Tuhan maha baik, mengabulkan doaku, mengijinkanku merasakan kebahagiaan darinya di saat aku sudah terluka karenanya.
......
Senyumnya, mata teduhnya, kelembutannya, memupuk padat di pikirannya. Nathan tak bisa menampik kenyataan bahwa hanya bayang-bayang Kinan yang dengan setia memenuhi seluruh isi kepalanya. Sampai pagi ini, di kampus, di ruang kelas, sedang mengajar, wajah bersemu perempuan itu menari-nari di ingatannya. Enggan pergi.
Setengah jam berdiri di depan para mahasiswanya, Nathan berusaha fokus mengajar materi Matematika Bisnis karena memang pada dasarnya Nathan adalah Dosen Matematika. Dosen muda yang paling banyak disukai oleh mahasiswa-mahasiswa yang diajarkannya sebab cara Nathan menjelaskan di depan kelas, mudah di tangkap mereka. Bahasanya pun tidak terlalu baku dan kaku. Tidak seperti Dosen lain, lebih sering menggunakan bahasa formal.
Nathan selalu mengontrol diri beserta emosinya yang kadang menggoyahkan pertahanannya. Apalagi di depan calon-calon penerus Bangsa, harus mencontohkan sikap, perilaku yang baik. Terkadang, tingkah dan sikap anak didiknya itu membuat Nathan jengah. Seperti mengobrol di saat dia tengah memaparkan materi, bermain ponsel, bercakap-cakap berakhir mengganggu konsentrasinya. Parahnya, ada beberapa mahasiswinya, menyatakan perasaan padanya secara blak-blakan tanpa rasa segan sama sekali.
Nathan hanyalah manusia biasa. Kantung kesabarannya terbatas. Amarahnya bisa meledak kapan saja. Sebagai seorang Dosen tentu Nathan merasa kehadirannya tidak di hargai. Emosi pastinya. Sering terjadi malah. Kerap kali Nathan menjaga emosinya agar tidak kebablasan. Baginya orang terpelajar tidak harus emosian menghadapi sesuatu hal. Ujungnya akan memperparah keadaan. Tidak baik juga untuk ke depannya, kan.
Maka dari itu Nathan lebih suka menegur dengan cara baik-baik tanpa marah-marah. Juga lebih enak di terima mereka. Selanjutnya terserah mereka ingin apa. Intinya, Nathan sudah menasehati mereka. Memberi pengertian. Kalau terjadi lagi, Nathan tinggal turun tangan pada nilai mereka di akhir semester. Tidak perlu capek lagi berbicara panjang lebar, cukup kibarkan ancaman.
Satu hal yang sampai sekarang susah Nathan pikirkan bagaimana mengatasi ketika ada mahasiswinya menyatakan perasaannya. Bagaimana caranya dia menolak tanpa menyakiti hati mereka. Jujur, Nathan bingung. Sebagai pria dewasa yang belum menikah, Nathan tidak mempersalahkannya. Masalahnya, mereka itu anak didiknya. Tidak etis juga menjalin kasih. Ya meskipun katanya cinta itu tidak pandang status sosial, pendidikan, umur dan lainnya, sama saja. Nathan tidak mau mempunyai hubungan lebih pada mahasiswinya. Pengecualian untuk Kinan.
Kinan berbeda. Itu alasannya.
"Baik semua. Materi saya tutup sampai di sini. Minggu depan, ketua kelompok sudah wajib mengumpulkan bahan diskusinya kepada saya. Letakkan di ruangan saya. Jika ada di antara kalian belum paham benar tentang tugasnya, bisa tanyakan pada teman yang lain atau langsung tanya saya. Sekian, selamat pagi," Nathan berujar tanpa basa-basi, merapikan barang-barangnya di atas meja kemudian meninggalkan kelas.
Setiap langkahnya, semua orang tersenyum ke arahnya seraya menundukkan kepala. Menyapa ramah dirinya. Nathan balas tersenyum. Di kampus, Nathan bukan tipe Dosen yang banyak bicara sama Dosen lain. Sekadarnya. Itu pun kalau penting dan mendesak. Bukan sombong, tetapi Nathan orang sibuk. Tidak punya waktu bertukar obrolan. Selepas mengajar, Nathan harus pergi ke perusahaannya, memegang kendali di sana sebagai Direktur. Rutinitasnya setiap hari.
Di tengah perjalanan, Nathan berhenti melangkah. Nathan merogoh tas jinjingnya dengan grasak, mengingat dari tadi pagi dia belum menanyakan apakah Kinan sudah sarapan atau belum. Itu penting. Tidak akan terlupakan. Sesudah ponselnya berada dalam genggaman, Nathan melanjutkan tujuannya ke kantin, menebas rasa lapar sambil menelepon Kinan. Tak sadar jika sesuatu dari dalam tasnya, terjatuh di atas lantai tepat di koridor kampus. Nathan terus berjalan menjauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Letter To You
Storie d'amoreKisah ini tentang sebuah kepahitan hidup, tentang pengorbanan yang sengaja diabaikan dan tentang surat-surat cinta yang dibiarkan teronggok mengenaskan tanpa ada satupun yang terbalaskan.