42. Hancur

32K 2.5K 266
                                    

Gitar.

Melihat kedatangan cowok itu, jantung Kaisar bergemuruh bagaikan badai. Kaisar sudah berpikir kalau Gitar datang malam-malam ke rumah Triva untuk tujuan yang nggak baik. Namun Kaisar ternyata salah, dan itu membuatnya terdiam saat Gitar memberitahukan alasan kedatangannya...

"Triv, ini hape kamu ketinggalan di mobil aku."

Mendengar itu, Kaisar hanya menatap Triva dari samping. Dia bukanlah cowok bodoh, dia bisa melihat bagaimana reaksi Triva saat ini; gugup, cemas, dan takut. Persis seperti seseorang yang baru saja ke-gap melakukan kesalahan.

Bahkan sampai Gitar berpamitan pun, Kasiar tetap diam.

"Duluan, Kai. Sori ganggu malem-malem," pamit Gitar.

Kaisar hanya tersenyum dan mengangguk kecil menanggapinya. Dia dan Gitar bukanlah teman yang dekat, bahkan untuk disebut teman saja sudah sangat berlebihan. Mereka hanya saling mengenal nama dan tau siapa mereka untuk Triva.

Masih dalam keheningan, Kaisar tetap diam. Dia hanya memutar-mutar sisa Pizza di tangannya tanpa berminat untuk memakannya sedikitpun. Seleranya sudah lenyap, Pizza pun telah dingin tersapu hembusan angin.

Kaisar tersenyum dan menggeleng kecil. Dia seakan mentertawakan dirinya sendiri. Kebodohan terbesar dalam hidupnya adalah datang ke rumah Triva dan menemukan kenyataan kalau pacarnya itu...

"Kai, aku..." Triva nampak tersendat-sendat saat berusaha menjelaskan.

Kaisar tau, Triva pasti sedang sangat merasa bersalah. Dan ya, Triva memang salah. Siapapun tak bisa mengingkari itu. Berbohong bukanlah sesuatu yang bisa dibenarkan dalam setiap hubungan.

"Maaf, aku nggak bermaksud buat tutupin ini dari kamu. Aku cuma takut kamu berpikir kalau aku sama Gitar..."

Kaisar menatap Triva lekat-lekat. Begitu banyak pertanyaan yang nggak bisa gitu aja dia lontarkan. Sakit? Sudah pasti. Siapa pun akan sakit bila dibohongin, terutama oleh orang yang kita cintai.

"Udahlah Triv, nggak perlu dibahas. Kamu punya hak buat nentuin jalan hidup kamu sendiri, buat apa minta maaf?"

Mendengar itu, Triva menjadi semakin cemas. Reaksi Kaisar yang jauh di luar ekspektasinya malah membuatnya semakin takut. Bukankah harusnya Kaisar marah? Itu normal, Triva akan menerimanya karena memang dia bersalah.

"Kai, kamu harus tau kalau aku nggak ada maksud sama sekali buat bohongin kamu. Aku cuma takut kamu salah paham dan mikir yang nggak-nggak kalau tau aku dianterin sama Gitar saat pulang tadi," bahkan Triva sendiri menganggap penjelasan itu klise, sebuah alasan semu untuk membuat diri sendiri nampak tidak bersalah.

Kaisar kembali tersenyum, bukan pada Triva. Melainkan setengah menunduk.

Bagi Triva, senyum itu adalah cara Kaisar mentertawakan alasan Triva yang begitu naif.

"Kai, ngomong... Kalo kamu diem kayak gini, aku nggak tau harus gimana?" Bujuk Triva lagi.

"Udah malem, kayaknya aku harus pulang." Kaisar berdiri dan mengambil kunci mobilnya dari atas meja.

Triva dengan cepat ikut berdiri dan menghadang Kaisar. "Kai, jangan pulang dulu. Sumpah demi apapun aku nggak akan tenang kalau kamu pulang dalam keadaan kayak gini," bujuk Triva.

Kaisar mengangkat tangannya dan mengusap puncak kepala Triva. Sentuhan itu justru membuat Triva semakin gemetar dan ketakutan, seakan itu adalah sentuhan terakhir yang nggak akan bisa dia rasakan lagi.

"Jangan pergi..." Rengek Triva, air matanya refleks jatuh dengan sendirinya.

"Aku nggak pergi, aku pulang..." Ucap Kaisar menanggapi.

KAISAR (Komplit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang