TLLTY [8]

2K 268 237
                                    

Rasa sakit memporak-porandakan hati. Entah bisa diobati atau tidak sama sekali, nyatanya kamu memilih pergi, bukan menyesali. Sehingga perih di hati semakin tak terkendali.

........

Derap langkah kaki saling beradu di lantai. Kinan tidak tahu lagi harus berkata apa saat Agra menarik paksa tangannya, menggiringnya menuju ruang lab komputer. Di sana sepi. Tidak banyak dilewati orang-orang. Mungkin karena letaknya di ujung lorong lantai tiga. Kecuali jika ruangannya dipakai untuk praktik. Pasti ramai orang berlalu lalang.

Sekali sentakan, Agra menghempaskan tangan Kinan, kasar. Tatapannya dingin dan datar. Menghujam Kinan tanpa ampun. Kinan takut setengah mati. Menurutnya, aura Agra lebih seram daripada laki-laki tak sopan tadi.

"Seneng banget lo nyari masalah?!" tukas Agra, murka, "Ada gerangan apa lo mampir ke lantai dua?!"

Kinan tersentak, kaget. Agra baru saja membentaknya. Intonasi tinggi yang Agra keluarkan, memacu detak jantungnya menjadi dua kali lipat, cepatnya. Kinan terdiam. Bibirnya terasa kelu untuk sekedar membukanya sedikit saja.

"Setau gue, kelas maba ada di lantai bawah! Terus, ngapain lo bisa ada di sana?!" Agra langsung membombardir Kinan dengan lantang.

Kinan memilin jari tangan. Dia tergagu. Kenapa Agra marah besar padanya? Memangnya apa yang sudah Kinan perbuat sehingga Agra membentaknya?

Agra menyorot Kinan, tajam, "Jawab! Jangan diem! Kenapa lo ada di kawasan kelas gue? Mau nyari mangsa yang bisa lo kejar-kejar setelah gue nolak kehadiran lo mentah-mentah untuk kesekian kali?"

Mata Kinan melebar sempurna. Dia bukan perempuan seperti itu. Kata-kata Agra sukses menyakiti hatinya. Seakan ribuan jarum menusuk-nusuk hatinya tanpa ampun. Hingga berdarah dan bergoreskan sebuah luka. Omongannya pedas bukan main. Lebih menyakitkan daripada apa yang Cakra perbuat padanya.

"Buka mulut dan jawab! Gue nggak butuh diam lo sekarang!" lanjut Agra.

Bibir Kinan pucat pasi. Kedua tangannya gemetar. Mengangkat wajahnya saja pun Kinan tak sanggup. Kepala belakang serasa ditimpah beban yang sangat berat.

"A-aku nya-nyariin kamu, Agra," Kinan menunduk dalam-dalam. Suaranya seperti tikus ke jepit. Pelan sekali. Cuma sepatu lusuhnya yang bisa dia tatap, lama, "Tapi kamunya nggak ada nampak. Dan aku juga sama sekali nggak tahu kelas kamu yang mana."

"Bodoh!!" telak Agra, "Untuk apa lo nyariin gue sedangkan kelas gue aja lo nggak tahu?!"

"Gue heran, otak lo itu ada di mana sih?! Dengkul?! Atau ketinggalan di rumah?!" frontal Agra.

Dada Kinan semakin terasa sesak. Ternyata efek sakitnya terasa berlapis-lapis jika seseorang yang kita cintai, membentak kita secara jelas tepat di depan mata. Kinan terkejut mendapati kemurkaan Agra yang tak pernah dirinya lihat secara langsung dari laki-laki itu.

Ini kali pertama bagi Kinan. Jujur, Kinan ingin menyudahinya. Tak ingin berlama-lama berhadapan dengan Agra. Membuatnya ingin menghilang dari muka bumi saat ini juga.

Memberanikan diri untuk Kinan mendongak, memandang Agra sendu dan takut, "Meskipun aku nggak tau, aku tetap berusaha nyari sampai dapat. Aku nggak nyangka aja bakal digangguin sama laki-laki tadi, Agra."

Agra berdecih. Perempuan di depannya ini, sangat menguras pertahanan emosinya. Agra menatap tajam Kinan, "Apa lo sengaja biar gue dateng nolongin, terus baik-baikkin lo?! Iya, itu akal busuk lo?!"

Kinan sontak terkejut. Dia tak menyangka Agra memiliki pendapat jelek tentangnya. Sangat jauh dari yang Kinan harap-harapkan, "Enggak. Aku nggak punya pemikiran gitu, Agra. Aku memang lagi nyari kamu. Sumpah. Nggak bohong."

The Last Letter To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang