one step closer

107 11 0
                                    

Citra sampai di bangsal VVIP rumah sakit sepuluh menit yang lalu.

Ia disambut pemandangan; kondisi Kena yang sudah tak karuan. Matanya merah dan sembab karena terlalu lama menangis sementara tubuhnya lunglai dengan jarum infus di tangan.

Oh ya, Adam sudah sejak lama beranjak. Menurut penuturan Kena, Adam meminta maaf karena Ia harus mengontrol kondisi beberapa pasien lain. Tapi Citra yakin kakaknya yang kaku itu paling-paling hanya tak tau harus bersikap bagaimana dan memilih menghilang dengan jurus 'ada jadwal konrol'

Citra menarik nafas panjang sebelum membuka percakapan.

"Ken, Lo serius mau masuk Islam? Agama bukan hal main-main, Ken. Gue seneng banget kalo Lo bisa jadi saudara seiman gue, tapi bukan karena keputusan gegabah."

"Cit, i've never told anyone before. Tapi sebenernya udah lama gue nyari tau tentang Islam. Dan gue yakin sama keputusan gue hari ini."

Sekarang Kena sudah lebih tenang. Tadi diwaktu awal Citra datang air matanya tanpa sadar masih menetes sesekali dan ritme nafasnya tak beraturan.

"Keputusan ini sama sekali bukan keputusan mendadak apalagi gegabah." Ujar Kena menimpali.

Citra mengukir seulas senyum.  Kalau memang begitu adanya, dia justru senang bisa menjadi saksi hidup atas seorang perempuan yang memilih berjalan kembali kepada fitrahnya.

"Lo mau kan Cit bantuin gue? Sekarang. Gue takut kaya paman Nabi Muhammad yang walaupun seumur hidupnya dia ngelakuin kebaikan, tapi sampai akhir hidupnya justru gasempet ngucapin syahadat." Tangan Kena kini menggenggam erat jemari Citra.

Citra tidak bisa dan tidak mungkin mengelak. Apalagi setelah mendengar kisah Abu Thalib yang disebut Kena. Ucapan Kena tentang Islam yang sudah Ia pelajari sejak lama memang bukan sebatas bualan.

"Sebuah kehormatan justru buat gue Ken. Niat baik juga emang harus segera dilaksanain, bukan?"

Dua perempuan berwajah teduh itu sama-sama tertawa.

"Tapi lo gak ngabarin keluarga Lo dulu? Terus yang jadi saksi Lo siapa nanti selain gue?"

"Bokap Nyokap gue itu orangtua angkat gue, Cit. Mereka tau kok gue mau mualaf, gue udah bilang tentang kemungkinan ini hari ini bakal dateng sejak lama. Mereka ngebebasin sepenuhnya ke gue. Lagian Jakarta-Australi beda 4 jam, wich is sekarang disana udah jam sembilan malem, mereka pasti udah tidur."

Citra hanya mengangguk "terus saksinya selain gue siapa? Minimal harus ada 2 saksi."

"Agra. Gue mau Agra ada dan ngeliat gue bersyahadat, Cit." Citra mendadak bungkam karena jawaban Kena.

Mendadak terror rasa penasaran tentang dimana rimba manusia satu itu kembali melingkupinya. Dia melirik layar ponselnya. Tidak ada jawaban apapun dari Agra. Bahkan pensanya masih terpampang dengan tanpa contreng satu yang artinya jangankan untuk dibaca, terkirim saja tidak.

"Lo bisa tolong telfon Agra sekarang gak, Cit?" Apaboleh buat, Citra hanya bisa mengangguk, dengan terpaksa menghubungi nomor si penghuni pluto.

Nomor yang anda tujui sedang tidak dapat menerima panggilan

Seperti dugaanya, yang Ia dapati hanya suara operator yang menandakan hp Agra tidak aktif.

"Gimana, Cit?" Mata Kena memelas.

Ingin sekali rasanya Citra bilang kalau  'bang toyib new version itu gak akan ada kabar, Ken kalo udah begini' . Tapi Citra paham betul, berpindah keyakinan adalah suatu momen yang sakral. Kena pasti mau orang-orang yang berarti buatnya ikut menyaksikan momen itu dan satu-satunya orang yang kena pinta selain dirinya cuma Agra. Setega apa Citra kalau sampai hati bilang bahwa Agra tak mungkin muncul.

Bad Boy Syar'iTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang