Sebelum membaca part ini, harap membaca kembali cerita 'BaRana' dari awal, sebab cerita ini di remake dari 'Livina' menjadi 'BaRana'. Dan buat teman-teman yang udah support cerita 'Livina', maaf udah mengecewakan. Tapi alur cerita 'Livina' terlalu acak, jadi saya menggantinya dengan cerita lain dulu. Sekali lagi maaf ya, karena 'Livina' dihapus dan diganti menjadi 'BaRana'. Lagipula'Livina' pasti bakalan kembali kok dengan alur cerita yang lebih menarik tentunya. So, enjoy this story:)
---
Canggung. Rasanya lidah ini terasa kelu untuk mengucap barang satu atau dua patah kata saja. Semenjak ucapan blak-blakan Yoga untuk melamar Rana, tanpa sadar Rana menghindari Yoga terus menerus. Saat perjalanan pulang juga mereka tak saling berucap satu sama lain. Merasa takut jika nantinya akan mengucapkan hal yang tak mengenakkan.
Rana berbaring diatas tempat tidurnya. Menatap plafon apartemen yang berwarna putih terang. Lampu yang dimatikan dan hanya menyisakan cahaya dari layar tv. Rana mengingat rentetan kisah hidupnya. Tak mungkin juga jika Rana hanya menjadi orang yang lemah hanya karena cinta. Rana juga rindu orang tuanya. Bulan depan, adalah hari kematian orang tuanya. Haruskah Rana kembali pulang ke Indonesia dan membersihkan rumah lamanya sekalian berkujung ke makam papa dan mamanya? Tapi bagaimana jika Gera melakukan sesuatu lagi padanya, Bara, ataupun sahabat-sahabatnya? Ya, kakak Bara biasanya sering dipanggil Gera. Dia kakak tingkat mereka sewaktu mereka satu kampus dulu. Dan yang membuat Rana ke Paris juga adalah Gera.
Setelah cukup lama mengingat masa lalunya, mata Rana kini terpejam. Membawanya ke mimpi yang tak pernah diduganya.
---
"Rana!"
Rana menoleh, menatap Bara dari pagar seberang sana. Membawakan seikat bunga mawar di tangan kirinya. Rana tak menyangka di hari ulang tahunnya ini Bara akan mengajaknya ke tempat itu lagi. Tempat biasa yang sering mereka datangi. Dan lagi untuk apa lilin berbentuk hati ini? Jika soal Rana, Bara pasti akan selalu bertingkah kekanak-kanakan. Tapi kali ini, seperti bukan Bara saja. Dia tampak begitu gentle dengan setelan pakaian formal. Tampak dewasa tak seperti biasanya.
Rana menatap bingung. Apa maksud semua ini?
"katanya ada Bintang yang ingin dicuri dari galaksi? Nih, bintangnya datang." Rana tersenyum. "katanya takut kalau pluto sendirian, nih Bintang temenin." senyum Rana semakin merekah. "katanya pengen lihat Nebula sekali lagi, nih roket punya Neil Armstrong udah Bara curi biar bisa mendarat di atas Katai Putih sambil ngelihat Nebula lagi." tawa kecil terdengar dari mulut kecil Rana. "kalau takut Bintangnya hilang, jangan curi roket Neil Armstrong biar bisa cari Bintang. Kalau mau cari Bintang, cukup tutup mata aja sambil ucap nama Bintang dalam hati. Karena sekalipun Bintang tak ada di sisi Rana, kan Bintang ada dalam hati Rana." ujar Bara sambil tersenyum teduh.
Mata Rana berkaca-kaca. Bara yang biasanya kekanakan berubah menjadi sosok yang dewasa. Ini benar-benar membuat Rana tersentuh.
Bara berlutut, mengambil sekotak kecil di saku celana kanannya. Membuka kotak itu perlahan, sambil mengucapkan hal yang selama ini ingin dia ucapkan.
"tanpa awan hujan tak akan ada, dan tanpa hujan pelangi tak akan ada. Hidup itu saling membutuhkan Rana, aku butuh kamu sebagai pelengkap hidup aku. So, will you marry me, princess?"
Rana mengangguk setuju. Akhirnya air mata kebahagiaan keluar dari sela kelopak mata Rana. Rasanya seperti mimpi indah yang selalu menjadi sebatas fana. Walau bagaimanapun, Rana takut jika ini hanya sebatas Euforia saja, jadi Rana memastikannya dengan mencubit pipi Bara dengan gemas sampai yang dicubit meringis kesakitan.
Saat Bara akan memasangkan cincin itu pada Rana, suara tembakan terdengar dari belakang Bara. Rana mendongakkan kepalanya menatap asal suara tembakan itu. Tapi saat Rana menatap orang itu, Bara langsung terjatuh tiba-tiba.
"Bar? Bara? Bara, kamu--" lidah Rana tercekat. Darah di dada kirinya mengalir begitu banyak. Apa maksud semua ini? "Bara!"
---
Rana terbangun dari mimpi buruknya. Keringat dingin mengucur dari dahinya. Nafasnya tersengal-sengal, sampai -sampai terasa berat untuk bernafas saja. Dan apa itu tadi? Siapa yang menembak Bara tadi? Wajahnya hanya terlihat samar-samar saja.
Rana mengatur nafasnya kembali normal sebelum Rana turun dari tempat tidurnya. Dan setelah mengatur nafasnya kembali, Rana berlari ke meja belajarnya. Membuka laci kecil itu. Dan mengambil kotak kecil dari dalam laci itu. Rana membuka perlahan kotak itu, dan memastikan sepasang cincin masih ada di dalam kotak itu. Dan untungnya cincin itu masih di tempat semula. Rana tak ingin hadiah yang diberikan Bara di hari ulang tahunnya hilang begitu saja. Ini cincin yang menjadi bukti keseriusan Bara untuk mengikat Rana selamanya.
Lagi-lagi, air mata Rana jatuh. Harus ya, dia merasakan hal itu? Rana kehilangan dua orang yang dicintainya hanya dalam satu hari. Dan hari itu tepat di hari ulang tahunnya.
Rana jatuh tersungkur ke lantai. Kali ini, Rana membiarkan suara tangisnya menggema di ruangan apartemennya. Tak salahkan, menangis sedikit saja? Ini hanya untuk melepaskan emosinya saja.
---
"Sia, Gunung Tangkuban Parahu dimana sih? Ini kayaknya kita muter-muter mulu deh." sergah Bara tak tahan lagi mengikuti Sia. Kakinya juga capek. Sudah berjam-jam Bara mengikuti Sia, tapi nampaknya mereka hanya berjalan di tempat yang sama aja.
"elaaah, jadi cowok lembek banget. Gitu aja langsung nyerah. Liat nih kaki aku masih baik-baik aja." seru Kesia sambil menghentakkan kakinya dengan bangga.
"oh ya?" Bara berjalan mendekati Kesia, menatap Kesia dari atas sampai bawah, sampai akhirnya mendapat bogem dari Kesia sebagai pukulan.
"sejak kapan kamu jadi semesum ini hah?" tanya Kesia sambil memeluk dirinya sendiri—mencoba melindungi.
"hahahaha....gitu aja langsung baper. Payah!" seru Bara sambil mengambil paksa topi yang dipakai Kesia.
"gila! Woy! Itu topi guuuee....Baraaaa. Panas taaauuu." rengek Kesia sambil mencoba meraih topinya kembali.
"coba aja kalo--" Bara tak melanjutkan ucapannya. Kepalanya terasa pusing. Kilasan hitam putih muncul tiba-tiba di pikirannya. Apa lagi ini? Kenapa semuanya menjadi gelap?
Dalam 2 detik, tubuh Bara jatuh tersungkur ke bawah.
---
"Baraa..."
"Bara, ayo ngampus! Hobi banget bangun telat."
"ih, Bara. Jangan ambil topi Rana, ini mataharinya lagi pms, makanya panasnya minta ampun."
"Bara jangan ambil itu, Bintangnya udah Rana patenkan sejak negara api menyerang."
"kalau Pluto sendirian, kan ada Bara yang bisa nemenin dia sebagai bintang."
"jangan tatap Nebula sedalam itu, tatap Rana aja."
"Bara, katanya evolusi tahap terakhir bintang itu Katai Putih kan? Kalo bintang jadi Katai Putih, yang jaga Rana siapa?"
"Bara, jangan mati ya? Kasian Bintang di langit berkurang satu."
"Baraaa...."
"Baraaa..."
"selamat tinggal, Bara."---
Bara terbangun dengan kaget. Keringat dingin mengucur dari dahinya. Kilasan apa itu? Kenapa Rana ucapin selamat tinggal ke Bara? Dan apa itu Nebula dan Katai Putih? Apa maksud dari semua itu?
"Bi."
Bara menoleh cepat. Entah kenapa setelah melihat siapa yang datang, raut wajah Bara berubah datar.
"kamu kenapa? Kenapa tiba-tiba pingsan? Apa lagi yang kamu lakuin sekarang?" tanya Gera beruntun. Gera cemas sekali lagi pada adiknya satu itu. Selalu saja melakukan hal yang tak berguna.
"nggak apa-apa." ujar Bara sambil menyibak selimut yang menutupi tubuhnya.
"eh, kamu mau kemana?" tanya Gera saat Bara akan beranjak dari tempat tidurnya.
"mau cari teman aku yang tadi."
"Sia?"
Bara menatap tajam ke arah kakaknya. "kakak kenal dia?"
"iyalah, dia kan yang mau dijodohin mama sama kamu." ucap Gera dengan tatapan sok polos.
"hah?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
BaRana
Teen FictionSetelah bersusah payah menahan perih saat menjelajahi masa lalu, kini Rana mulai belajar beradaptasi dengan lingkungan barunya sebagai penyembuh luka. Mencoba melupakan keisengannya bermain bersama sang Bintang di bebatuan asteroid, mencoba melupaka...