18. Answer

18.3K 2.2K 412
                                    

Jika rasa sakit tak lagi menjadi sakit, apakah akan tetap disebut sebagai rasa sakit?

Aku dan Jungkook berada dikamarku mungkin menjadi keputusan terburuk secara mendadak yang kubuat sore ini.

Saat pernyataan Jungkook menjadi uapan semata dikarenakan suaraku yang tak kunjung bereksistensi, secara gamblang manik Jungkook meredup bersamaan helaan nafas berat pertanda Ia sedang kecewa.

Kasihan sekali dia.

Nuraniku yang tak berfungsi dengan baik malah membuat keputusan penting didukung bibirku melancarkan untaian kalimat yang membuat Jungkook tak pelit untuk memberikan senyum termanisnya.

Dan melakukan itu dirumahku sendiri adalah ide paling brilian yang Jungkook miliki.

"Kita akan selesaikan dengan cepat. Tidak akan melebihi jam pulang Taehyung."

Kepalaku tak perlu memproses dengan lama, pun setengah darinya mendukung pernyataan Jungkook. Entah karena rasa penasaran, atau acuh yang terlalu dalam pada keselamatan diri sendiri, aku tidak mengerti.

"Aku rasa lebih manusiawi saat ini," Jungkook berujar saat satu kakinya mulai melangkah menaiki anak tangga.

"Ya. Sebelumnya kau seperti pencuri karena masuk melalui jendela. Atau mungkin kau memang pencuri karena mampu menghilang secara tiba-tiba."

Jungkook terkekeh sembari mengedarkan pandangan ke sekitar sesekali. Menunjukkan secara terang terangan ekspresi yang Ia miliki entah dengan tujuan apa. "Yang penting aku menghilang dan kau bisa menikmati waktu dengan Taehyung."

"Cih! Bahkan kini kau tidak menyebut Kakak Ipar lagi. Mau menegaskan kalau kalian memang sudah kenal ya? Aku tidak melupakan kalau kau sudah menipuku, Jung."

Jungkook kembali terkekeh. Satu tangannya masuk ke dalam saku dan kerutan disekitar wajahnya membuatku sedikit muak.

"Apa aku terlihat seperti permainan, Jungkook?"

Sebelum Ia kembali bersuara, satu tanganku telah berhasil meraih kenop pintu. Tanpa basa basi lebih lanjut, buntalan hitam yang Ia panggul dipunggung dilempar secara asal dan tubuh miliknya secara lancang teronggok di tempat tidurku. Membuatku mendecih namun terlalu malas untuk memprotes.

"Bukankah sudah pernah kukatakan bahwa kita berteman, Ara?"

"Kau lagi lagi tidak menjawab pertanyaanku, Jung." Bantahku bersamaan dengan rasa ketidakpuasan sembari meletakkan bokong di atas kursi belajar.

Belum menjawab pertanyaanku, Jungkook malah tiba-tiba melepas hoodie-nya dan membuatku sedikit kaget. Lalu tanpa memiliki rasa malu sedikitpun, Ia mengatur posisi tubuhnya untuk membaring kearahku dan berpose bak model majalah dengan satu tangan sebagai tumpuan pada kepala dan satu tangan lainnya berada dipinggang. Bekas luka yang masih terlihat jelas pada lengan putih itu mau tak mau menarik atensiku.

"Ara, kemarilah."

Satu tangannya bergoyang di udara. Wajah polosnya menghapus segala prasangka buruk selama sesaat sebelum binar yang terlampau cemerlang itu bagai de javu yang memutar kenangan pada malam pertama yang pernah kami lewati.

Jungkook dan segala kenikmatannya.

Sandal bulu buluku lebih memilih untuk menepis jarak saat kaki milikku mulai bergerak mendekati bibir kasur. Jungkook turut mengubah posisi dengan kerutan di wajah yang melekat senantiasa. Sesungguhnya Ia tampak sangat manis dan menggemaskan.

Tangannya bergerak turun mencari buntalan yang tadi Ia lemparkan, dan segera berhasil menemukannya tak berapa lama kemudian. Rasa antusiasnya tak bisa disembunyikan, berbanding lurus dengan memoriku yang masih menyimpan erat kenangan malam itu.

PUNISHMENT✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang