Rosie POV
Aku pikir dia akan menolak dengan sikapnya yang menyebalkan. Tetapi nyatanya dia benar-benar duduk di tempat yang aku minta. Tangannya menyerahkan celana training panjang berwarna hitam.
"Pa-ke-nya di-to-i-let." Katanya dengan penekanan.
Tambahan, dia juga laki-laki yang baik, walaupun menyebalkan. Tidak sampai lima menit, aku keluar dari kamar mandi. Ku lihat dia sudah merebahkan setengah tubuhnya di atas tempat tidur. Membiarkan kakinya tetap menginjak lantai.
"Sudah berapa lama?," kataku melesak duduk di dekatnya mengangkat dan melipat kedua kaki di atas tempat tidur.
"Apa ?"
"Lempar-lempar barang kalau marah." Tanyaku sambil melirik wajahnya. Kedua matanya terpejam. Tetapi aku yakin dia mendengar pertanyaan ku.
"Dari SMP Setelah orang tua gue meninggal." Jawabnya masih dengan mata terpejam.
Kalimatnya mengenai sisi sensitif perasanku. Hidup bertahun-tahun dalam kebencian sebesar ini. Tanganku bergerak reflek menyentuh kening, dan menyingkirkan poninya.
Aku mengusap sambil tersenyum simpul, "cerita aja, aku dengerin."
Jungkook membuka lebar kedua matanya, menoleh ke arahku, karena aku mengusap keningnya. Dan mulutku mengeluarkan kosa kata diluar kendaliku.
"Akuuu," katanya mengulang. Salah satu kesalahan yang ku sesali.
Secepat kilat menyingkirkan tanganku sendiri, menolak dengan gerakan sepuluh jari tangan, "salah denger, salah denger. Hehe." Aku meringis.
"Aku suka keduanya kata yang tadi dan begini." Dia mengambil tanganku dan meletakkan di atas keningnya.
Aku tersenyum, ingin mengerjainya. Menggerakkan satu tangan lagi. "Atau gini." Mengusap seluruh wajahnya tidak beraturan dengan kedua telapak tangan.
Berhasil, haha. Dia tidak marah. Sebaliknya tertawa lepas, aku senang melihatnya seperti ini. Dia mengangkat kedua kakinya ke atas tempat tidur, Aku menghindar. Kami seperti kucing dan anjing. Tidak berhenti saling mengejar. Tempat tidur menjadi berantakan. Saling melempar selimut, guling juga bantal. Kamar yang sebelumnya rapi berubah dalam waktu singkat.
Jungkook datang, dan berhasil menangkap tubuhku saat aku berada di dekat jendela. Dia menggeleng ringan, "Kamu liat, sekitar kamu. Be-ran-ta-kan."
'Tu kan, jadi aku-kamu nih, gara-gara mulut gue sih.'
Kedua kalinya aku bisa melihat dengan jelas wajahnya. Manik matanya yang teduh. Rahangnya yang tegas, poninya yang tersibak sebagian, karena berusaha mengejarku. Dia menundukkan wajahnya. Aku sontak histeris sendiri, menutup wajahku dengan kedua lengan.
"Gak ada, gak ada. Jangan main cium ajaaa. Aku bukan cewek yang liar ya. Aku itu cewek baik-baik." Protesku, masih memejamkan mata dengan kedua lengan yang membentuk benteng pertahanan.
Hening, karena penasaran aku membuka perlahan sudut mata. Lelaki ini mengulum senyumnya menyebabkan kedua pipinya naik akibat tersenyum.
"Siapa yang mau cium? Pede banget. Memangnya aku cowok apaan." Katanya ketus.
Ku tarik semua kalimat yang mengatakan dia baik. Lelaki ini sangat sangat menjengkelkan. Kali ini suara tawanya pecah, dengan masih dalam keadaan memelukku.
"Coba senyum." Katanya tiba-tiba setelah berhenti tertawa.
Aku malas menggerakkan saraf wajah untuk permintaannya.
"Lepas pelukannya," kataku memicingkan mata.
Dia tersenyum, "aku lepas, setelah kamu turuti permintaan yang tadi."
Selain aneh dia menyebalkan, menjengkelkan dan bertindak semaunya. Aku tidak bosan mengulang kata-kata ini. Berganti senyuman sebanyak lima kali. Dia terus saja protes mengatakan senyum palsu, tidak tulus dari hati. Sampai aku tidak sadar jika sedang tertawa tanpa alasan. Saat itu juga jari telunjuknya bergantian menusuk pipi kiri dan kanan.
"Pipi kamu mirip bakpao ya? kalau senyum. Aku perhatikan. Tapi cantik."
Setelahnya dia menepati ucapannya. Melepaskan pelukan, berjalan ke tempat tidur. Merebahkan tubuhnya disana, menutup kedua matanya dengan lengannya.
Aku mengekor, tetapi untuk mengambil kursi putar satu-satunya yang ada disini––duduk, menggerakkan badan kursi hingga membentur sisi tempat tidur. Aku meringis tersenyum sambil mengangkat jari perdamaian padanya.
"Hate is heavy, let it go." Kataku sembari menatapnya.
"Percuma, sudah jadi kebiasaan. Psikolog, psikiater. Saran mereka, terapi, sampai obat yang di resepkan. Semuanya gak bikin aku jadi lebih baik."
Sekarang aku mengerti, dia begitu panik saat menemukan mobil ku mogok. Takut jika hal yang sama menimpaku seperti yang terjadi pada kedua orang tuanya.
Aku meletakkan kepalaku di atas punggung kursi, menunjuk ke hatinya.
"Kamu tau racun?," dia menoleh ke arahku. "Kenapa?." Tanyanya lirih.
"Membenci seseorang, membenci keadaan. Sama seperti kamu membawa racun. Menggenggamnya erat di tanganmu. Membawanya kemanapun kamu pergi. Racun yang tertutup rapat itu, tetap akan mengenai tubuhmu. Sedikit demi sedikit. Kamu yang akan mati karena racun itu sendiri, bukan orang lain. Racun kebencian yang kamu buat sendiri."
Dia mengangkat punggungnya dari tempat tidur, melipat kedua kakinya, mengubah poros duduknya. Kepalanya menunduk, menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya ada yang ingin dia ucapkan. Dilihat dari gerak-geriknya.
Aku sedikit terlonjak saat dia mulai menatap tepat kedua mataku. Tatapan ini sarat akan makna.
"YA atau ENGGAK. Tolong pilih salah satu. Aku kasih tau setelah kamu pilih. Jangan tanya apapun sebelum kamu pilih."
"Jeon, ka–––."
"Pilih salah satu Rosie." Dia kembali mengulang kalimat yang sama.
Aku berharap dia tidak melakukan hal aneh, konyol atau apapun, suhu tubuhku turun, telapak tangan rasanya mulai dingin. Kedua iris mataku menatap segala sudut. Mencoba menemukan jawaban. Aku mengembalikan pandangan padanya, memelas. Sorot matanya tetap memintaku untuk memilih antara dua kata itu. Aku mengusap rambutku frustasi. "Pilihan pertama. Aku pilih 'YA."
"Thanks." Katanya datar, hanya itu. Dia membelakangi ku. Memilih tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Regnbue || Jeon - Rosé [END]
Fanfic[ C O M P L E T E D] "Beauty is formed from the many wounds of the past. Life that isn't easy will still be someone who goes through a lot." Dalam satu malam, setelah cahaya putih membias tubuh Jungkook dan Rosie, ada bagian dari diri mereka yang bi...