2 Hari yang lalu
Abdullah memejamkan matanya di dalam lift.
Kejadian ketika Ia menampar Agra tadi terus berputar di kepalanya layaknya sebuah film.
"Maafin papa, Gra. Semua demi Mama kamu.." suara lirihnya disambut dengan dentingan lift. Ia sudah sampai di lantai 3.
Abdullah membuka matanya, memantapkan langkah menuju pintu bernomor 305 yang berada di ujung lorong.
Begitu laki-laki itu sampai, seseorang langsung membuka pintu.
"Serius mau nebus Ratih, ternyata si Bos." Sosok perempuan di akhir umur 60-an yang terlihat jauh lebih muda dari umurnya, seseorang yang akrab disapa; Mami Berlin.
Abdullah mengedarkan pandangan menyelidik ke dalam aprtemen yang sekelas dengan rumah mewah 2 lantai itu.
"Saya gapunya banyak waktu, ini checknya." Abdullah menyodorkan selembar kertas dengan nominal tertulis 1 miliard rupiah.
Ketika Mami Berlin hendak mengambil kertas itu, Abdullah dengan cekatan menariknya kembali. "Mana Ratih?" Tagihnya tak mau terkena muslihat perempuan licik itu.
"Hahahaahahahaha" Mami Berlin tertawa, kemudian memandang Abdullah dengan tatapan tajam dan seulas senyum. Orang yang tak mengenalnya pun bisa memberi tau nenek tua itu psikopat, hanya dengan melihat ekspresinya sekarang.
"Sabar dulu lah tuan, saya perlu mengecek banyak hal, mana tau ada satu nol yang tuan singkirkan dari nominal yang saya minta. Yang mau tuan tebus ini primadona Berlin's Bordil bukan? Mana bisa saya beri sembarangan." Perempuan tua itu memainkan nadanya seolah tengah berbicara tentang jual beli sebuah permen berharga 500 rupiah pada bocah laki-laki. Tentu masih dengan senyum anehnya.
Mami Berlin membuka pintu lebar-lebar, mengisyaratkan Abdullah untuk memasuki mansion miliknya.
Abdullah tau betul watak wanita keji satu itu, ketimbang memperpanjang resiko, dia memilih mengikuti isyarat Mami Berlin, agar semua ini berakhir dengan cepat.
Sekarang mereka berdua duduk di sofa ruang tengah. Diatas meja, sudah disediakan 3 cangkir teh hangat.
Begitu duduk di sofa, Abdullah langsung melempar cek di tanganya ke atas meja.
"Tidak ada satu nolpun yang saya kurangi. Saya tidak punya waktu banyak. Mana Ratih?!"
Mami Berlin mengambil check yang dilemparkan ke arahnya itu, meneliti satu demi satu angka nol yang tertulis, kemudian menarik salah satu sudut bibirnya.
"Pas. 1 miliard." Kata Mami Berlin tersenyum. "Santai dulu Tuan, pasti akan aku panggilkan, tapi mengobrol dengan tuan ini sepertinya menarik. Akan kupanggilkan setelah teh tuan habis, bagaimana?" Tawarnya sambil lagi-lagi tersenyum dan menaikkan sebelah alis.
"Jangan main-main! Saya bilang saya tidak punya waktu! Bawa Ratih kesini?!" Bentakan Abdullah justru terasa seperti suntikan morfin yang membuat wanita tua itu semakin lebar tersenyum.
Mami berlin memencet tombol interkom apartment ya ada di nakas kecil di sebelah kursinya.
"Hei, cepat keluar." Sepertinya interkom itu terhubung dengan salah satu ruangan di apartmen megah ini, dan orang yang diperintahkan untuk keluar lewat interkom, jelaslah Ratih.
"Santai tuan, tak perlu teriak-teriak pagi-pagi buta begini, jalang satu itu sebentar lagi keluar."
Abdullah tak menanggapi kata-katanya.
"Tuan dan Istri tuan, Nyonya Maryam Asyifa itu sepertinya memang benar berjodoh." Tiba-tiba Mami Berlin membuka suara lagi. "Sembilan belas tahun lalu Istri Tuan datang ke rumah bordil saya menawarkan angka yang fantastis untuk membebaskan primadona rumah bordil kami saat itu, hanya untuk dijadikan pengurus anak-anak kecil di panti asuhan sampai hari ini." Wanita yang dimaksud Mami Berlin itu adalah; Bunda.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy Syar'i
Espiritual#8 in Spiritual 26-03-17 #10 in Spiritual 24-03-17 Takdir 'ketimpuk sendal merah' yang membuat Agra akhirnya mengenal sosok gadis itu, gadis yang menurutnya tinggal stok satu di bumi ini. Gadis yang membawa hidupnya jadi warna warni kaya pelangi.