Part 37

317 21 3
                                    

Bagiku menyimpan masalah itu sendiri jauh lebih baik daripada aku harus mengatakannya kepada orang lain.
Dan itu akan membuat orang itu malah terbebani, karna itu yang bisa membuatku merasa bersalah.

Selamat membaca
****

Pertanyaan Intan itu masih saja terus berputar bagaikan sebuah lagu yang sering ia dengar, namun lain halnya dengan ini. Perang batin terus berkecambuk tak hentinya terjadi, rasa senang karna masalah yang sebelumnya sudah selesai sirna ketika pertanyaan itu terucapkan.

Pertanyaan yang mungkin jika di dengar sekilas itu hanya berupa pertanyaan simple, namun pada kenyataannya itu adalah sebuah pertanyaan yang amat sulit untuk di jawab.

Enggan untuk beranjak dari tempatnya kini, Syafira tidak memperdulikan terpaan angin yang mencoba membuatnya untuk pergi. Menurunyat terpaan angin di malam ini tak bisa mengalahkan terpaan masalah yang saat ini menghampirinya. Ingin rasanya ia menjerit untuk melepaskan bebannya namun bibirnya seakan enggan untuk menjerit.

Dertttttt….. derttttttt…….

Syafira yang masih berdiam diri harus dikejutkan oleh deringan hpnya yang di letakkan di meja tak jauh dari tempat ia berdiri. Tangannya pun kini meraih hpnya yang kini menampilkan nama sahabatnya Daffa. Hp itu terus berdering sampai panggilan pertama tidak ia angkat yang di lakukan syafira hanya menatap layar hp itu, bukan karna tidak mau mengangkatnya tapi lebih tepatnya ia belum siap. Belum siap untuk mendengarkan suara orang yang ia sendiri tidak ketahui apa status diantara mereka berdua.

Daffa yang heran karna telpon darinya tidak diangkat mencoba kembali menelpon untuk yang kedua kalinya. Ia hanya bisa berharap agar telponnya kali ini akan diangkat oleh wanita yang jujur terkadang bisa membuatnya rindu. Entah itu karna sifatnya ataupun tingkahnya yang sedikit kekanak-kanakan, namun itu sangat lucu.

Dertttttt….. dertttttttt…..

Ini deringan yang kedua, tak tega jika harus ia acuhkan lagi. Syafira pun meraih hpnya dan menekan tombol hijau.

“Assalamualaikum Fira, kenapa tadi ngak diangkat sih? Katanya udah enggak marah lagi.” Ujar Daffa yang berada di seberang sana.

“Waalaikumsalam maaf yah tadi aku lagi di luar kamar, sedangkan hpnya aku tinggal di kamar.” Yap ini adalah suatu kebohongan besar, namun itulah yang terucap dari mulutnya.

“Ohhh jadi tadi lagi ngumpul yah?”

“Enggak ngumpul juga sih, oh iya kamu nelpon ada apa Fa?” entahlah tapi yang jelas setiap jawaban dari Syafira begitu dingin.

“Enggak ada sih, aku cuma mau dengar suara kamu hehhehehe”

Sunyi….

Tak ada jawaban ataupun kekehan dari Syafira, tentu ini membuat Daffa heran dan menghentikan tawanya.

“Fira, kamu masih di situ kan?”

“I..iya aku masih di sini. Oh ya Fa udah dulu yah, aku mau belajar dulu nanti Abi marah kalo aku enggak belajar. Assalamualaikum.” Satu lagi kebohongan yang dibuat oleh Syafira.

Entah dari mana ia belajar untuk berbohong tapi yang jelas saat ini ia telah berbohong pada sahabatnya sebanyak dua kali. Jangan tanya bagaimana pemikiran Daffa saat ini, seingatnya Syafira tidak pernah memberikan alasan yang seperti ini. Jika mereka sudah telponan maka alasa untuk berhenti hanyalah kantuk yang sudah menyerang. Namun sebagai sahabat yang tak ingin melihat sahabatnya kehilangan prestasi yang sudah di pertahankan, Daffa hanya bisa meng-iya kan pernyataan Syafira.

Begitu Daffa menjawab salam darinya, Syafira pun memutuskan telpon diantara mereka. Ada sedikit penyesalan yang menghampirinya ketika pernyataan itu terucap begitu saja, namun semua itu sudah terjadi dan memang penyesalan selalu datang diakhir. Syafira yang kini beralih menjadi duduk, mencoba membuka buku diary yang selama ini selalu ia bawa. Di buku itu begitu banyak kata-kata yang bisa membantunya menumpuk kembali semangat yang sudah sempat hilang.

Di buku itu selalu tersematkan pena yang selama ini sudah menemaninya dalam mengukir sebuah kenangan indah menjadi sebuah untaian kata-kata dan tertulis di buku ini. Begitu banyak kenangan di setiap lembar dari kumpulan kata-kata itu yang mungkin hanya dimengerti olehnya saja. Begitu pun malam ini, pena itu kembali di pegangan dan Syafira mulai menuliskan kata demi kata yang menggambarkan keadaan hatinya saat ini.

Jika boleh jujur….
Hati ini masih belum siap kembali bergurau denganmu.
Hati ini belum  siap untuk kembali mengukir kenangan indah persahabatan kita.
Kau boleh mengatakan aku ini egois,
Tapi pada kenyataanya inilah sifatkku untuk saat ini.

Memang benar kau sudah menjelaskan semuanya.
Tentang sikapmu yang seketika berubah.
Tapi ada satu yang membuat hati ini belum siap.
Sebuah pertanyaan yang terdengar begitu simple, namun untuk jawabannya aku sendiri tidak tau.
Aku berharap kau bisa memaklumi sifatku ini.
Mungkin memang aku seorang sahabat yang egois.
Aku mohon maafkan aku.
Perang batin ini pasti ada akhirnya.

Namun, kapan waktu berakhirnya aku sendiri tidak tau.
Tapi aku berharap ini akan segera berakhir dan kita bisa kembali akrab seperti sebelumnya.

Tangannya pun berhenti ketika kata yang terakhir itu tertulis, entah sejak kapan tapi yang jelas kini beberapa bulir air mata jatuh membasahi pipinya. Bukan karna Syafira merasa bahwa ia kehilangan sesuatu tapi itu karna ia sangat merasa bersalah
kepada sahabatnya.

“Kenapa pertanyaan itu harus aku dengar?? Seharusnya semua ini udah selesai tapi pada kenyataanya belum. Kapan selesainya? Kenapa hati sama pemikiranku enggak sejalan sih? Ya Allah bantu hambamu ini.” Seketika kata-kata itu terucap tanpa pernah ia perkirakan.

Pagi ini sinar mentari pagi kembali menyinari bumi. Aktifitas semua orang pun terus berjalan, begitu pun dengan Syafira yang kini sedang berjalan di tangga menuju kelasnya namun kali ini ia terlihat seperti mayat hidup yang tengah berjalan. Sampai di kelas Syafira tidak memperhatiakan sekitarnya, tujuannya hanyalah kursi tempat ia biasa duduk. Intan yang melihat kondisi Syafira malah mencoba berpikir untuk mencari bahan ejekan.

“Eh nih bocah, kenapa sih? Kok kayak mayat idup gitu.” Bermaksud hati ini membuat candaan di pagi hari namun ocehannya itu tidak di respon sama sekali.

Intan yang keheranan pun mencoba menatap Syafira yang kini menatap ke depan tanpa berkedip. Intan yang penasaran pun mencoba melambaikan tangannya di hadapan Syafira tapi itu pun tidak di respon.  Bingung dengan sikap Syafira, dengan berat hati Intan pun terpaksa menggoyang bahu Syafira dan untungnya itu membuat Syafira tersadar dari lamunannya.

“Kenapa sih? Dari tadi bengong, kesambet loh nanti baru tau rasa. Lagian mikirin apa coba pagi-pagi gini buk, emangnya situ punya masalah apa sih?” tanya Intan dengan kadar penasarnnya yang tinggi.

“Aku enggak punya masalah sih, lagian aku enggak mikiran apa-apa kok. Tadi cuman lagi…..” yah kali ini ia pun mencoba memikirkan kebohongan apa lagi yang akan ia buat.

“Lagi apa? Jangan bohong loh.”

“Siapa yang bohong, aku cuma lagi ngak mood aja. Pagi ini kurang mood, maaf yah.” Alasan itu hanyalah sebuah kebohongan yang besar, bukannya tidak mood tapi ia memang lagi memiliki masalah yang berawal dari pertanyaan Intan.

Namun Syafira adalah gadis dan juga sahabat yang tidak mau membebani para sahabatnya dengan masalah yang ia miliki dan juga ia tidak akan mau menyampaikan bahwa masalah yang ia alami ini karna ucapan sahabatnya itu. Ia tak ingin kehilangan sahabatnya dan tak ingin melihat sahabatnya sakit hati karna perkataannya. Syafira akan merasa lebih baik menyimpan masalahnya dari pada harus mengumbarnya walaupun itu membuat hatinya serasa tersayat. Inilah dia, gadis yang begitu baik namun di balik kebaikannya ia menyimpan banyak masalah dan itu harus ia selesaikan sendiri.

*****
Terima kasih untuk kalian yang udah mau baca cerita ini.
Jangan lupa untuk meninggalkan jejak kalian yah 😊😊😊

Karna itu penyemangat bagiku

Salam hangat dari author

Update, 2 Agustus 2018
Pukul 15.24


Sahabat Dan Cinta [END] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang