3. Bunny

35.4K 3.1K 137
                                    

"Hey manis, sendiri saja?"

Aku menoleh ke belakang, mendapati presensi seorang pria muda berambut coklat dengan satu tangan yang menenteng ransel di atas bahu kanannya, memegang lolipop dan memutar-mutar itu di antara kedua bibir atas dan bawahnya. Saat aku baru saja mendecih ia segera duduk di sampingku.

"Cabut lagi?"

"Aku tidak mau membuang waktu," katanya sembari menyenderkan kepala ke batang pohon mahogani yang berada di belakang kami. Meletakkan ranselnya di tengah lalu memutar-mutar lolipop yang ada di mulutnya, lagi.

"Aku malu berada di dekatmu, pikir mereka kau pasti tidak normal. Siapa yang memakai hoodie hitam di siang bolong panas begini."

Masih tak berniat mengangkat kepala atau membuka mata, dia bersuara lagi. "Apa bedanya denganmu, untuk apa menggunakan syal sementara kau sedang mengenakan seragam sekolah. Kau lebih ketara, bodoh."

Dia benar. Karena itu pula aku mengurungkan niat untuk datang ke sekolah dan lebih memilih pergi ke tempat sepi, duduk di bawah pohon di depan danau seperti sekarang ini. Sialnya, kenapa bocah yang mengenakan seragam yang sama denganku, di balik hoodie nya itu, harus datang ke sini juga. Aku memilih untuk acuh dan kembali fokus pada pustaka di tanganku.

Jungkook sepertinya benar-benar tertidur. Aku tersadar saat mendengarkan dengkuran halus yang dihasilkan bocah itu. Aku menoleh untuk memastikan. Mulutnya sedikit membuka, memamerkan dua gigi depannya yang membuatnya terlihat seperti kelinci. Bibir atasnya tipis sekali, bulu matanya terlihat panjang. Jungkook sangat cantik. Cantik sekali jika dipandang hanya wajahnya. Namun jika kau coba membuka hoodie hitam kebesarannya itu, kecantikan itu akan hilang tergantikan kebobrokan, luka menganga, jelek, pokoknya tidak indah sama sekali.

Saat ia menunjukkan itu padaku, aku tidak terlalu terkejut. Kemiskinan membuatku terbiasa disajikan pemandangan keji, kejam atau menjijikkan. Penyiksaan, pencabulan, penjualan manusia, sodomi, apapun itu, cukup tampak biasa di mataku. Tiga tahun berada di lingkungan yang ku sebut sebagai neraka nyata di muka bumi telah membuka mataku tentang realita kehidupan yang sebenarnya. Pemerintahan, janji kampanye, pembangunan atau apapun itu semua hanya omong kosong pemanis telinga. Nyatanya garis kemiskinan telah meluluhlantakkan segala hasrat dan gairah untuk tetap bisa menghirup udara bebas di muka bumi. Ya, ada masa masa dimana aku memilih ingin mati saja waktu itu.

Uang adalah sumber kebahagiaan.

Meski aku tidak seekstrim kakakku, yang memuja dan menjadi budak uang hingga menghalalkan segala cara untuk itu, tetap kuakui bahwa aku menyukai uang. Sedang pemuda yang berada di sebelahku ini, katanya sangat membenci uang. Entahlah, menurutku itu terlalu naif dan susah untuk dipercaya. Dia sih enak, lahir dan hidup dalam keluarga kaya, segalanya berkecukupan, menjalani hidup seperti bumi memang di ciptakan untuk mereka, menurutku. Lalu Jungkook menyanggah itu dan bilang uang justru menghancurkan hidupnya. Kemudian dia bercerita sambil menangis di pundakku, sedikit lucu sih mengingat dia paling ditakuti di sekolah. Ia menangis seperti bayi dan aku mengusap-usap kepalanya. Selesai menangis aku mengomel karena ingusnya memenuhi bagian bahu seragamku, membuatku menyampirkan rambut ke arah berlawanan supaya tidak terkena ingusnya.

Nyatanya setiap orang butuh tempat untuk bersandar bukan. Sekalipun Jungkook yang terkenal dengan kehidupan sempurnanya. Satu-satunya yang menjadikan aku sebagai teman setelah kami tidak sengaja bertemu di tempat ini.

"Hey, kenapa kau memakai kacamata padahal matamu tidak rusak?"

Aku mengangkat kepala, untung saja aku sudah kembali berkutat pada buku di tanganku saat Jungkook mengeluarkan kalimat barusan setelah terbangun dari tidurnya.

"Kau tahu?" tanyaku sambil memutar pandanganku ke arahnya.

Jungkook tersenyum, membenarkan posisi duduknya dan menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. "Kau tidak lupa kan, kalau aku ini peraih ranking satu." Pongah, bangga dia mengatakan itu.

"Tidak ada hubungannya dan bukan urusanmu," kataku dan refleks tanganku bergerak untuk merapikan kacamataku.

Jungkook mendecih, tertawa kecil lalu meraih tas ranselnya. Membuka itu, lalu dengan riang mengeluarkan plastik supermarket yang familiar. "Jjjaanggg!" katanya dengan sumringah, mengeluarkan beberapa cemilan dari dalam plastik putih. "Nih, kau kuberi satu." Ia memberiku sebungkus lolipop yang sama dengan yang ia putar-putar di mulutnya tadi.

"Kenapa harus permen, aku mau itu," tunjukku pada sebungkus cemilan ringan berwarna hijau dengan gambar keripik kentang di pembungkusnya.

"Kalau begitu aku ambil permennya, karena kau hanya bisa dapat satu," logatnya seperti bocah  berumur lima tahun. Mengambil permen yang baru saja diletakkannya dan menggantinya dengan cemilan keripik yang kutunjuk tadi.

"Terserahmu saja," kataku sembari mengambil cemilan itu dan membukanya dengan segera. Bunyi gigitan gurih menjadi backsong bagi kami berdua selama beberapa saat karena entah di detik keberapa, Jungkook ikut ikutan mencomot keripik dari bungkusan di tanganku. Sampai isi bungkusan itu habis dan Jungkook menaruhnya ke dalam tasnya lagi kami berdua masih diam. Ia memberiku sebotol mineral yang baru saja ia keluarkan. Membuatku geleng-geleng kepala dan penasaran pada isi tasnya. Apa ia baru saja merampok minimarket?

Aku meneguknya dan Jungkook juga setelah aku memberikan ke tangannya. "Biar aku tebak jawaban dari pertanyaanku tadi, kau tidak suka berteman."

"Lalu kau apa, pembantuku?"

"Memangnya kita teman? Sejak kapan? Aku tidak pernah bilang kita berteman."

Aku tertawa sinis. Membuang buku yang berada di atas pahaku ke atas rumput dan menekuk kaki diikuti kedua tangan yang memeluknya. Kami tidak pernah berikrar untuk menjadi teman. Aku tidak tahu sih itu memang penting atau tidak, karena nyatanya aku memang tidak pernah punya teman seumur hidup. Jungkook teman pertama yang kumiliki. Oh maaf, sekarang jadi tidak nyaman menyebutnya teman. Aku akan menyebutnya sebagai lawan bicara saja.

"Kita berdua hanya lawan bicara yang sedang mencoba protes pada dunia, karna kita tidak tahu harus protes pada siapa, jadi kita berdua saling bicara. Begitu mungkin," kataku.

Ku dengar Jungkook tertawa kecil mendengar ucapanku. "Jadi apa yang terjadi, kenapa kau memakai syal?"

Aku tahu ia pasti akan menanyakan itu. Matanya saat berbicara sambil menatapku sesekali memang turun ke arah leher, dimana aku melilitkan syal berwarna biru yang kuambil secara sembarang dari lemari. Tanpa pikir panjang aku segera menarik itu dan mengangkat kepala untuk menengadah, membiarkan ia puas menatap sekujur leher yang dipenuhi ruam biru.

"Well, kau lihat, aku diperkosa. Bukankah harusnya ini hilang setelah seminggu?" Aku baru menurunkan kepalaku, melilitkan syalku lagi sambil menunggu responnya yang kutahu akan berada di luar dugaan seperti biasa.

"Kakak iparmu sepertinya luar biasa," katanya dengan nada kelewat tenang. "Jadi, apa kau menikmatinya?"

Seketika aku melayangkan buku yang menyampir di sebelahku, memastikan itu mendarat dengan amat keras di atas kepalanya dan aku cukup puas melihatnya meringis kesakitan. "Dasar sinting!" kataku.

"Sshhh, sakit!" Ia memegangi kepalanya sementara aku acuh berada di atas kemenangan. "Kau harus bersyukur dia tidak membunuhmu. Kalau aku jadi dia mungkin aku sudah mencincang adik dari perempuan sialan yang membawa seluruh hartaku dengan laki-laki lain. Dia bahkan tidak mengusirmu. Kau harusnya berterimakasih, bodoh."

Aku mencebik. Perempuan sialan, benar, kakakku adalah perempuan sialan. Dan aku tidak diusir, sebenarnya itu hanya salah satu keuntungan yang kudapat ketika kakak ipar mendeklarasikan perjanjian pagi itu. Karena setelah sekian minggu kami tidak sarapan bersama; semenjak insiden kakak menghilang dan ia mengabaikanku, pagi itu untuk pertama kalinya ia membuka suara.

Aku masih bisa mendapatkan segala hal yang terlanjur kumiliki karena kakak, pendidikan termasuk juga kiriman uang untuk ibu. Setidaknya dua poin yang ia sebutkan itu memang menjadi prioritas utamaku. Aku bahkan bersyukur di dalam hati karena ia tidak akan melaporkan kakakku ke polisi dan semacamnya. Kupikir kakak ipar benar-benar baik hati sebelum ia melanjutkan dengan nada yang lebih dingin dari es di kutub utara bahwa aku akan mendapatkan semua itu, termasuk tidak memberitahukan ini pada ibuku atau orang tuanya, atau bahkan melaporkan ke polisi, dengan satu syarat mutlak,

— aku harus menggantikan peran kakakku.



***

PUNISHMENT✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang