Aku mencoba membayangkan kapan Jungkook mungkin terlihat tidak aneh, seperti sekarang. Ia sedang menaruh kedua tangannya ke belakang, berjalan dengan mata yang mengelilingi ruangan lima kali enamku, meliar ke sana kemari. Seperti seorang observer—bukan seperti, kurasa ia memang seorang observer. Memperhatikan dengan seksama, menghiraukanku yang sebenarnya tidak lagi pernah merasa tenang sejak ia naik melalui jendela kamarku. Dengan bantuan sprei yang kuikat memanjang dan mengulurkannya ke bawah sana.
Sempat membayangkan jika ia tertangkap basah dan tidak akan bisa kutemukan lagi di sekolah esok hari.
"Jung, bagaimana kau bisa masuk ke halaman rumah kakak iparku. Lalu, kamarku, darimana kau tahu jika ini kamarku dan berdiri di bawah sana?"
Jungkook tak menjawab, ia masih bersikukuh pada sebuah frame kuning yang memajang wajah aku dan Na. "Ini kakakmu?"
Aku mengangguk sebagai jawaban, dan ia meletakkan frame itu lagi. "Kupikir kau benar-benar membencinya dan membuang segala hal yang berhubungan dengannya. Ternyata kau malah menyimpannya bahkan menaruhnya seperti kau ingin memandanginya setiap hari. Jadi pertanyaanku, kau sebenarnya sedih atau bahagia ketika ia meninggalkanmu bersama suaminya?"
Jungkook beralih ke pinggir kasur, dengan tidak tahu diri duduk di sana. Aku segera menghampirinya dan menendang kakinya.
"Aduhh—
"Ssshhh," aku membekap mulutnya, dengan khawatir memberikannya aba-aba untuk memelankan suara. "Kau ingin membunuh kita?"
Ia menengadahkan kepala dan menatapku. "Aww." Si brengsek itu menggigit tanganku. "Jeon Sialan! Bagaimana jika kakak iparku mendengar."
"Kau yang memulai," katanya enteng.
"Kau perlu menjaga ucapanmu. Aku tidak suka ketika kau menanyaiku seperti aku ini senang tinggal bersama si brengsek itu."
"Bukannya memang begitu?"
Arghh. Jika tidak mengingat kami sedang terjebak di kamarku dan ia bisa mengacaukan dengan suaranya jika aku berani menghajar kepalanya, aku bisa pastikan jika kepala besarnya tidak bisa selamat lagi dari bogemanku. Tetapi mengingat nyawa kami lebih berharga, maka aku memutuskan untuk mengurungkan niat. Saat aku masih menunggu ia berbicara, kurasakan atensinya belum berubah sejak beberapa detik yang lalu.
"Apa yang kau lihat?" Aku menaruh kedua tangan menutupi dada, meski tidak yakin pupilnya sebenarnya sedang mengarah kemana.
"Lagi, sepertinya itu masih baru. Apa kalian baru melakukannya persis sebelum aku datang ke sini?" tunjuknya pada leherku. Tanganku refleks menyentuh sisi yang maksud dan—sebentar, aku bahkan belum melihat itu. Aku bangkit dan berjalan menuju kamar mandiku, berdiri di depan kaca dan menyaksikan betapa leherku dipenuhi tanda-tanda ungu yang sangat aku benci. Baiklah, aku akan repot lagi setelah ini.
Aku berjalan keluar, menemui Jungkook yang masih duduk dengan posisi yang sama.
"Kupikir kau sudah tahu, siapa tahu kau mendengarkan dari bawah sana."
Ia tidak mengatakan apapun, hanya memandangi aku dengan tatapan yang terlalu bias. Sudah kubilang, dia itu aneh dan menyeramkan. Dan semakin menyeramkan ketika tiba-tiba bibirnya menyunggingkan senyum, seperti iblis.
"Oh, sekarang aku mengerti. Kupikir kau memang gadis yang kelewat berantakan karena kasurmu terlihat acak-acakan, ternyata—
Ia memotong ucapannya, tatapannya saat mengatakan itu kepadaku membuatku mendecak kesal, tidak suka. Aku sudah jelaskan berapa kali bahwa aku ini diperkosa, diperkosa. Diperkosa memiliki definisi dimana kau dipaksa untuk berhubungan meski kau tidak menginginkannya. Aku tahu pikiran Jungkook itu berada di luar batas orang normal, jadi aku berusaha sabar saja ketika ia mengulangi kesalahannya yang membuatku kesal berulang kali. Itu sudah termasuk penghinaan padahal. Sekali lagi, aku berusaha memaklumi Jungkook yang memang tidak waras.
"Tolong jaga ucapanmu Jungkook," jelasku sebelum ia kembali membuat telingaku sakit. "Apa tujuanmu kemari, dan kau belum menjawab bagaimana bisa kau berada di bawah sana dan tahu letak kamarku."
Jungkook tersenyum remeh, menepuk-nepuk sisi kosong di sebelahnya—tapi maaf, aku tidak tertarik untuk duduk di sampingnya. Jungkook akhirnya menyerah dan menerima kenyataan bahwa aku hanya akan berdiri di hadapannya sembari menunggu penjelasannya.
"Aku, hanya tahu saja. Apa itu salah?"
"Salah, jelas. Kau membuatku takut. Apa kau melakukan sesuatu, seperti stalker—atau memasang CCTV seperti para psikopat—atau mungkin semacam chip di bajuku, atau
Jungkook terkekeh sebelum ucapanku selesai. "Pemikiranmu terlalu jauh, kau pikir aku secanggih itu? Apa aku terlihat seperti itu? Ya. Aku tahu sih, aku ini jenius."
Cih
Aku ingin muntah.
"Aku datang ke sini untuk bertemu kau."
Aku memutar bola mata sebal. Jelas saja dia ingin menemui aku, tidak perlu penjelasan untuk itu. "Siapa bilang kau ingin bertemu kakak iparku jika masuk dari sana," daguku mengarah pada jendela dan Jungkook kembali tersenyum seperti bayi.
"Ara," katanya secara tiba-tiba dan menarik kedua tanganku yang baru saja berada di pinggang. Menarikku terlalu dekat hingga wajahnya tepat berada di hadapan perutku, membuatku sedikit merasa tidak nyaman karena kepalanya kini menengadah ke arahku.
"A-apa," tanyaku dibarengi rasa gugup.
"Jangan gugup, rileks saja." Satu tangannya melepas tanganku dan memberi arahan seperti instruktur yoga. Sialnya, aku menurutinya tanpa sadar. "Aku butuh bantuanmu, Lee Ara."
Sebentar, nadanya kelewat rendah, membuatku meneguk ludah karena menyadari wajah Jungkook kian memerah dengan pandangan sayu. Sedikit membuatku takut, jujur saja.
"Bantuan apa?"
Ia hanya diam, menuntunku untuk duduk di sampingnya dengan kedua tanganku yang masih berada dalam kuasanya. Mau tak mau aku menurut. Menjatuhkan bokongku dengan sisa jarak yang tidak terlalu luas di sebelah pahanya.
"Um .. sejujurnya aku sedikit malu. Tetapi entah mengapa, aku merasa kau teman yang tepat untuk berbagi ini. Seperti kau bilang, kita teman kan?"
Aku mengangguk sebagai respon refleks.
"Aku senang punya teman sepertimu. Kau tidak pernah menuntut, protes, atau mengatakan hal-hal tidak penting seperti gadis kebanyakan yang membuat telingaku sakit. Kau, spesial Ara."
A-aku spesial? Bagi seorang Jeon Jungkook? Apa aku sedang bermimpi?
Seperti bisa membaca fikiranku, ia berujar lagi. "Sungguh, aku merasa kau teman yang cukup spesial bagiku. Teman ada untuk berbagi bukan?"
"Kurasa begitu. Tapi kau teman pertamaku jujur saja. Jadi, sebenarnya aku tidak terlalu mengerti cara treat seorang teman," jujurku, sedikit ragu.
Namun respon Jungkook terlampau bahagia, mata bulatnya semakin membola. "Ah, benarkah? Wah, aku merasa sangat beruntung. Dengan senang hati aku akan membantumu. Sebagai seorang teman, kau harus membantu temanmu."
"Aku tidak bodoh Jungkook, aku tahu itu."
Jungkook terkekeh. "Mau kubantu lakukan sesuatu pada kakak iparmu?"
"Jeon, itu di luar perkiraanku. Aku tidak pernah berfikir begitu," jawabku dengan ekspresi takut.
Jungkook kembali terkekeh. "Kau tidak harus membunuhnya, Ara. Kau pikir aku segila itu?"
Aku sedikit banyak cukup heran karena Jungkook benar-benar seperti bisa membaca fikiranku.
"Aku bisa mengajarimu cara bermain yang cantik."
Well, Jeon kali ini terlihat semakin memukau saat mengatakan cantik. Sama cantiknya seperti senyumnya. Aku tidak mengerti alur berfikir pemuda aneh itu. Omong kosong apalagi yang akan ia lontarkan kali ini.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Jeon."
"Aku akan menunjukannya padamu, tapi kau, harus membantu aku dulu."
***
![](https://img.wattpad.com/cover/164610316-288-k927546.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNISHMENT✔
Fanfiction[COMPLETED] "Aku tidak akan menggugat, kau tak perlu kembali pada kehidupan lamamu yang melarat. Satu syaratnya, gantikan peran kakakmu." - Kim Taehyung ©️msvante • 2019