Kesakitan adalah makanan sehari-hariku. Aku sudah terbiasa dengan rasanya.
~~~
"Kenapa kamu harus berbohong, Agra? Kenapa kamu menerimaku atas dasar kebohongan? Kenapa kamu pura-pura mencintaiku? Kenapa kamu tega melakukan itu? Kenapa?" dalam satu tarikan napas, rentetan pertanyaan itu meluncur dengan jelas tanpa terbata-bata seiring kuatnya suara isakan dari bibirnya.
Serapuh-rapuhnya Kinan karena Agra, ini adalah kali pertama dirinya tampak menyedihkan dihadapan lelaki itu. Topeng kebahagiaan yang biasanya ampuh ketika berhadapan dengan Agra, tak mempan menahan sakitnya walau barang sedetik saja.
Pernah merasa begitu dicintai tapi kenyataannya hanya berpura-pura, itu sungguh menyakitkan. Lebih sakit daripada pukulan yang kerap kali Kinan dapatkan dari Mr. Brown ketika dirinya tak datang bekerja. Sampai memar-memar merah di sekujur tubuhnya juga tak sebanding dengan luka di hatinya.
Kinan yakin, hatinya sudah tak berbentuk lagi mengingat semasa hidupnya sering menelan pil pahit seorang diri. Bahkan, Nathan, yang katanya akan selalu ada untuknya, kini tak lagi ada. Kinan kecewa pada lelaki itu. Tapi, lebih kecewa pada sosok dihadapannya ini.
Hujaman dingin yang telak dijatuhin Agra kepadanya, tak gentar membuatnya takut menatap manik itu.
Sebab, sebanyak dan sekejam apapun Agra padanya, tetap saja Kinan tidak bisa marah. Nada bicaranya tetap terdengar melembut. Dibuat sedikit lantang pun terlalu susah terealisasikan.
Mengumpulkan segenap kekuatan menarik seutas senyum, Kinan kembali memasang topengnya. Kinan tersenyum lebar saat wajah dihadapannya justru sedingin es.
"Aku tau, kamu cuma becanda kan? Kamu pasti lagi ngerjain aku kan? Ayo ngaku," Kinan maju selangkah, meraih satu tangan Agra lalu digenggamnya, "Asal kamu tau aja, kamu berhasil buat aku sedih dan panik kayak gini. Tapi udahan dong ngerjainnya. Aku nyerah deh. Aku gak kuat."
Tatapan Agra semakin membiusnya seakan memberi alarm bahaya agar dia segera bergerak menjauh. Lagi-lagi dia abaikan, Kinan makin merapatkan diri.
"Kalau kamu gak jawab pertanyaan aku, aku anggap apa yang aku bilang tadi bener. Aku lega banget ternyata kamu becanda doang."
Agra menyentak tangan Kinan, "Lo kira perkataan gue main-main?"
Kaget, tentunya. Kinan menatap sendu ke arah tangannya. Lain dengan Agra yang menatapnya datar namun tersirat ketidaksukaan amat kental.
"Gue gak pernah cinta sama lo. Pernyataan cinta gue waktu itu hanyalah omong kosong. Sama sekali gak ada ruang buat lo tempatin di hati gue. Jadi, jangan menghayal bisa memiliki gue. Jangan banyakan drama karena sekarang gue gak lagi akting di depan lo."
Bahunya merosot turun, dadanya seperti terhimpit, menciptakan sesak berkepanjangan. Pelupuk matanya dikabuti kristal bening.
"Sedikit aja apa gak ada?"
"Gak ada dan gak akan pernah ada." ucap Agra kejam.
Kinan mencoba tenang meski rasa sakit menggerogoti bagian dalam tubuhnya.
"Gak apa-apa. Kamu gak harus balik cinta aku. Cukup aku aja yang cinta sama kamu."
"Gue gak butuh cinta lo."
"Tapi akunya butuh kamu, Agra. Aku butuh semua yang ada di diri kamu. Termasuk kasih sayang kamu ke aku," Kinan ingin menyentuh lengan Agra, Agra gesit mengelak. Kinan tersenyum miris melihatnya.
"Terserah lo!" Agra memutar arah kemudian berjalan pergi. Dengan berlari kecil, Kinan menerjang tubuh lelaki itu, memeluknya erat dari belakang. Sangat erat. Seakan jika dilonggarkan sedikit saja, Agra hilang untuk selama-lamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Letter To You
RomanceKisah ini tentang sebuah kepahitan hidup, tentang pengorbanan yang sengaja diabaikan dan tentang surat-surat cinta yang dibiarkan teronggok mengenaskan tanpa ada satupun yang terbalaskan.