chapter 14

10.5K 483 5
                                        

Happy reading!

Petra POV

Sorotan matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah jendela kamar membangunkanku dari tidur yang masih berat. Aku menyipit, berusaha mengusir kantuk yang masih menggelayut, sementara tubuhku enggan beranjak dari kasur yang terasa begitu hangat.

Aku melirik jam digital di atas nakas, angka merah menyala menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Aku menghela napas pelan, lalu mencoba beranjak duduk ketika mendadak gerakanku tertahan. Ada sesuatu yang berat dan hangat melingkar di perutku.

Dahiku berkerut, mataku menelusuri sumber tekanan itu, dan napasku seketika tertahan di tenggorokan. Dimas.

Pria itu masih terlelap di sisiku, lengannya erat melingkari pinggangku, tubuhnya begitu dekat hingga aku bisa merasakan embusan napasnya yang teratur mengenai tengkukku. Bahkan, jemarinya yang besar nyaris menyentuh dadaku, menciptakan sensasi aneh yang menjalari kulitku.

Aku menelan ludah, jantungku mulai berdetak tak karuan. Aroma maskulin yang khas dari tubuhnya menguar lembut, memabukkan dan membangkitkan kesadaran penuh dalam diriku. Dengan hati-hati, aku mencoba melepaskan diri dari pelukannya. Namun, baru saja jari-jariku menyentuh lengannya, ia bergerak pelan, tubuhnya menegang sesaat sebelum kembali mengendur. Erangan kecil lolos dari bibirnya, suara serak yang nyaris membuatku berpikir dua kali untuk pergi.

Aku menahan napas, menunggu, hingga akhirnya menyadari bahwa Dimas masih dalam tidurnya. Dengan cepat aku menarik diri, turun dari tempat tidur, lalu berjalan menuju kamar mandi.

Saat tanganku menyentuh gagang pintu, telingaku menangkap suara desahan samar dari belakang. Aku menoleh, mendapati Dimas menggeliat di atas kasur, seolah mencari sesuatu yang hilang. Tatapanku tertambat pada lekukan tubuhnya yang kokoh di balik selimut yang setengah tersingkap. Dada bidangnya naik-turun dengan ritme tenang, bibirnya sedikit terbuka, seakan menahan keluhan yang tertahan.

Aku buru-buru mengalihkan pandangan, menekan detak jantung yang tak terkendali, lalu segera masuk ke kamar mandi.

Ketika aku keluar, Dimas masih terlelap, memberiku waktu untuk beranjak ke dapur dan mulai membersihkan sisa makan malam kami yang sempat terlantar. Aku mengalihkan pikiranku dengan menyibukkan diri, tetapi sesekali ingatan tentang Ayah dan Jevin muncul di benakku. Sudah lama aku tak mendengar kabar mereka.

Setelah semua beres, aku mencoba menghubungi Jevin, tetapi panggilanku tak dijawab. Aku hanya bisa menduga bahwa ia sedang sibuk. Selisih waktu lima belas jam sering kali membuat komunikasi kami terhambat.

Aku menghela napas, meletakkan ponsel di meja, lalu membuka kulkas. Sebuah cup es krim berwarna pink menarik perhatianku. Aku mengambilnya, berharap manisnya bisa sedikit memperbaiki suasana hatiku.

Namun, baru saja aku hendak menyendok suapan pertama, suara decitan pintu kamar terdengar. Refleks, aku menoleh.

Dimas berdiri di ambang pintu, kini telah berpakaian rapi. Kemeja biru dongker membalut tubuh atletisnya dengan sempurna, kontras dengan kulitnya yang kecokelatan. Lengan bajunya tergulung hingga siku, memperlihatkan urat-urat halus di lengannya yang kokoh.

Sorot mataku tanpa sadar turun, memperhatikan caranya mengancingkan jam tangan kulit di pergelangan tangan kanan. Setiap gerakannya terlihat santai, tapi juga begitu maskulin.

"Kau ingin pergi ke mana?" tanyaku, menghentikan suapanku yang hampir sampai ke bibir.

Dimas menoleh, menatapku sekilas sebelum kembali sibuk dengan jam tangannya. "Aku harus ke kantor. Ada beberapa berkas yang perlu aku periksa dan tanda tangani, lalu bertemu dengan klien."

His touch, Her desireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang