Sebelum membaca part ini, harap membaca kembali cerita 'BaRana' dari awal, sebab cerita ini di remake dari 'Livina' menjadi 'BaRana'. Dan buat teman-teman yang udah support cerita 'Livina', maaf udah mengecewakan. Tapi alur cerita 'Livina' terlalu acak, jadi saya menggantinya dengan cerita lain dulu. Sekali lagi maaf ya, karena 'Livina' dihapus dan diganti menjadi 'BaRana'. Lagipula'Livina' pasti bakalan kembali kok dengan alur cerita yang lebih menarik tentunya. So, enjoy this story:)
---
Rana menatap Bara dan Yoga dengan cemas. Semenjak suara debaman pintu berbunyi kuat yang membuat Rana hampir terpeleset di dapur, saat itu Bara dan Yoga datang dengan wajah yang penuh dengan memar.
Astaga! Sudah Rana duga ini pasti akan terjadi. Tapi tak disangka kalau itu akan terjadi secepat ini.
Mereka berdua duduk diam di sofa. Saling menatap dengan sangat tajam. Sampai-sampai Rana harus mengambil kotak P3K dengan cepat, dan harus cepat-cepat kembali sebelum dua orang itu berkelahi lagi.
"kenapa lagi kalian?" Rana menyusul cepat, dengan kotak P3K di tangan kanannya.
"dia duluan." sahut Yoga.
"kamu yang duluan." timpal Bara tak mau kalah.
"kamu yang duluan!"
"nggak! Kamu yang--"
"Aduuuuuh! Bisa diam nggak sih? Nggak ada kapok-kapoknya ya berantem mulu." ujar Rana sambil membuka kotak P3K yang dibawanya dari dapur.
Rana meluarkan kapas yang sudah ditetesi sedikit alkohol. Berniat ingin membersihkan luka memar di wajah mereka, tapi bingung ingin membersihkan lebih dulu pada siapa.
"aku dulu, Ran."
"nggak aku dulu."
"ih nggak! Yang ngajak berantem juga kamu, jadi kamu yang terakhir."
"lah enggak! Situ yang duluan juga."
"siapa bilang?"
"bapak lurah!" timpal Bara kesal.
"yeee, ngapain juga--"
"gosh! Bisa diam? Ngapain juga ribut gara-gara itu? Suit aja siapa yang duluan." saran Rana sambil menutup mulutnya. Mencoba menahan senyum yang hampir saja terbit di wajahnya.
"hitungan ketiga langsung suit."
"satu..."
"dua..."
"ti--"
Kriiing! Kriiing! Kriiing!
Telfon rumah berbunyi. Awalnya Rana ingin mengangkatnya, tapi Yoga mencekal tangan Rana. Mencegah gadis itu untuk mengangkat telfon itu. Yoga berdiri kemudian berjalan sampai ke meja kayu kecil yang diatasnya ada telepon rumah yang masih saja berdering.
"halo?"
"Yoga!"
Ah, sudah ia duga ini pasti mamanya.
"kenapa ma? Tumben banget telfon anakmu yang satu ini, pasti ada maunya kan?" selidik Yoga curiga.
"ish! Jangan sembarangan! Mama tuh kesel sama kamu, masa ditelfon nggak diangkat?"
Astaga, Yoga lupa kalau ponselnya sedang dalam mode diam.
"maaf ma, habis baterai." bohong Yoga, kalau tidak nanti semakin panjang celotehan Aurel. "lagian kalau nggak diangkat, kan bisa ditelfon besok. Daripada mama nelfon pake telfon rumah tapi nggak ada yang angkat, mending mama tunggu besoknya aja kalau mau nelfon."
KAMU SEDANG MEMBACA
BaRana
Teen FictionSetelah bersusah payah menahan perih saat menjelajahi masa lalu, kini Rana mulai belajar beradaptasi dengan lingkungan barunya sebagai penyembuh luka. Mencoba melupakan keisengannya bermain bersama sang Bintang di bebatuan asteroid, mencoba melupaka...