13. Jeon Jungkook

21.7K 2.4K 331
                                    

Aku tak mengerti mengapa kakiku kini sudah berdiri di hadapan sebuah rumah gedung dengan gerbang yang cukup tinggi. Aku bahkan tak bisa mengintip sedikitpun ke halaman rumahnya. Aku terpaksa datang ke sini, dibekali alamat oleh Jung Ssaem. Jung Ssaem berulang kali menanyakan Jungkook yang sudah tidak pernah hadir di sekolah selama hampir dua minggu. Orang tuanya tidak bisa dihubungi, katanya. Dan entah siapa yang bilang bahwa aku pernah berinteraksi dengan Jungkook hingga aku yang menjadi sasaran Jung Ssaem untuk ditanyai tentang Jungkook.

Aku memberanikan diri untuk menaiki dua tangga. Menekan tombol, mendekatkan wajahku ke layar dan menunggu respon sekitar beberapa detik. Seorang perempuan akhirnya menjawab panggilanku, dari rautnya Ia sudah sedikit berumur.

"Saya ... teman sekolah Jungkook."

Sang perempuan belum sempat meresponi sampai sosok yang baru saja kusebutkan tiba-tiba muncul dari belakang perempuan itu dan mendekatkan hidungnya yang besar ke layar.

"Teman sekolah?" katanya sembari tersenyum jahil. Bersamaan dengan itu gerbang besarnya tiba-tiba terbuka. Kakiku refleks mundur ke belakang dan jujur saja aku sedikit terkejut.

"Hai teman sekolah." Jungkook mendadah dari balkon atas, lengkap dengan senyum khasnya yang seperti kelinci. Satu tangannya masuk di saku training hitam yang sedang dipakainya. "Masuklah," katanya lagi, dengan tangan yang melambai-lambai.

Aku mulai berjalan memasuki depan rumahnya yang cukup besar. Ada taman yang luas dengan air mancur di tengah-tengahnya. Tanamannya tertata sangat rapi dan nampak terawat. Sudah pernah kubilang bukan, jika Jungkook itu anak konglomerat dengan sendok emas di mulutnya. Hanya mulutnya saja yang tak pernah bersyukur dan selalu bersikap seperti orang yang paling menderita di dunia. Lihat saja tangan yang selalu ia lukai. Padahal banyak orang yang memimpikan posisi yang ia tempati saat ini.

"Hey! Jangan norak begitu. Ayo masuk."

Jungkook kini sudah berada di depan pintu yang membuka. Senyum angkuh melekat di wajahnya, dua tangan berada di sakunya. Aku berjalan mendekat, sengaja memperhatikan dirinya dari atas hingga ke bawah.

"Ckck! Dasar pemalas! Kau tidak sekolah dan bisa tersenyum seperti bayi tanpa dosa begitu."

"Oh ayolah teman sekolah. Itu gunanya kau ada disini bukan? Jika bukan kau, aku tidak mau menemui siapapun itu. Berbangga hatilah."

Aku tak menggubris ucapan Jungkook, melainkan hanya berjalan mengikutinya masuk ke dalam rumah. Maklumi saja jika aku yang berasal dari kelas bawah ini masih suka takjub dengan rumah orang kaya. Setidaknya aku masih ingin diberi waktu untuk mengobservasi rumah Jeon Jungkook. Ia mempersilahkan aku duduk di sofa berwarna putih gading.

Perempuan yang tadi kulihat di layar kini datang membawa minuman di atas nampan. Tersenyum lembut ke arahku sembari memberi isyarat supaya aku meminumnya.

"Terimakasih, Bibi," ucap Jungkook sebelum perempuan itu berangsur menjauh dari kami. Biar kutebak, mungkin itu pelayannya. Seperti yang terlihat di drama. Orang kaya selalu memiliki pelayan yang setia.

"Jadi apa tujuanmu kesini, ah tapi sebelum kau mengatakannya biar kutebak dulu. Untuk menyuruhku kembali ke sekolah, bukan?"

Jungkook sengaja memasang wajah jahil, membuatku berdecak malas. Tidak bisakah Ia memasang tampang bersalah atau merasa malu karena aku tengah memergokinya berada di rumah dengan kondisi yang terlampau baik. Kukatakan begitu karena senyumnya tak bisa berhenti hilang dari pipinya yang chubby.

"Siapa bilang! Sok tau!" Aku merasa ini menjadi giliranku untuk bersikap angkuh, mengangkat satu kakiku di atas kaki yang lain. "Aku kesini untuk menagih janji."

PUNISHMENT✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang