Sebelum membaca part ini, harap membaca kembali cerita 'BaRana' dari awal, sebab cerita ini di remake dari 'Livina' menjadi 'BaRana'. Dan buat teman-teman yang udah support cerita 'Livina', maaf udah mengecewakan. Tapi alur cerita 'Livina' terlalu acak, jadi saya menggantinya dengan cerita lain dulu. Sekali lagi maaf ya, karena 'Livina' dihapus dan diganti menjadi 'BaRana'. Lagipula'Livina' pasti bakalan kembali kok dengan alur cerita yang lebih menarik tentunya. So, enjoy this story:)
---
"AAAAAAAAAAA." teriak Kesia saking senangnya.
Akhirnya setelah menempuh beberapa jam perjalanan, mereka sampai juga di tempat itu. Selama di perjalanan, Kesia dan Bara saling bergantian membawa mobil. Maklum, anak orang ngantuk gegara habis nangis.
Kesia menunggu Bara yang sedang membeli tiket masuk sambil menggosok kedua telapak tangannya. Walaupun ini masih jam 2 siang, tapi hawa di sekitar terasa dingin. Yah, mungkin karena mereka sudah di Gunung sih. Untung saja Kesia membawa jaket tebal bersamanya karena kalau tidak membeku sudah tubuhnya.
"Sia, aku udah mesen tiket buat kita berdua. Tapi gak papa nih, kamu pulang malam? Orang tua kamu ngizinin kamu pulang malam apa nggak?"
Kesia menatap nanar langit mendung itu. Sepertinya cuaca kali ini sangat tak mendukung perjalanan mereka disini. "kamu tenang aja, Bar. Sekalipun aku hilang di muka bumi ini, mereka tetap gak bakalan nyariin aku. Dan kamu gak perlu merasa bersalah karena udah nanyain hal ini, toh ini bukan pertama kalinya kamu nanyain hal yang sama."
Harusnya Bara tak perlu menanyakan hal itu, dan entah kenapa perkataan Kesia benar-benar mengganggu pikirannya.
"ayo jalan! Biar cepat nyampe." ajak Kesia sambil menarik lengan Bara dengan paksa.
"tapi kita kemana?"
"ke tempat dimana kamu lihat Pluto keluar dari garis astronomi."
"maksudnya?"
"udah ikut aja bawel."
Lelah juga Kesia membawa anak orang yang sebesar pohon kelapa itu. Narik lengan dia kayak udah narik tambang bareng orang-orang yang sering nge-gym.
"Bar, berhenti dulu." pinta Kesia tak kuat lagi melanjutkan perjalanan mereka. Gunung itu cukup besar. Jadi tak heran bila Kesia merasa sangat capek.
"udah lelah?" tanya Bara sambil menyuruh Kesia untuk duduk dulu. Bara memberikan sebotol air minum yang dibeli saat mereka baru saja turun dari mobil. Sebenarnya itu dibeli untuk digunakannya sendiri, tapi karena Kesia lebih membutuhkannya Bara lebih memilih untuk memberikannya pada Kesia.
"thanks Bar." ucap Kesia sambil mengambil botol air yang di berikan Bara. "tapi gak papa nih aku minum airnya?" Kesia menanyakannya sebab tak enak bila hanya dirinya saja yang merepotkan Bara.
"gapapa, aku beli lebih kok. Aku udah yakin kalau kita bakalan butuh air selama berjalan terus ke arah yang aku sendiri aja gak tahu. Sejak tadi aku ngikut kamu terus, aku jadi keinget sewaktu kita ke sini kemarin kamu ngajak aku sampai kita berdua tersesat. Jadi aku yakin, perjalanan kali ini mungkin bakalan lama." terang Bara sambil ikut mengambil sebotol air minum lainnya di dalam tasnya.
Kesia tersenyum. Entah kenapa dia jadi teringat dulu. "kamu gak berubah kok, Bar. Sifat kamu masih sama. Hanya saja ingatanmu yang hilang."
Bara hanya menatap Kesia dengan datar. Bara tak mengerti maksud Kesia. Mungkin saja karena Bara lupa tentang bagaimana dia dulu menjalani hidupnya. Jadi saat orang-orang membahas masa lalu, Bara hanya akan diam mendengarkan tanpa mengerti satupun.
"ayo lanjut lagi, keburu gelap."
Setelah selesai beristirahat sejenak, Kesia dan Bara melanjutkan kembali perjalanannya. Kesia sangat ingin menunjukkan pada Bara, betapa kagumnya Bara terhadap Galaksi. Kesia ingin Bara mengingat kembali tentang dunia fana yang diciptakannya dalam bentuk Galaksi. Tunggu saja Bara, duniamu akan selalu mengikutimu.
---
Rana akhirnya sampai juga di bandara. Membawa satu koper dan satu ransel ternyata tak bisa dibilang mudah. Barang bawaan Rana juga terlalu berat. Berat dengan oleh-oleh yang sudah dia janjikan pada sahabat-sahabatnya jika ia kembali dari Paris. Dan saat ini, kedua benda itu dibawa sementara oleh Yoga.
"Ga, gapapa nih bawa tas-tas saya? Berat gak? Saya bawain aja ya?" pinta Rana merasa tak enak.
"gapapa kok. Seberat apapun itu, kalau buat Rana semua jadi ringan."
"hahahaha....berhenti gombal, Ga. Rayuan kamu gak mempan sama saya."
"iya, iya deh. Ngalah aku mah kalau Putri Aurora udah ngomong gitu."
"Putri Aurora?" tanya Rana bingung. Heran saja kenapa Yoga memanggilnya seperti itu.
"iya, Putri Aurora. Sekalipun dia berada dibawah kutukan, sang pangeran akan mendatangkan cinta sejatinya untuk melepaskan kutukan itu. Dan aku harap, aku bisa jadi pangeran itu Rana." Yoga menatap teduh ke arah Rana. Yoga berharap agar Rana merespon untuk pernyataannya kali ini. Itulah yang selalu menjadi doanya pada tuhan bila dia sedang berada di dekat Rana.
Rana tersenyum. Menyentuh pipi kanan Yoga dengan lembut, dan mengelusnya secara perlahan. "tunggu Rana, Rana pasti bakalan balik. Dan saat Rana balik, Rana harap Zayoga Gerard Billywenzeth tetap menjadi Langit yang bisa melindungi Bulan lagi, bisakan?"
Yoga mengangguk. Yoga membawa Rana ke dalam dekapannya. Tak peduli berapa banyak pasang mata yang menatapnya heran, Yoga hanya tak mau melepaskan pelukan itu. Yoga takut saat pelukan itu lepas, Rana tak akan kembali lagi padanya. Mengingat kalau sosok Bara masih berada di hatinya, apalagi dengan baliknya Rana ke tempat dimana dirinya dan Bara saling bertemu, membuat Yoga tak mau kehilangan Rana.
"Ga, lepas! Ada banyak orang yang natap kita tau?!" tukas Rana meronta-ronta mencoba melepas pelukan itu.
"gimana Rana? Gimana kalau nantinya Rana gak balik lagi? Gimana nantinya kalau pada akhirnya Rana lebih memilih untuk kembali pada Bara? Aku harus bagaimana Rana?" bisik Yoga lirih.
"Ga, saya butuh waktu untuk mikirin hal itu. Please hargai keputusan saya, Yoga."
Yoga memilih diam saat mendengar respon Rana. Setelah 2 menit, akhirnya Yoga melepaskan pelukannya. Yoga menatap Rana dengan nanar. Lagipula ini bukannya pertama kalinya Yoga mendengar respon seperti ini dari Rana.
Rana akhirnya mengambil tas-tas yang di bawa Yoga. Rana menatap sekali lagi ke arah Yoga. Lelaki itu sudah sangat membantunya. Disaat Rana sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya, Yoga hadir seperti penyelamatnya. Sama seperti pangeran menyelamatkan Putri Aurora yang sedang di kutuk. Benarkan begitu, Yoga?
Rana berjalan sambil mengeluarkan tiketnya untuk di cek-in. Tapi saat Rana mulai mendekati antrian cek-in. Rana menatap kembali ke arah Yoga. Rana kembali tersenyum, agar Yoga percaya bahwa dia baik-baik saja untuk menjaga dirinya selama disana. Walaupun tanpa sadar, saat Rana tersenyum Yoga memotret Rana diam-diam. Tak apa kan? Yoga hanya ingin menjadikan foto itu sebagai vitaminnya disaat dirinya butuh kekuatan. Maaf bila ini sedikit egois Rana, ucap Yoga berulang kali dalam hati.
Akhirnya setelah cek-in, Rana berjalan masuk lebih ke dalam lagi. Meninggalkan Yoga yang masih saja menatapnya dari kejauhan. Dan memilih untuk meninggalkan Kota Paris. Walaupun hanya sementara, tapi Rana merasa bahwa ini akan membutuhkan waktu yang lama, apa mungkin karena ada seseorang yang ingin ditemuinya disana?
"kalau Bulan kembali untuk menemui Bintang, itu tak jadi masalahkan? Sama seperti Katai Putih yang ingin menemani Pluto yang nakal."
KAMU SEDANG MEMBACA
BaRana
Teen FictionSetelah bersusah payah menahan perih saat menjelajahi masa lalu, kini Rana mulai belajar beradaptasi dengan lingkungan barunya sebagai penyembuh luka. Mencoba melupakan keisengannya bermain bersama sang Bintang di bebatuan asteroid, mencoba melupaka...