Aku benar-benar merasa hidup kembali setelah sekian lama mati.
Iya, hati dan raga ini.......
Nathan menghantam meja kerjanya sekuat mungkin dengan kepalan tangannya. Deru napasnya memburu tak beraturan. Emosi yang dia simpan sejak menjatuhkan diri di sebelah Kinan, menguap begitu saja sesampainya di ruangan miliknya. Untungnya ruangan itu kedap suara hingga ulahnya barusan tidak sampai terdengar keluar.
"Aku nggak akan ngebiarin Kinan semudah itu jatuh kepelukannya! Selama ini aku seperti pengecut, bersembunyi dari perasaanku yang sebenarnya. Dan sekarang, aku akan terang-terangan menunjukkan bahwa aku adalah sosok yang akan menentang hubungan mereka di barisan paling depan!" Nathan bergumam tegas. Bahunya naik turun tanda dia masih dipengaruhi oleh emosi. Bahkan rahangnya terus mengetat dengan mata berkobar.
Perlu beberapa menit untuk mengembalikan kondisinya seperti biasa, barulah pernapasannya kembali normal. Lantas Nathan memutari sisi meja, meraih sebuah buku bersampul hitam, memasukannya ke dalam tas kerjanya lalu beranjak dari sana.
Sepanjang kakinya menapaki setiap anak ubin di koridor menuju parkiran, sesekali Nathan melempar senyuman tipis pada beberapa mahasiswanya yang kebetulan berpapasan dengannya. Sangat tipis sebab jauh di lubuk hatinya, Nathan masih menyimpan amarah menggebu. Amarah atas hasil obrolannya dengan Agra, kekasih Kinan yang Nathan lihat sungguh berani melawannya. Tanpa sadar keduanya telah bermusuhan. Saling bersaing mendapatkan hati Kinan. Hanya saja Nathan tidak tahu kalau hati Kinan sepenuhnya buat Agra. Khusus untuk seseorang berhati dingin bernama Agra.
"Loh, kunci mobilnya mana?" Nathan kelabakan saat dirinya tak mendapati benda kecil terbuat dari besi itu ketika tangan kanannya merogoh tas jinjingnya.
"Perasaan tadi pagi aku taruh di dalam. Kok bisa nggak ada ya," Nathan memposisikan tasnya di atas jok motornya agar dirinya bisa leluasa mencarinya. Tetapi nihil. Kuncinya sama sekali tidak dia temukan. Nathan mencoba mengingat-ingat ulang di mana dia meletakkannya. Tetap saja, ingatan terbesarnya ada pada tasnya. Nathan tidak mungkin lupa. Lantas, kenapa benda itu tidak ada? Tidak mungkin kan di ambil orang?
"Bapak nyari ini?" suara lembut dari balik punggungnya, menggerakkan tubuhnya untuk memutar, melihat siapa di sana.
Nathan mengernyit, pandangannya tertuju pada Adira yang tengah menyodorkan sesuatu ke arahnya. Akibat keterdiamannya, Adira kembali menyeletuk.
"Pak Nathan, ini punya Bapak? Bapak nyari kunci ini kan?"
Mengerjap lamban, Nathan mengangguk pelan tak lupa tersenyum kecil, "Iya, punya saya. Kok bisa ada di kamu?" tanyanya penasaran.
"Saya lihat terjatuh dari tas Bapak. Kebetulan aja pas saya yang lewat, saya ambil. Sempat saya panggil, tapi Bapak udah menghilang dari pandangan saya. Tadi sewaktu nampak Bapak di sini dari lantai dua, saya buru-buru turun buat ngembalikan barang itu," ujar Adira sopan.
Nathan manggut-manggut, senyumnya tetap mengembang di wajah tampannya, "Kalau gitu terima kasih ya, Adira. Berkat kamu saya bisa pulang dengan segera," dia terkekeh.
Tidak tahu kalau responnya itu berhasil meluntah-lantahkan perasaan Adira. Jantung Adira memompa cepat. Hatinya menghangat karena tawanya. Adira termangu menyaksikannya. Bunga-bunga cinta tumbuh semakin rimbun di hatinya. Tak memungkiri daya pesona yang Nathan miliki, mampu menarik perhatiannya. Sejak Nathan mengajar, Adira sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Sama-sama Pak," Adira mengangguk dan setengah membungkukkan badan, bersikap sopan, "Kalau gitu saya pamit dulu ya Pak."
"Kamu mau pulang?" Nathan bertanya yang di balas Adira dengan sekali anggukkan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Letter To You
RomanceKisah ini tentang sebuah kepahitan hidup, tentang pengorbanan yang sengaja diabaikan dan tentang surat-surat cinta yang dibiarkan teronggok mengenaskan tanpa ada satupun yang terbalaskan.