Sebelum membaca part ini, harap membaca kembali cerita 'BaRana' dari awal, sebab cerita ini di remake dari 'Livina' menjadi 'BaRana'. Dan buat teman-teman yang udah support cerita 'Livina', maaf udah mengecewakan. Tapi alur cerita 'Livina' terlalu acak, jadi saya menggantinya dengan cerita lain dulu. Sekali lagi maaf ya, karena 'Livina' dihapus dan diganti menjadi 'BaRana'. Lagipula'Livina' pasti bakalan kembali kok dengan alur cerita yang lebih menarik tentunya. So, enjoy this story:)
---
"aku nggak nyangka kamu bisa sampai secepat ini, Bar. Apalagi, kamu harusnya nggak tahu rumah ini dimana. Oh, atau mungkin...kamu tanya sama teman-teman tentang rumah ini?" tanya Rana dengan punggung menghadap Bara.
Sekarang ini mereka tengah berdiri di halaman depan rumah. Bara sudah sampai. Sejak 15 menit yang lalu. Masih menunggu respon Rana yang tetap bersikukuh menatap rumah pohon yang sudah terlihat usang. Tapi setelah 15 menit kemudian, yang keluar dari mulut Rana justru perkataan tadi. Bara sampai merasa sedih karena Rana seperti mengacuhkannya.
Bara melangkahkan kaki kanannya ke depan. Satu langkah mendekati Rana. "ya, aku tanya mereka tempat ini. Memang kenapa? Kamu marah? Kalau kamu marah, aku minta maaf. Tapi please, hadap sini Rana. Aku mau lihat kamu."
Rana mengepalkan tangannya. Permintaan ini sungguh menyiksa sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi, hanya ini satu-satunya cara untuk menyelesaikan semuanya.
Rana berbalik. Menatap laki-laki yang sudah 2 tahun ini menyiksa batinnya. Menyisakan luka yang sampai kini ingin Rana cari tahu obatnya. Laki-laki dihadapannya ini sungguh berbeda sekarang. Tatapan tajamnya sudah tak lagi membuatnya terpesona. Hanya ada tatapan teduh dimatanya. Tapi bukan ini sebenarnya yang Rana maksud. Lebih tepatnya, sorot mata Bara kini berbeda. Sorot mata kelembutan terpancar di matanya. Membuat Rana ingin mencari kemana sosok Bara yang dulu.
Bara tersenyum teduh. "kamu nggak marah kan?" ah, semuanya berbeda. Tapi tidak dengan suara beratnya.
1 tetes.
Ah, akhirnya keluar juga ya?
2 tetes.
"Rana?"
3 tetes.
Bara berlari menarik Rana dalam dekapannya. Pikirannya terasa kalut. Bara tak tahu mengapa Rana menangis, tapi yang penting hapus dulu air mata Rana.
"Rana?" bisik Bara dengan suara seraknya. Ternyata laki-laki satu ini ikut menangis juga padahal ia tak tahu apa yang sebenarnya ia tangisi.
"kenapa?"
"apa yang Rana tangisi?"
"jangan menangis. Aku takut kalau air mata Rana tak bisa berhenti. Aku tak pandai dalam menenangkan wanita. Jadi berhentilah menangis. Aku merasa bersalah, Rana."
"Bara."
"ya? Kenapa? Bilang ke aku semuanya."
"Rana benci. Rana benci sama Bara. Rana benci dengan situasi ini. Rana benci semuanya. Kenapa? Kenapa dari sekian banyak orang, semua ini malah berdampak pada Rana? Rana salah apa Bara? Dimana letak kesalahan Rana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BaRana
Teen FictionSetelah bersusah payah menahan perih saat menjelajahi masa lalu, kini Rana mulai belajar beradaptasi dengan lingkungan barunya sebagai penyembuh luka. Mencoba melupakan keisengannya bermain bersama sang Bintang di bebatuan asteroid, mencoba melupaka...