Lampu-lampu di dalam restoran dimulai dipadamkan oleh security dikarenakan sudah tutup dan akan dilanjutkan besok hari. Disusul mengunci gerbang lalu bergegas menuju pos, tempatnya beristirahat menghabiskan waktu sebelum lanjut berjaga-jaga.
Sepi. Itulah kata yang tepat menggambarkan keadaan sekitaran restoran di pukul setengah sebelas ini. Langit kian memerah serta kencangnya sapuan angin yang menerpa dedaunan menjadi pelengkap bagaimana horornya suasana di sana.
Hal yang tak membuat Kinan merasa takut dan bergerak dari tempatnya, perempuan itu tetap pada keputusannya, menunggu Agra meski kecil kemungkinan lelaki itu datang kepadanya. Karena menunggu adalah kegemarannya. Gigih dalam mengejar adalah keahliannya. Kinan tidak tahu kapan tepatnya dia mulai menggeluti keduanya, yang jelas Kinan menikmatinya walau sakitnya begitu luar biasa.
Duduk di pinggiran jalan satu-satunya lokasi yang mampu Kinan gapai di saat kaki jenjangnya tak bisa melangkah lebih jauh lagi. Ditambah perutnya yang tiba-tiba sakit. Kinan hanya bisa menghela napas dengan kepala tenggelam di antara kedua lututnya yang tertekuk.
Dalam sunyi dan penerangan minim, Kinan terus meringis sambil menekan-nekan perutnya agar rasa sakit yang dirasakannya berkurang sembari mengingat kapan terakhir dia mengisinya dengan makanan.
Sekarang Kinan ingat.
Kira-kira seharian ini dirinya tidak menelan nasi sebutir pun. Bahkan makanan yang dia pesan tadi, sama sekali tak terjamah lantaran lelaki yang dia tunggu tak kunjung datang.
"Agra, kamu dimana?" gumam Kinan dengan mata terpejam.
Sekelebat memori terngiang-ngiang di kepalanya. Perkataan Agra di parkiran Mall yang sampai saat masih Kinan ingat.
Lain kali kalo belum makan, telepon gue. Biar gue temenin.
Tanpa pikir panjang, Kinan mencoba menghubunginya. Berharap perkataan itu berlaku untuk seumur hidupnya. Sekali, dua kali, tiga kali, tidak diangkat.
Ah ya, mana mungkin Agra mengangkat teleponnya sedangkan lelaki itu saja mengabaikan pesan-pesannya. Kinan sadar diri bahwa di mata Agra, dirinya tidak berarti apa-apa. Namun Kinan tetap tak ingin menyerah memperjuangkannya. Kinan keras kepala perihal Agra. Tidak tahu kalau bentuk perjuangannya itu membuat orang lain jengah. Salah satunya Cakra.
"Plis, angkat," jantung Kinan berdebar begitu mendengar nada tersambung di ujung sana.
Cukup lama menanti, dirinya terdiam sejenak ketika tak sengaja pendengarannya menangkap suara deringan yang berasal dari arah depannya. Kinan gemetaran dalam tundukannya, tidak berani untuk mendongak.
"Jangan takut, ini gue, Agra."
~~~
Rasanya seperti mimpi bagi Kinan. Lelaki yang dia harapkan kehadirannya, lelaki yang dia cintai dengan sepenuh hati, kini berdiri tidak jauh darinya.
Sempat berpikir Agra tak akan peduli lagi apapun tentangnya, sekarang terpatahkan dengan kemunculan lelaki itu. Andaikan setiap detik, setiap menit, di setiap harinya Kinan lalui bersama Agra seperti saat ini, Kinan sangat-sangat bahagia dan tak akan pernah membiarkan perempuan lain merebut sumber kebahagiaannya.
Agra hanya miliknya.
Acara mengkhayalnya Kinan pending dahulu saat maniknya menangkap figur Agra yang kian mendekat sembari memegang nampan yang di atasnya ada sepiring mie rebus dan sepiring sate.
Di bangkunya, Kinan terserang kegugupan, menyadari makanan yang dipesan Agra.
Apa sate itu untuknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Letter To You
RomansaKisah ini tentang sebuah kepahitan hidup, tentang pengorbanan yang sengaja diabaikan dan tentang surat-surat cinta yang dibiarkan teronggok mengenaskan tanpa ada satupun yang terbalaskan.