17. Lake

19.6K 2.2K 195
                                        

Terkutuk.

Mungkin kepalaku perlu melalui proses pencucian otak setelah hari-hari yang tidak semakin baik dan sekelibat pikiran aneh memenuhi akhir-akhir ini. Anehnya, semakin aku berusaha untuk menepis itu, rasanya semakin aku didorong untuk tenggelam lebih dalam lagi. Aku seperti tidak menjadi diriku yang utuh. Aku bahkan tidak bisa mengendalikan pikiranku karena sebaliknya pikiranku yang kini menguasai diriku.

"Sama-sama."

Si anak aneh yang hobi berpakaian hoodie atau sweater kini sudah duduk disebelahku. Senyumnya terlampau congkak, lagi sebelumnya berjalan dengan tangan yang terselip di kedua saku celananya. Mungkin Ia merasa keren atau tampan saat melakukan itu. Padahal sungguh, aku ingin mengatakan kalau Jungkook tampak seperti om om parlente yang sedang mencari gadis dibawah umur.

"Kau, bicara apa?"

Aku mengatakan itu sembari terus melempari batu, entah yang sudah keberapa kali ke dalam danau di hadapan kami.

"Aku bilang sama-sama setelah kau mengucapkan terima kasih karena aku telah menolongmu."

Cih!

"Pamrih rupanya. Iya! Terimakasih sudah menolongku, Jeon Jungkook."

Lalu aku memutus kegiatan melempari batu. Meliriknya sebentar yang tetap menanar ke depan, pada objek yang baru saja kutinggalkan. Meladeni Jungkook sesekali tidaklah buruk, lagipula aku benar-benar mengatakan itu karena Ia sungguh menolongku. Jika tidak ada Jungkook, mungkin saja aku berakhir di meja kremasi dan kini sudah menjadi abu.

"Jadi, bagaimana hukuman dari Kakak Iparmu? Lebih buruk dari sebelumnya, atau dia memakai cara yang lebih ekstrim seperti mengikatmu seperti seorang masokis, atau apa?"

Terkadang aku harus melakukan reminder terhadap diri sendiri bahwa pemuda ini memang tidak normal. Lihat, Ia mengatakan itu tanpa rasa bersalah sama sekali. Wajahnya terlalu innocent dan tampilannya tak mengingatkan bahwa Ia sama sakit jiwanya seperti diriku.

"Sebelum aku menjawab, boleh aku bertanya sesuatu?"

Jungkook memicingkan mata sebelum menjawab pertanyaanku. Namun kemudian Ia memiringkan kepala dan menatap lurus ke depan setelah menghela nafas yang mengeluarkan suara sekali. "Apa yang ingin kau tanya?"

"Sejak kapan kau merasa bahwa goresan ditanganmu itu bukan lagi kesakitan melainkan sebuah kenikmatan?"

Aku bertanya tanpa ragu, sedangkan Jungkook tampak tertegun setelah aku selesai dengan pertanyaanku. Ekspresi yang terlampau jarang kudapati hingga menikmati pemandangan langka ini tidak akan kusia-siakan begitu saja. Butuh beberapa detik hingga Ia menarik tangan untuk bersidekap dan menekuk lututnya, barulah Ia bersuara.

"Sejak kapan ya, aku sendiri sepertinya tidak ingat."

Jungkook masih tampak berfikir dengan kalimat yang menggantung. Aku sendiri merasa tak puas hingga sengaja menunjukkan ekspresi senada dan masih menunggu Ia menyelesaikan kalimatnya.

"Mungkin sejak aku tersadar bahwa aku tidak dapat hidup tanpa rasa itu lagi. Rasa saat pisau itu menyayat setiap lapisan kulitku, saat aku bisa menyaksikan dan membaui anyir sebagai hasil dari apa yang kulakukan, saat aku bisa merasa puas karena yang menerima rasa itu adalah diriku sendiri. Rasa itu seperti berpihak padaku. Saat dunia tak mampu memberiku apa-apa, rasa itu malah mampu. Jadi, kupikir sejak itu."

Sejenak kemudian Jungkook bungkam, membuatku yakin bahwa dia sudah selesai karena kini Ia tengah melirik dengan tatapan yang tidak kumengerti. Entah sedang menunggu responku atau menunggu yang lain. Aku malah khawatir pada sesuatu yang kembali bersarang di dalam kepalaku.

PUNISHMENT✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang