Bersama temaramnya pagi, dua jam lalu Jungkook sudah mengantar Rosie pergi mengambil mobil ke bengkel. Mereka berpisah di tempat itu.
Ada sesuatu yang mengharuskan lelaki ini kembali menyusuri jalan beraspal yang tidak lengang oleh kepadatan pengguna jalan, alasannya karena mendapat sebuah telepon dari seseorang.
Adalah sosok yang menggantikan kedua orang tuanya, seseorang yang menjadi pundaknya ketika kegelapan itu mulai menggerogoti jiwa.
Rumah si pemilik yang menjadi tujuan selanjutnya, sudah terlihat beberapa meter dari jarak mobilnya yang bergerak. Kediaman keluarga Wijaya. Jika menggunakan motor seperti biasanya waktu yang ditempuh dalam perjalanan tidak lama.
Ketika membeli lahan ini, wanita yang Jungkook panggil dengan sebutan tante tersebut membangun dengan desain sendiri. Tidak ada gerbang atau pagar yang melindungi seperti menjadi tembok penghalang dari dunia luar. Rumput pendek yang memiliki jadwal rutin agar tetap tertata, rapi dan memberikan ketenangan saat menginjakkan setiap langkah.
Taman yang dibuat mengitari dari semua sisi, serta ada kolam seperti danau buatan dengan bentuk setengah melingkar di depan rumah. Ada dua perahu kecil yang dapat di gunakan saat ingin melepas kejenuhan. Jembatan penghubung ukiran seperti batang pohon ek harus disebrangi jika ingin menginjakkan kaki di teras rumah.
Rumah petani
Itu yang selalu Jungkook ingat. seperti kata-kata wanita itu.
Jangan menghina pekerjaan petani, jika tidak ada petani. Kita semua tidak bisa makan nasi Mereka bekerja dibawah terik matahari yang semakin menyengat setiap jamnya, karena usaha mereka–––kita tidak kekurangan pasokan beras. Petani merawat agar benih padi tumbuh dan berkembang dari hari ke hari, mengurus agar padi bertahan hidup jika terjadi musim hujan, wabah hama. Proses yang melelahkan. Pekerjaan ini sungguh mulia.
Seringkali pemikiran terhadap hal sederhana, yang sebenarnya merupakan pondasi utama dari hal besar.
Salah satu alasan mengapa bangunan ini menerapkan model klasik, seperti ketika wanita itu tinggal di Overijssel.
Wanita yang pernah mengatakannya, sedang duduk di depan teras. Menyeduh teh, kepulan asap tipis menghilang di udara dengan potongan lemon menambah kesegaran tehnya. Dengan cangkir bermerek Wileman Foley itu, produk tahun 1800-an identik dengannya. Salah satu cangkir kesukaan.
"Madam." Jungkook berlari tersenyum dalam langkahnya seperti anak kecil yang mendapat hadiah.
Sambutan yang diberikan padanya adalah sebuah peringatan agar berhati-hati melintas, ada bunga yang masih dalam proses penanaman.
Jungkook memeluk erat, hampir membuat wanita ini terjengkang.
"Lek gak di telepon, gak mrene."**
Jungkook memegang kedua pipi sang tante. "Sibuk tante, maaf."
Keduanya memilih bicara dengan santai, seraya mengambil tempat duduk masing-masing. Pada kursi teras dengan bentuk mangkok. Pertama kalinya Jungkook melihat benda ini.
Mungkin baru, pikirnya.
"Tante mau ngomong penting." Kata Boa setelah menyesapi tehnya.
Jungkook menaikkan kedua alisnya, pembicaraan serius, dilihat dari air wajah sang tante, "Tentang apa tan?."
Boa berdehem sebentar, berfikir sebelum mengatakan isi dalam pikirannya.
"Maaf ucapannya tante, Jeka potong. Jeka mau minta tolong." Jungkook mendadak menginterupsi kalimat Boa.
Wanita ini menoleh terkejut. "Ya, dek. Bilang aja."
Hening sejenak, kedua telapak tangan Jungkook bertautan bimbang.
"Jeka ada calon. Tante mau gak temenin Jeka buat lamar dia?."
Boa mendelik, "Ini kamu serius. Beneran..."
Bukannya menjawab, malah memilih tersenyum menunjukkan seluruh deret gigi yang dia miliki.
Boa menusuk bahu Jungkook dengan telunjuknya. "Ada fotonya gak, tante mau liat. Gimana orangnya."
Kebetulan ponsel sedari tadi diletakkan di atas meja. Jungkook segera membuka galeri foto dalam ponselnya. Menunjukkan potret wanita yang dibicarakan.
Boa tersenyum sumringah, "Kirim ke tante foto ini. Nanti kita cari waktu ya buat ketemu dia."
Jungkook meletakkan ponselnya, seraya mengangguk.
Selesai berbicara, mengingat kembali perihal urusan keberadaan dirinya di tempat ini pada Boa.
"Ih iya, Tante suruh kesini mau bahas tentang kamu. Gini, kamu sudah punya semua, tinggal selesaikan pendidikan, atau mau lanjut pendidikan lagi juga boleh. Usaha atau kerjaan juga sudah punya. Sekarang sisanya, mencari pendamping hidup. Apalagi yang mau dicari ? Gak ada to. Eh, ternyata ini kamu bilang ada calon. Pas banget." Boa mengusap lengan Jungkook bahagia.
"Oalah, Jeka pikir apa." Jawab Jungkook singkat.
Dia menyadari jika hari ini harus bekerja, setelah kemarin seharian mengambil waktu istrirahat dari pekerjaan dan rutinitas.
Jungkook pamit setelah menjelaskan pada Boa.
Wanita ini berdiri dari tempat duduk, kemudian kembali memeluk Jungkook erat.
"Hati-hati di jalan. Jaga kesehatan ya dek."
Jungkook melambaikan kedua tangannya dan pergi melangkah menuju mobil.
Boa masih berdiri, hingga mobil yang Jungkook tumpangi sudah tidak terlihat.
Orang lain baru saja tiba, hanya mengetahui jika ada sesorang yang bertamu di rumahnya. Dia juga melihat sang ibu yang masih berada di depan teras.
"Siapa mi?" tanyanya ketika sudah berdiri di samping tubuh Boa.
Boa menatap heran, "Itu kan Jeka, gimana sih kamu gak ngenalin mobilnya."
Vinan masih tidak mengerti maksud ibunya. "Oh dia baru beli mobil? Biasanya kan pake motor." Sahut Vinan.
Menyadari jika dirinya mengatakan sesuatu yang tidak Vinan ketahui, Boa mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Hampir saja keceplosan. Tetapi berheti pada kalimat selanjutnya.
"Bukan, mobil temennya itu." Jawaban lain sambil melirik raut wajah lelaki yang bertanya padanya.
Vinan terlihat memainkan jari telunjuknya di sekitar pelipis, setelah itu mengangguk singkat.
Tiba-tiba saja menunjukkan potret seseorang dari lensa kameranya pada Boa.
"Aku jujur sama mami, sudah lama suka dia dari sebelum aku tunangan. Aku mau serius sama dia."
Boa memberikan atensi penolakan pada lelaki yang terlihat lebih bahagia dari sebelumnya. "Apa-apaan kamu. Gak bisa. Pertunangan KAMU BATAL be-lum ada dua bulan VINAN. Kamu mikir apa sih? Mami gak setuju, jangan sekarang. Kamu udah bikin mami malu satu kali."
Lelaki ini menurunkan dengan gontai kamera sejajar dengan tangannya atas respon yang ibunya berikan. "Tetap aku lakukan, walaupun tanpa persetujuan mami."
Boa meletakkan kedua tangannya bertumpu di pinggang, "Nggak Vinan, nggak. Kamu harus belajar dari kejadian tempo hari. Jangan nekat kamu ya."
Vinan pergi masuk ke dalam, tidak mengindahkan suara Boa yang mendominasi mencegahnya.
"VINAAAN, mami belum selesai bicara. VINAAAN."
Wanita ini berhenti memanggil nama putranya, otaknya bekerja merekam potret seseorang yang tidak begitu jelas dari lensa kamera Vinan.
Kemudian mengerjap, panik–––
"Vin, siniin kamera kamu." Boa berlari ke dalam rumah mengejar langkah Vinan.
Seperti jutaan pasir yang ku genggam erat dalam tangan kosong. Ku pikir itu akan membuatmu aman, ternyata kekuatan ku lah yang membuatmu pergi perlahan dan menghilang
––––––––––––––
**) Kalau tidak dihubungi, tidak kesini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Regnbue || Jeon - Rosé [END]
Fanfiction[ C O M P L E T E D] "Beauty is formed from the many wounds of the past. Life that isn't easy will still be someone who goes through a lot." Dalam satu malam, setelah cahaya putih membias tubuh Jungkook dan Rosie, ada bagian dari diri mereka yang bi...