TLLTY [48]

1K 89 25
                                    

Menjelang terbitnya matahari, Adira sudah tiba di Apartemennya dengan penampilan kacau. Gaun selutut yang membungkus tubuh indahnya tak lagi terlihat menarik seperti pertama kali dia beli, sehari sebelum pergi ke sebuah klub ternama di pusat Kota, sebab ada robekan panjang di bagian belakang sampai batas punggungnya.

Jaket yang semula menjadi penutup robekan itu, melayang masuk ke keranjang pakaian di sudut pintu kamar mandi setelah berhasil mengunci pintu sebanyak dua kali.

Disusul lemparan sepatu hak tingginya beserta menanggalkan gaunnya yang telah rusak dan hanya menyisakan pakaian dalamnya. Adira mematut diri di depan cermin berukuran besar. Kedua tangan bertopang pada wastafel, menekan telapak tangannya erat di sana. Matanya lurus menatap pantulan dirinya. Ada amarah, ketakutan dan kekhawatiran yang kentara dibaliknya.

Terbangun di pagi buta tanpa sehelai benang pun di tubuhnya, tidak pernah terlintas dipikiran Adira, sepanjang dirinya menjalani hidup. Kala dia membuka mata, memandang atap asing itu serta melirik bagian tubuhnya, lebih tepatnya inti tubuhnya, Adira merasa oksigen disekelilingnya menipis lalu habis. Napasnya tercekat, bahkan jantungnya seakan berhenti untuk sepersekian detik sebelum Adira sadar ditampar kenyataan pahit, bahwa dia sudah tidak perawan lagi.

Harta paling berharganya telah dirampas. Harta yang selama ini dia jaga dengan baik, telah hilang.

Dadanya seperti dihantam ribuan palu serta matanya kian memanas, seiring tangannya yang semakin terkepal kuat dan detik selanjutnya tangisnya meluruh.

Minuman laknat itu benar-benar sukses meruntuhkannya dalam sekejap.

Adira menangis sejadi-jadinya. Tangisan yang terdengar pilu itu memenuhi seluruh penjuru Apartemen.

"Nggak mungkin...." katanya terisak.

Bahkan, Adira tidak bisa berkata-kata lagi, selain menangisi kebodohannya. Menyesal pun tak ada gunanya. Adira hanya perlu membesarkan hatinya untuk menerima keadaan dirinya yang sekarang. Meski sulit, harus Adira lakukan.

Tak lama suara isakannya menguap Butuh lima menit mengumpulkan kekuatannya, Adira kembali menanggalkan pakaiannya yang tersisa hingga tak ada satu helai kain pun menutupinya. Kemudian, dengan tertatih-tatih Adira berjalan ke arah bak mandi yang sudah terisi penuh oleh air lalu meredamkan dirinya di sana. Bermandikan aroma kelopak mawar demi membersihkan najis-najis di seluruh tubuhnya akibat sentuhan tangan kokoh itu. Setetes cairan bening lolos begitu saja saat tangannya mulai menggosok area lehernya sampai area sensitifnya. Adira teramat marah pada dirinya sendiri, mengingat dia lalai menjaga kehormatannya.

Setengah jam beredam sembari menangis sampai lelah yang dirasakannya, Adira menyudahi kegiatannya dengan mengeringkan permukaan yang basah dengan handuk. Lalu, setelahnya mengenakan baju rajut berlengan panjang sampai batas leher demi menutupi bekas kemerahan di sana serta bawahan celana pendek sepaha yang ada di rak khusus menaruh baju bersih. Setelan yang Adira ambil sebelum meratapi semua yang sudah terjadi.

Berniat menerjang ranjang yang empuk, namun digagalkan suara bel yang sengaja ditekan berulang kali dari luar. Disusul bunyi bip lalu sosok Agra muncul dengan wajah dongkolnya.

"Ponsel gue mana, Ra?" tanya Agra tak ingin basa-basi yang hanya akan membuang waktunya, "Cepetan siniin. Jangan macem anak kecil deh. Apa-apa main sembunyiin. Ngambek dikit, ponsel gue malah yang kena imbasnya."

Tak menyadari perubahan fisik sahabatnya, Agra melanjutkan omelannya. Gara-gara dia membatalkan acara nonton mereka semalam, dengan penuh kekesalan, Adira merampas ponselnya dan membawanya kabur entah kemana. Jelas saja Agra frustasi. Dan satu-satunya tempat yang dapat mempertemukan mereka adalah Apartemen perempuan itu. Makanya, sepagian ini Agra sudah ada di sini untuk mengambil barangnya.

The Last Letter To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang