Erangan kecil menyapa seiring dengan kelompak mata indah itu terbuka perlahan-lahan, mengerjap beberapa kali, menyesuaikan pencahayaan yang memburu masuk. Pandangannya kosong. Kinan menatap lampu kamar dalam diam. Kedua tangan terlipat di atas perut dengan selimut tebal menutupi kaki sampai sebatas pinggangnya.
Sekeras apapun Kinan mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi kepadanya, hingga membuat tubuhnya lemas sampai menoleh pun rasanya tak mampu, tetap saja gagal. Berulang-ulang dia mencobanya, hasilnya nihil. Rasanya isi kepalanya akan meledak kalau dia paksakan sekali lagi. Maka dari itu Kinan memilih berhenti memikirkannya. Ingatannya hanya jatuh pada samar-samar suara berat yang tiba-tiba memanggil namanya, lalu disinilah Kinan berada, tergolek lemas di sebuah kamar yang dia tidak tahu siapa penghuninya.
Batinnya risau, mungkin saja si pemilik kamar adalah orang yang sama dengan si pemilik suara berat itu.
Kehampaannya terpatahkan saat decitan pintu terdengar. Kinan menggerakkan kepalanya ke samping, lantas terkejut setengah mati melihat sosok yang tengah berdiri kaku di ambang pintu.
"Akhirnya lo sadar juga," meski mendadak diam layaknya patung, Abyan buru-buru menyantaikan tubuhnya dan berjalan mendekati ranjang di mana Kinan terbaring, "Gue kira lo bakalan pingsan seharian penuh, berhubung sejak tadi malam lo nggak sadarkan diri dan baru pagi ini mata lo terbuka."
"Kenapa lo ada di sini?" tanya Kinan penasaran tanpa ada niatan melanjutkan perkataan Abyan.
Abyan mengambil tempat di sudut ruangan, menduduki sofa panjang di sana dengan manik lurus menatap Kinan disertai senyuman kecil, "Karena gue yang bawa lo kemari."
"Emang ini di mana?"
"Apartemen."
Ekspresi Kinan menunjukkan ketidakpercayaan saat jawaban santai itu terlontar dari mulut Abyan. Yang Kina tahu soal Abyan, dia adalah teman dekatnya Agra dan kelihatannya lelaki baik-baik, tidak banyak bicara. Tidak seperti temannya yang satu lagi, Afka, banyak omong dan suka menganggu para mahasiswi di kampus, tak terkecuali dirinya yang menjadi salah satu korbannya saat hari pertama masuk sebagai maba.
"Lo bisa turunin gue di pinggir jalan atau paling tidak di depan perkomplekan rumah gue, nggak di apartemen lo juga!" Kinan berujar sarkas. Kesan positif mengenai Abyan hilang sudah, digantikan kesan negatif.
Tawa Abyan berderai. Perempuan yang dikenalnya sebagai kekasih dari teman dekatnya, ternyata percaya dirinya terlalu tinggi.
"Siapa bilang ini apartemen gue?" Abyan masih enggan meredakan tawanya sambil geleng-geleng kepala, meratapi Kinan yang memasang raut bingungnya.
"Jadi?"
"Jangan berburuk sangka sama gue. Sekarang lo lagi ada di apartemen Zerina. Sahabat lo sendiri. Gue sengaja bawa lo ke sini karena nggak mungkin juga gue bawa lo ke rumah gue. Bisa-bisa gue di bunuh sama bokap lah. Gue memang ada niatan sih ngelempar lo sampai ke depan pintu rumah lo, tapi salahnya gue nggak tau alamat lo di mana. Nasib baik. Berterima kasih sama gue." jelas Abyan panjang lebar.
Kinan memalingkan wajahnya, malu kepada Abyan karena sudah berpikiran buruk. Menyadari kecanggungan diantara mereka, Abyan berdeham.
"Sori-sori, perkataan gue yang terakhir itu, bercanda doang kok. Jangan dimasukin ke hati. Gue nggak ada maksud apa-apa selain mencairkan suasana. Biar lo ketawa sih lebih tepatnya." kata Abyan merasa bersalah.
Persepsinya tentang Abyan, benar adanya. Abyan itu baik. Ya, meskipun agak menyebalkan.
Kinan tersenyum pada Abyan, "Makasih ya, Abyan. Lo baik banget mau nolongin gue. Secara kan, kita jarang gitu ngobrol bareng. Ibaratnya, masih asing satu sama lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Letter To You
RomanceKisah ini tentang sebuah kepahitan hidup, tentang pengorbanan yang sengaja diabaikan dan tentang surat-surat cinta yang dibiarkan teronggok mengenaskan tanpa ada satupun yang terbalaskan.