Dulu aku suka diajari membuat panekuk oleh seorang bibi. Awalnya aku tertarik karena baunya selalu menguar ke rumah petak yang disewa ibu dengan luas tidak melebihi kamar mandi rumah kakak iparku yang sekarang, sebelum kami pergi ke desa dimana ibu menjadi penjual ikan.
Bibi selalu terlihat cantik, ia memiliki freckles alami di wajah. Ternyata beliau memiliki keturunan Belgia bercampur Korea. Hobinya memasak, jadi ia menjual kue buatannya di sebuah kedai kecil di ujung gang. Aku yang memang suka mencium aromanya sesekali diberikan panekuk secara cuma cuma.
Kemarin ibuku menelepon, katanya ia mendapat kabar bahwa bibi meninggal. Aku sedih. Tetapi yang lebih menyedihkan saat ibu bercerita betapa beliau merindukan aku dan kakak. Katanya ia sudah mencoba menghubunginya berulang kali namun tidak mendapat jawaban. Aku sempat menjawab terbata namun berbohong dengan lancar sedetik kemudian. Kataku kakak sedang sibuk dengan pekerjaannya. Ibu tertawa, ia bilang sudah menduga itu bahkan sebelum aku mengatakan. Kemudian ia bilang ia rindu pada menantunya yang tampan dan baik hati.
Ibu beli kepiting, memasaknya bersama saus dan nanas, katanya enak tetapi kemudian ibu menangis karena mengingat kami anak-anaknya dan hidup kami yang sangat susah dulu. Jangankan makan kepiting, makan seadanya untuk sehari saja kami harus berusaha keras. Jadi ibu ingin mengucapkan terimakasih secara langsung pada menantu yang selalu mengirimi uang melebihi kebutuhan yang seharusnya.
Terlepas dari rasa sedih atau bersalah, aku merasa bahagia mendengar ibu tertawa lepas. Meski setelah itu aku terdiam ketika beliau bergurau tentang keinginan memiliki cucu. Cucu darimana? Kakakku yang idiot bahkan telah melarikan diri bersama pemuda urakan yang entah apa sebabnya bisa membuat kakakku sangat menggilainya.
Bunyi pemanggang roti menyadarkanku dari lamunan, mengambilnya lalu mengolesinya dengan selai. Aku pikir roti-roti ini akan sia-sia lagi seperti hari sebelumnya, tergeletak di meja tanpa diambil si pemiliknya hingga aku memutuskan untuk membuangnya ke tempat sampah di sore hari, atau kalau sedang lapar aku akan memakannya juga.
Aku benar-benar menjalankan peran sebagai istrinya. Membuat sarapan, makan malam—yang jarang sekali tersentuh oleh tangannya, mengerjakan laundry, membersihkan rumah, segalanya. Oh mungkin aku lebih tepat disebut sebagai pembantunya.
Jantungku rasanya akan melompat saat mendengar bunyi kenop pintu dari lantai dua, itu pasti dia. Disusul dengan suara derap pantofel yang bersinggungan dengan ubin. Selanjutnya aku berusaha bersikap biasa saat aroma chamomile yang semakin familiar pada indera penciumanku rasanya semakin dekat. Meski tubuhku sebenarnya tidak baik sama sekali. Biasanya dia akan melewatiku atau pernah mengambil roti yang sudah kuolesi selai dan membawanya begitu saja dengan satu lengan yang menggantungkan jas kerjanya, tanpa mengatakan apa-apa.
Ia menarik kursi, duduk setelah menaruh jas nya di punggung kursi. Duduk persis di hadapanku sembari mengambil roti yang telah kuolesi, melirikku sebentar sebelum melakukan gigitan pertama pada satu sisi roti. Matanya, menakutkan.
Aku mendehem, mengambil gelas berisi susu—sebelum aku melakukan itu, tangannya telah meraih itu terlebih dulu, meneguknya sampai habis. Aku memutuskan untuk mengambil gelas satunya, meminum itu pula dan pura-pura tidak menyadari jika ia tidak memindahkan tatapan dariku sama sekali. Kupikir itu akan berubah saat aku menatapnya juga namun nihil, ia tetap berkutat padaku tanpa berniat menghentikan itu sama sekali. Membuatku memilih untuk menyerah dan malah membuangan pandangan terlebih dulu.
"Aku akan menjemputmu setelah pulang sekolah hari ini."
Astaga, akhirnya dia bersuara. Meski itu tidak merubah keadaanku menjadi semakin baik, malah membuatku semakin khawatir akan pernyataannya barusan. "Aku bisa pulang sendiri, naik bus seperti biasa."
"Aku juga tidak ingin membuang waktu berhargaku untuk spesies sepertimu."
Getir, sakit, jelas. Tetapi ini bukan lagi penghinaan pertama yang ia lakukan padaku, bukan. Sudah kubilang, ia membalaskan segalanya padaku. Aku hanya perlu menguatkan diri untuk tidak tersakiti untuk apapun yang dia katakan. Jadi aku memilih untuk tersenyum kecut.
"Aku hanya tidak ingin terlihat hina karena datang sendiri ke pesta sementara statusku sudah memiliki istri."
Sebentar, maksudnya aku menemaninya ke pesta begitu?
"Tapi aku bukan istrimu," protesku secara spontan.
"Kau," jarinya naik ke udara, menunjuk ke arahku membuatku entah kenapa merasa sangat terhina— tumbal dari istri kurang ajarku yang diberikan padaku. Kau, tidak sadar juga?" katanya, nadanya pelan, menusuk, mengintimidasi sejalan dengan tatapan matanya. Aku menelan ludah.
"Jika kau tidak terima pada perlakuanku, katakan pada kakakmu. Atau jika kau bersedia, aku dengan senang hati bisa menceritakan segala perilaku busuk kakakmu pada ibu mertua."
Sialan. Dia paling tahu letak titik kelemahanku. Itu hal yang paling tidak boleh terjadi. Kebahagiaan ibu adalah satu-satunya alasanku untuk tetap hidup. Dan jika dia melakukan itu, aku lebih memilih untuk mati. Cukup melihat ibuku menderita selama sembilan belas tahun yang kujalani, ini adalah saat yang tepat untuk melihat beliau bahagia. Aku tidak ingin merusak itu.
"Tidak," kataku secara singkat.
"Baiklah," balasnya dan aku dengan sesegera mungkin bangkit dari kursi. Mungkin aku bisa mati hanya dengan berada di sekitarnya, auranya terlalu kelam dan pekat.
"Lebih baik kau belajar yang rajin dan berhenti menggoda laki-laki. Atau kalau uang dariku kurang, kau boleh memintanya padaku. Dengan catatan, jangan merengek atau menangis seperti aku sedang memperkosamu dan mendesahlah dengan menyebut namaku sesekali saat kau bercinta denganku. Lebih menguntungkan."
FUCK! FUCK! FUCK!
Aku mengepalkan tangan dengan segala emosi yang tertahan di dalam hati. Mengutuk kakak ipar laknat bernama Kim Taehyung itu sembari menahan air mata yang rasa-rasanya akan segera meluncur saat ini juga. "Aku tidak butuh uangmu, kak. Terimakasih." Lalu aku meraih tasku, berjalan tanpa melihat ke arahnya sama sekali dan keluar dari pintu neraka dengan setan paling tampan yang ada di dalamnya.
Menelusuri setapak sebelum aku tiba di pemberhentian bus berikutnya. Sesekali memandang ke langit yang cukup cerah pagi ini dan membantuk kepalaku untuk berfikir lebih positif. Mensugesti diri untuk melupakan makhluk brengsek yang sudah menghinaku sepagi ini.
"Hey," kurasakan seseorang mencuil lenganku. Aku segera melirik dan memilih untuk batal protes karena berhadapan dengan pria berhoodie hitam yang tampak seperti malaikat pencabut nyawa dengan tudung menutupi kepala.
"Tumben kau sekolah."
Aku bisa mendengar ia tertawa kecil meski wajahnya samar karena tudung hoodie menyebalkannya itu.
"Hanya sedang bosan saja," suaranya pelan, namun aku masih bisa mendengarnya secara jelas. Sebelum aku menanggapi lagi, bus telah datang dan aku bersiap untuk naik. Jungkook juga ikut naik. Pria aneh itu mengikuti seperti anak itik, padahal jelas dia punya mobil. Kadang ia datang ke sekolah dengan itu, kadang pula dengan motor besar merahnya, atau kadang ya seperti sekarang, naik bus.
Ia duduk di sampingku, masih setia dengan kedua tangan di dalam saku.
"Aku mengantuk. Pinjam bahumu, mau tidur," katanya. Lalu tanpa aba-aba menaruh kepalanya di atas bahuku. Aku memilih acuh sementara mataku menanar ke jalanan yang kami lewati. Membiarkan Jungkook benar-benar tertidur karena dengkuran halusnya kian terdengar di telingaku.
Aku tahu kenapa aku memilihnya sebagai teman pertamaku dan satu-satunya.
Karena kami sama-sama lelah dengan dunia.
Ditulis bersama dengan lagu 'Forever Rain - RM'
***

KAMU SEDANG MEMBACA
PUNISHMENT✔
Fanfiction[COMPLETED] "Aku tidak akan menggugat, kau tak perlu kembali pada kehidupan lamamu yang melarat. Satu syaratnya, gantikan peran kakakmu." - Kim Taehyung ©️msvante • 2019