selama ini ia hanya terus – terusan menyakitinya.

Mobil berhenti di pelataran rumah. Tanpa berkata sepatah katapun, Kim langsung keluar dari dalam mobil dan berjalan masuk. Sementara Bima hanya mengikutinya di belakang. Rumah sudah sepi. Mungkin Nez sudah tidur dan Mama juga sudah berada di kamar. Kim langsung menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Bima hanya menatapnya menghilang dari balik pintu kamar dan ia memilih untuk masuk ke dalam ruang kerjanya. Ada beberapa hal yang harus ia siapkan sebelum berangkat besok.

Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam saat Bima masuk ke dalam kamar dan menemukan Kim sudah tidur di ranjang. Sebuah koper berada di sudut ruangan. Itu berarti Kim sudah menyiapkan semua kebutuhan Bima selama di Makasar. Dan Bima sangat tahu kalau Kim akan melakukan itu meski ia tidak pernah suka jika suaminya harus pergi keluar kota. Namun, tidak pernah sekalipun ia absen untuk menyiapkan kebutuhan suaminya bahkan saat mereka berdua sedang perang dingin, Kim selalu menyiapkan semua kebutuhan Bima.

Bima masuk ke dalam kamar mandi untuk mendinginkan badannya yang gerah. Setelah itu, ia menidurkan dirinya di samping Kim. Dan ia memberanikan dirinya untuk memeluk istrinya karena seminggu ke depan ia akan merindukan wanita ini.

-00-

SAUDADE [Complete] [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang