Sebelum membaca part ini, harap membaca kembali cerita 'BaRana' dari awal, sebab cerita ini di remake dari 'Livina' menjadi 'BaRana'. Dan buat teman-teman yang udah support cerita 'Livina', maaf udah mengecewakan. Tapi alur cerita 'Livina' terlalu acak, jadi saya menggantinya dengan cerita lain dulu. Sekali lagi maaf ya, karena 'Livina' dihapus dan diganti menjadi 'BaRana'. Lagipula'Livina' pasti bakalan kembali kok dengan alur cerita yang lebih menarik tentunya. So, enjoy this story:)
---
"Rana? Ngapain ngepak barang-barang? Jangan bilang Rana mau pindah?" tanya Yoga curiga.
"saya mau balik ke Indonesia. Ada suatu hal yang harus saya kerjain disana." ujar Rana sambil melipat baju-bajunya dan dimasukan ke dalam koper.
"tapi buat apa? Bukannya Rana lebih suka disini? Disini kan tempat yang Rana suka."
Rasanya Rana ingin tertawa, tapi Rana menahannya. Ternyata Yoga masih belum tahu apa-apa. "keinginan yang saya bilang dulu, sebenarnya bukan keinginan saya. Ini keinginan Bara karena cita-citanya pengen jadi pelukis handal yang lukisan-lukisannya akan di pajang di museum agar bisa di kenal dunia."
Yoga mendengus kasar. "Bara lagi Bara lagi, kek lem aja nempel mulu di pikiran Rana."
Rana menggeleng kecil sambil tertawa. Sifat Yoga sudah tak mengherankan lagi bagi Rana, hanya saja masih sedikit kaget dengan ucapan blak-blakannya.
"harus banget ya Rana pergi?"
Rana mengangguk mengiyakan. "saya gak boleh lari terus menerus, Ga. Masih ada banyak pertanyaan di dalam hati yang mengganggu, dan saya butuh jawaban."
Yoga menatap Rana dengan nanar. Yoga tak mau pemandangan pagi yang ditatapnya akan pergi. Ya memang cuma sementara, tapi sehari saja tak melihat Rana udah pasti Yoga khawatiran terus.
"Ga."
"hmm?"
"kamu bilang mau lanjut S2 kan?"
Yoga merasa ragu. Alasan Yoga ingin melanjutkan S2 itu karena Yoga ingin terus berada di dekat Rana. Kalau Yoga tak mau melanjutkan S2, Yoga harus pulang juga ke Indonesia. Dan kalau Yoga sudah di Indonesia, maka papa Yoga akan memaksa Yoga untuk dijodohkan dengan anak dari sahabat papanya.
"aku masih gak tahu, Ran. Alasan aku ada disini itu karena ada kamu, kalau kamunya pergi buat apa lagi aku disini?"
Rana berhenti melipat bajunya. Ditatap Yoga dengan begitu dalam sampai yang ditatap tersipu malu sebab ditatap seintens itu. "pendidikan itu penting, Ga. Apa kamu tahu kenapa orang tua kamu ngancam kamu buat dijodohin sama anak temennya? Mungkin aja, karena papa kamu tahu sifat kamu makanya dia ngancam kayak gitu supaya kamu mau lanjut S2."
Yoga memilih diam. Mungkin, yang Rana bilang ada benarnya. Papa Yoga pasti melakukan semua itu untuk kebaikan Yoga sendiri. Sejak kecil, papa Yoga sangat tegas dalam mendidiknya. Tapi dalam sifat tegas papanya, ada kelembutan dalam setiap nada bicaranya.
"percaya, gak ada orang tua yang jahat di dunia ini Yoga."
"ada kok beberapa yang jahat."
Rana tertawa kecil. "mungkin karena mereka masih belum cukup dewasa dalam mendidik anaknya."
Yoga mengangguk setuju. "terus, Rana masih tetep pengen ke Indo?" Rana mengangguk mengiyakan. "kalau nanti aku rindu sama Rana gimana?"
Rana sudah selesai mengepak barang-barangnya, dan kemudian mengajak Yoga keluar dari kamarnya. "ayo kita ke Arche de la Defense." ajak Rana mencoba mengalihkan pembicaraan.
Yoga tersenyum mengiyakan. Sudah dari dulu Yoga tahu sifat Rana yang selalu mengalihkan topik saat dirinya tak ingin menjawab atau membahas suatu hal.
---
"apa maksud kakak bilang kalau Sia itu orang yang dijodohin mama ke aku?"
Gera tersenyum remeh. "bukannya kamu sendiri udah tahu dari dulu? Kamunya aja yang lupa. Bahkan Rana aja udah tahu kalau kamu dan Sia dijodohin."
"maksud kakak?" tanya Bara heran. Memangnya serumit apa hubungan antara dirinya dengan Rana?
Gera melangkah maju. Menyisakan beberapa centi saja dari Bara, sambil menepuk pelan bahu lelaki itu.
"yakin mau dengar?"
Bara meneguk salivanya. Kenapa Gera menatapnya seperti itu? Tatapan dingin tanpa ada kelembutan.
"yakin kak." ucap Bara sepenuhnya yakin.
"kalo gitu aku bakalan cerita. Dulu--"
Ucapan Gera terpotong sesaat setelah Kesia menarik Bara keluar dari ruangan itu. Kesia mendengar semuanya. Yang Kesia takutkan, kalau nantinya Gera mengarang cerita sampai membuat Bara membenci Rana. Walaupun sejak dulu Kesia suka pada Bara, tapi tak pernah di pikirannya untuk menikung temannya sendiri. Jika orang tua mereka menjodohkan mereka, toh mereka bisa menolaknya. Mereka kan sudah bukan anak kecil lagi.
"Sia, kita mau kemana?" tanya Bara bingung ketika dirinya sadar kalau sudah berjalan keluar dari rumah sejauh 200 meter. Pedagang kaki lima sampai menatap bingung karena mereka berjalan tanpa memakai sandal.
Kesia menghentikan langkah kakinya. Dia juga baru sadar kalau mereka keluar tanpa memakai sandal. Oh tidak, betapa malunya di tatap beberapa pasang mata yang menatap heran ke arah mereka.
"ki-kita ke mobil aku dulu." ajak Kesia mencoba menghindari tatapan aneh orang-orang.
Kesia membawa Bara ke mobilnya. Kesia tak tahu lagi kemana dirinya akan membawa Bara. Untuk sementara ini, mobil Kesia adalah tempat teraman dan tak dapat di ganggu orang lain.
"kita sebenarnya ngapain sih?" sergah Bara tak sabaran.
"Bara."
"apa?"
"yang dibilang kak Gera itu benar. Kita berdua udah dijodohin. Dan juga, Rana tahu kita berdua udah dijodohin ama orang tua kita. Apa kamu mau tahu cerita yang sebenarnya?"
"iya, aku mau tahu semuanya. Tapi tunggu, kenapa kamu manggil kakak aku 'Gera'?"
"sama seperti nama kamu, Rana juga yang singkatkan nama kakak kamu. Kamu tahu, kita semua udah kenal dengan baik siapa kakak kamu itu. Karena kakak kamu senior di kampus kita. Apa kakak kamu gak bilang soal itu?"
Bara menggeleng. "setiap ketemu dia, dia cuma nanya keadaan aku aja. Dia gak pernah cerita soal siapa dia."
Kesia menghela nafas panjang. Sulit sekali rasanya mengetahui jalan pikiran Gera. Orang itu cukup misterius bagi Kesia. Apapun yang dilakukannya, tak pernah di ceritakan pada siapapun. Termasuk pada orang tuanya.
"kalau gitu hari ini kita harus ke Gunung Tangkuban Parahu sekarang."
Bara menatap malas Kesia. Lagi-lagi tempat itu. "kenapa harus ke Gunung Tangkuban Parahu sih? Seberapa penting sih tempat itu sampai kamu ngotot mau ke sana? Lagipula terakhir kali kesana kita tersesat tau."
"tempat itu penting, Bara. Saking pentingnya, kamu gak mau tempat itu hilang di muka bumi ini. Makanya kamu selalu menganggap Gunung tangkuban Parahu sebagai Galaksi-mu. Sebagai tempat berteduh kamu. Dan di Galaksi, kamu hadir sebagai Bintang. Yang selalu menemani Bulan yang kesepian. Apa kamu masih nggak ingat?" Bara menggeleng. "kamu selalu menganggap Rana sebagai Bulan-mu. Katamu matahari terlalu memanaskan hatimu, jadi kamu menganggap Rana sebagai Bulan yang menyejukkan. Ha-Harusnya kamu gak lupa itu Bara." Kesia merasa dirinya terlalu terbawa emosi. Sampai-sampai air matanya jatuh ke pipinya.
Bara merasa tak enak pada Kesia. Walaupun dia tak tahu mengapa tempat itu sangat penting, tapi Bara tak seharusnya mengatakan hal itu.
"Sia, aku minta maaf." ucap Bara jujur.
"tempat itu penting bagi kamu, karena tempat itu adalah tempat Dimana kamu melamar Rana."
KAMU SEDANG MEMBACA
BaRana
Teen FictionSetelah bersusah payah menahan perih saat menjelajahi masa lalu, kini Rana mulai belajar beradaptasi dengan lingkungan barunya sebagai penyembuh luka. Mencoba melupakan keisengannya bermain bersama sang Bintang di bebatuan asteroid, mencoba melupaka...