BaRana ↪ #15 : Konflik

17 6 0
                                    

Sebelum membaca part ini, harap membaca kembali cerita 'BaRana' dari awal, sebab cerita ini di remake dari 'Livina' menjadi 'BaRana'. Dan buat teman-teman yang udah support cerita 'Livina', maaf udah mengecewakan. Tapi alur cerita 'Livina' terlalu acak, jadi saya menggantinya dengan cerita lain dulu. Sekali lagi maaf ya, karena 'Livina' dihapus dan diganti menjadi 'BaRana'. Lagipula'Livina' pasti bakalan kembali kok dengan alur cerita yang lebih menarik tentunya. So, enjoy this story:)

---

Frans membuka matanya perlahan. Ini.....ada dimana? Samar-samar, dia melihat Aurel duduk disamping tempat tidurnya.

"Aurel...ini dimana?" tanya Frans lirih. Frans mencoba duduk dengan bantuan Aurel disampingnya.

"kita ada di hotel, sayang. Pak Deni yang bawa kamu kesini."

"hotel? Bukan di apartemen Yoga?"

Aurel menghela nafas panjang. "Yoga pergi ke Indonesia pakai Jet pribadi yang kamu berikan khusus untuknya. Apa kamu lupa?"

Frans bangkit dari tempat tidurnya, dan mencoba merapikan setelan jas yang dipakainya. "tapi ini hari pertunangannya dengan Jessica. Aku harus mencarinya dulu."

Aurel menahan lengan Frans sebelum Frans akan pergi mencari Yoga. "Yoga bilang dia mau menjemput Rana. Dia gak mau pertunangan ini berlanjut. Yang dia cintai itu Rana sayang. Jangan paksa dia pada hubungan yang tidak dia inginkan. Biarkan dia memilih jalan hidupnya sendiri."

"tapi dia dan Jessica--"

"aku sudah menyampaikan permintaan maaf pada keluarga Jessica. Terutama pada Jessica sendiri. Mereka tak mempermasalahkan hal ini. Karena Jessica juga sudah lama bilang kalau Yoga terpaksa melakukan pertunangan ini, jadi mereka juga tak terlalu mempermasalahkan masalah ini."

Frans ikut duduk disamping istrinya. Frans memijit pelan kepalanya sendiri. Lelah juga rasanya mengurus anak yang nakal seperti Yoga. Tapi mau tak mau, Frans harus membiarkan anaknya belajar dengan yang namanya tanggung jawab. Karena nanti, Yoga harus mempertanggungjawabkan hal-hal yang sudah dia perbuat.

---

Rana menatap Bara dan Kesia bersamaan. Ada rasa sesak di dalam hati Rana saat melihat Bara dan Kesia saling berpandangan dengan waktu yang cukup lama. Rasanya sangat aneh. Bukannya Rana menginginkan semua ini terjadi? Lalu kenapa dia masih saja sulit membiasakan hal ini?

"apa benar itu, Sia? Apa aku dan kamu memang sudah dijodohkan sejak lama?"

"itu benar. Sudah dari dulu kita berdua dijodohin, tapi sudah dari dulu juga kamu menolak perjodohan ini."

Bara mengernyitkan dahinya. Pernyataan ini terasa ambigu bagi Bara. Dia tak mengingat apa-apa, tapi rentetan kejadian ini memaksanya untuk mengingat masa lalunya. Seolah, dia perlu mempertanggungjawabkan masalah yang ia perbuat sendiri.

Kesia mengamati raut wajah Bara. Seolah ingin melihat bagaimana reaksi lelaki satu itu. Tapi raut bingung terpampang jelas dari wajah tampan itu. Lagi-lagi, Kesia tersenyum miris. "kalau kamu kurang yakin, lupain aja apa yang aku katakan. Lagipula Rana sudah ada disini. Bukannya ini yang kamu inginkan? Berada di dekat seseorang yang kamu sayang?"

"tapi--"

"kalau kalian masih sibuk menyelesaikan masalah kalian, saya mau pamit dulu." sela Rana dengan cepat. Rana tak bisa berlama-lama lagi di tempat itu. Kalau tidak, matanya tak bisa ia tahan untuk tidak mengeluarkan air mata. Rasanya begitu sesak saat melihat orang yang di sayangnya, kembali pada dekapan yang harusnya ia dekap erat-erat. Atau lebih tepatnya, Rana hanyalah orang ketiga dalam hubungan mereka. Sejak dulu, Rana selalu merasa seperti itu.

"Rana, ada apa? Kenapa Rana bisa berubah seperti ini? Kemana Rana akan pergi? Lagipula, bukannya ini rumah Rana?" tanya Gilang sambil memeluk Rana begitu erat. Rasanya gadis yang ia peluk ini, bukan lagi sahabat kecilnya dulu. Tak ada lagi sikap manja yang sering Rana lakukan setiap harinya. Celotehannya tak lagi terdengar seperti dulu. Entah kenapa, Rana sudah berbeda tak sama seperti biasanya.

"manusia bisa berubah, Lang. Saya berubah seperti ini, kalian sendiri jelas tahu alasannya. Dan soal kemana saya akan pergi, maaf saya gak bisa jawab. Rumah ini akan kami jual, jadi kami harus mencari tempat yang baru lagi."

"lalu bagaimana dengan orang tua kamu, Rana? Mereka juga ikut kalian berdua kan?" tanya Vannesa sambil melirik Rana dan Raja bersamaan.

"mama sama papa udah nggak ada." timpal Raja cepat, sebelum Rana sendiri yang mengatakannya. Raja tahu, berat bagi Rana bila menjelaskan semuanya pada sahabat-sahabatnya. Jadi, biar Raja yang menjawab pertanyaan ini.

"hah? Maksud kamu apa?" Sheila maju. Meminta penjelasan dari apa yang Raja katakan.

"maaf menyela. Tapi aku, Rana, dan juga Raja harus pergi sekarang. Kita harus pergi ke suatu tempat sekarang ini." Yoga menyela, saat rasanya dia perlu menyela pembicaraan ini. Yoga sempat melirik Rana yang matanya berkaca-kaca. Seolah menahan diri untuk tak menangis. Yoga juga melirik ke arah Raja. Yang hanya menunduk diam sedari tadi. Memangnya apa yang terjadi disini?

"kamu siapa?" tanya Mario penasaran. Sejak tadi lelaki asing ini berdiri di samping Raja. Seolah menunjukkan keakraban mereka.

"tidak penting aku ini siapa. Yang jelas, kami harus pergi sekarang." Yoga menggenggam tangan Rana. Membawa gadis itu masuk ke dalam mobilnya diikuti oleh Raja. Raja merasa sedikit tenang saat Yoga membawa mereka keluar dari segala hal yang meresahkan. Bahkan sahabat-sahabat Rana yang masih setia melihat kejadian itu, masih saja bergeming di tempat. Termasuk Bara.

Yoga dan Rana masuk ke dalam mobil Yoga. Sementara Raja masuk ke dalam mobilnya sendiri. Yoga memakaikan seatbelt pada Rana, karena sejak masuk ke dalam mobil Rana hanya duduk diam sambil menatap Bara dari kaca mobil.

"kita pergi kemana, Rana?"

"kemana saja, yang penting bukan disini."

Yoga mengangguk. Dari getaran suara Rana, Yoga bisa tahu dengan jelas bahwa gadis itu menahan tangisnya. Dia ingin ke suatu tempat yang bisa membuatnya meluapkan emosinya. Setidaknya, Bara tak dapat melihat sisi lemah Rana.

Yoga menyalakan mesin mobilnya. Membawa mobil itu keluar dari halaman rumah Rana. Raja juga melakukan hal yang sama. Mengikuti mobil Yoga ke jalan Raya. Meninggalkan 7 orang itu dalam keheningan.

Kesia hampir jatuh tersungkur ke bawah, tapi langsung ditahan oleh Chris yang dengan cepat berdiri disampingnya. Chris memapah Kesia untuk duduk di kursi kayu yang ada di halaman depan rumah Rana. Yang lainnya mengikuti langkah kaki Chris dan Kesia yang akan duduk di kursi kayu itu. Semuanya hanya diam, kecuali para gadis yang selalu menjadi sahabat terdekat Rana. Mereka terisak saat melihat Rana keluar dari rumah ini. Mereka tak lagi menemukan sosok Rana yang dulu. Gadis itu sudah jauh berbeda tak seperti dahulu.

"Sia, kenapa dengan Rana? Kenapa dia berubah seperti itu? Dan juga kenapa dengan orang tua Rana? Apa yang mereka sembunyikan, Sia? Memangnya apa yang terjadi?" tanya Sheila beruntun dengan suara isakan yang masih terdengar jelas dari mulutnya.

"apa mungkin karena kak Garendra?" sela Chris sampai membuatnya ditatap sangat intens oleh semua orang yang berada di tempat itu.

Bara mengernyitkan dahi. "apa hubungannya dengan kakak aku?"

Chris menghela nafas panjang. "tanya saja pada kakakmu. Semua kejadian buruk yang terjadi pada kami, semua karena ulah kakakmu itu."

BaRanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang