7. After Party

30.6K 3K 235
                                        


"Akkhhhh."

"Satu, karena kau tidak berlaku sebagai istri yang baik."

"S-ssakhiiit."

"Dua, kau tidak patuh padaku."

"H-hhiks."

"Tiga, kau menggoda temanku."

"A-aku tidakh melakukan apapun."

"Empat, kau--"

"Hentikan! Kumohon hentikan, kak."

Aku pernah berfikir bahwa takdir yang telah ditetapkan pada tiap kita memang berbeda. Buah daripada takdir adalah ketidakadilan yang terlalu nyata. Ketika ada kaya, maka akan ada miskin. Ketika ada jelek, maka ada cantik. Ada buruk, ada pula baik. Bersyukur jika kau berada pada posisi menguntungkan, lalu bagaimana jika sebaliknya?

Maniknya menyalang, bersamaan dengan deru nafas yang masih menerjang. Peluhnya bahkan jatuh ke atas wajahku, menatapku bias seakan aku ini adalah mangsa yang tersaji di depan mulutnya.

"Jangan bilang Jimin pria yang kau cintai itu."

"AKU BUKAN NA! AKU ARA, LEE ARA. AKU BUKAN NA!"

Kali ini matanya membulat, tampaknya cukup kaget dengan kalimat yang baru saja kulontarkan. Secara tiba-tiba sedikit melembut dan hanya diam sambil menahan tubuhnya dengan dua tangan di sisi kiri dan kanan.

"Aku bukan Na," cicitku seperti tikus yang sedang bertemu mata dengan kucing. Aku tak tahu lagi bagaimana caranya supaya ia menyudahinya. Itu menyakitiku, dan aku tahu menyakiti dia juga. Tidak ada yang nikmat sama sekali, tidak ada yang puas. Kami sama-sama hancur.

Selepas dansa dan pria bernama Jimin itu mengembalikanku pada Taehyung, sejak itu ia tidak lagi membiarkan lenganku lepas dari cengkeramannya. Bahkan sesekali tangannya terlalu lancang untuk menarik pinggangku posesif dan merapatkan itu ketubuhnya. Aku tidak tahu apa dia kelewat tolol dan tidak sadar jika teman-temannya mungkin menyadari bahwa sikapnya terlalu berlebihan padaku.

Bahkan ia tidak membiarkan supir pribadinya menyetir hingga mengambil alih setir dan mengemudikan mobil seperti orang kesurupan. Sesampainya di garasi segera menarikku keluar, tidak mentolerir tumit heels yang aku sama sekali tidak terbiasa memakainya. Menaiki anak tangga dan saat aku sadar bahwa tujuan kami adalah kamarku, aku paham sesuatu yang tidak baik akan terjadi.

Ia sempat terdiam dan memandangiku sepeti manekin dari atas sampai ke bawah.  Membuatku risih karena memang gaun mermaid yang kugunakan terlalu ketat hingga membentuk badan, sekitar bahu dan dada yang terekspos, hingga kurasakan dia meremas pantatku dan berbisik pelan, "Kupikir aku salah memilihkan gaun ini padamu. Kau mencari kesempatan untuk membuang kehormatanku dan menggoda temanku.  Aku tidak suka, jangan membuatku marah. Kesalahanmu sudah terlalu banyak, bersikap baik lah padaku."

Lalu ia mendorongku jatuh ke atas kasur, menyerangku secara membabi buta.

"Seberapa banyak kau menyakitiku, Na tidak akan peduli."

"Ya. Aku tahu."

Pergilah, kumohon bangkitlah dari atasku. Aku bisa mati hanya dengan laser mata elangmu yang mungkin bisa menembus hingga bagian terkecil DNA tubuhku. Nafas kami bersahutan, aku menelan ludah beberapa kali, sedang dia baru saja memejamkan mata seperti ayam mengantuk, mengatur nafasnya yang berangsur teratur.

"Bunuh saja aku," suaraku pelan, mengumpulkan segala keberanian yang masih tersisa menjadi sebuah ungkapan lemah yang bahkan untuk mengeluarkannya aku perlu menarik nafas satu kali.

Ia membuka matanya, membuat darah di tubuhku mendadak berdesir seperti aliran sungai yang tiba-tiba deras.

"Kenapa?"

PUNISHMENT✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang