Sebelum membaca part ini, harap membaca kembali cerita 'BaRana' dari awal, sebab cerita ini di remake dari 'Livina' menjadi 'BaRana'. Dan buat teman-teman yang udah support cerita 'Livina', maaf udah mengecewakan. Tapi alur cerita 'Livina' terlalu acak, jadi saya menggantinya dengan cerita lain dulu. Sekali lagi maaf ya, karena 'Livina' dihapus dan diganti menjadi 'BaRana'. Lagipula'Livina' pasti bakalan kembali kok dengan alur cerita yang lebih menarik tentunya. So, enjoy this story:)
---
Tak butuh waktu lama untuk berjalan sampai ke daerah pinggiran Gunung Tangkuban Parahu yang cukup menguras tenaga. Kesia mengira bahwa tempat itu akan terlalu jauh untuk dilewati, tapi nyatanya ini tak terlalu jauh juga.
Hawa yang dingin dengan hanya beberapa orang saja yang masih ada di pinggiran, benar-benar membuat Kesia sedikit takut. Ini sudah sore, dan lagi untuk turun ke bawah juga harus melewati bebatuan. Harus ekstra hati-hati kalau berjalan di daerah Gunung itu.
"kamu ngajak aku kesini, memangnya karena apa? Lagipula ini sudah sore, kita gak boleh terlalu lama disini." ucap Bara sambil menatap senja yang terpampang jelas di langit.
"apa kamu lupa, tentang buku 'Atlas'? Buku yang hampir kau jadikan pedoman dalam setiap apa yang kau lakukan, sampai-sampai kau seperti menganggap hidupmu sebagai bagian dari Galaksi yang kau ciptakan sendiri. Kau menganggap dirimu sebagai Bintang sama seperti namamu, dan juga menganggap dirimu sebagai Katai Putih karena tahap evolusi terakhir Bintang adalah Katai Putih. Kau menganggap Rana sebagai Bulan-mu, sebab kau ingin ditemani disetiap malam sunyimu. Kau juga sering menganggap Rana sebagai Pluto sebab nakalnya Pluto selalu membuat dirinya keluar dari garis Astronomi maka dari itu kau ingin terus menemaninya. Kau--" Kesia menghentikan perkataan terakhirnya. Lidahnya terasa kelu. Walau bagaimanapun, bohong jika Kesia bilang bahwa dia tak mencintai lelaki itu. Tapi mau bagaimana lagi, sejak awal Bara hanya bisa menatap Rana saja. Lelaki itu tak pernah memberikannya kesempatan untuk semakin dekat padanya. Bara hanya bisa dekat dengan Kesia, tapi hanya sebatas teman. "kau selalu ingin berjalan di bebatuan Asteroid sambil menggenggam tangan Rana. Katamu di Galaksi sangat dingin, jadi kau ingin menggenggam tangan Rana sebagai penghangat. Makanya kau selalu ingin agar Rana bisa berada di dekatmu."
Bara tersenyum hambar, entah kenapa sepanjang apapun kalimat yang diucap Kesia, tak ada satupun yang bisa dipaksanya untuk mengingat. Jika Rana sepenting itu, mengapa sosoknya kini menjadi tabu? Sebenarnya dimana hatimu berlabuh Bara?
"apa sekarang ada yang kamu ingat?" tanya Kesia ragu-ragu, walau dalam hatinya Kesia tak ingin Bara mengingat satu hal pun tentang Rana. Meski terdengar jahat, tapi Kesia juga tak pernah mau untuk melakukannya.
"nggak. Satupun gak ada yang aku ingat."
Entah kenapa Kesia sedikit senang, meski sebenarnya perasaan bersalah pada Rana memghantui pikirannya.
"lalu sekarang bagaimana? Selain tempat ini, kamu mau ke Kafe yang biasa kalian datangi? Atau pergi ke rumah Rana mungkin?" Kesia masih mencoba ingin membantu Bara. Meski Bara tak pernah menghargai kehadirannya.
"kita pulang."
"maksud kamu?"
"ini udah gelap, Sia. Aku gak mau orang tua kamu khawatir anaknya pulang malem."
"udah aku bilang, sekalipun aku pulang mereka gak bakal peduli."
"Sia, ayo pulang. Orang tua kamu gak peduli, tapi aku peduli."
---
"Rana udah nyampe gak yaaa?" tanya Yoga dalam hati sambil menatap balkon apartemen Rana yang sunyi senyap di samping ia berdiri. Tak perlu heran bagaimana Yoga mendekati Rana, apartemen yang bersebelahan cukup untuk mendekatkan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
BaRana
Teen FictionSetelah bersusah payah menahan perih saat menjelajahi masa lalu, kini Rana mulai belajar beradaptasi dengan lingkungan barunya sebagai penyembuh luka. Mencoba melupakan keisengannya bermain bersama sang Bintang di bebatuan asteroid, mencoba melupaka...