Semua Yang Pergi

105 8 0
                                    

2 hari yang lalu

Mobil mercedez-Benz hitam yang sedari tadi melaju berhenti persis di depan lobby apartment mewah di kawasan Jakarta selatan.

Abdullah turun terlebih dahulu disusul dengan perempuan yang sedari tadi duduk di sebelahnya.

4 orang Bodyguard Mami Berlin—mucikari yang sudah terkenal dikalangan para pejabat dan pengusaha besar— terlihat langsung mengawal kedua orang itu begitu memasuki hotel.

"Ini kuncinya, lantai 3, nomor 305." Salah seorang dari 4 lelaki berbadan kekar mengerahkan access card ke tangan Abdullah.

Perempuan di samping Abdul berdiri gemetar. Wajah girangnya sudah sirnah semenjak 4 lelaki kekar suruhan Mami Berlin menghampiri mereka. Kedua ibu jarinya tertaut memainkan ujung-ujung kuku untuk menutupi rasa takutnya yang terlalu kentara.

"Pak, bapak serius? Kalo kita udah ketemu Mami Berlin, Bapak gak bisa mundur, Pak."

Abdullah tak merisaukan keraguan wanita itu, tanganya memencet tombol lift.

Ting

Pintu lift terbuka.

Di detik yang sama ketika kaki Abdullah hendak memasuki lift, sebuah tangan menahan pundaknya, membuat langkah laki-laki paruh baya itu terhenti.

Mata Abdullah terbelalak melihat sosok yang kini berdiri tegak di depanya sambil mengeraskan rahang.

"AGRA?!"

Perempuan disampingnya menatap mereka bedua, bingung.

"Agra gak nyangka, Pa.." Sekuat tenaga pria itu menahan amarah sekaligus air matanya. "Agra gak nyangka, orang yang paling Agra hormati ternyata se-amoral ini." Agra mengucapkanya dengan sangat datar.

"G—Gra.. K—Kamu ngapain disini?" Suara Abdullah bergema. Jam setengah dua pagi, jelas tidak ada orang selain mereka bertiga disana.

"Agra yang harusnya tanya, Papa ngapain disini?"

Hening dalam hitungan beberapa detik sampai mulut Agra kembali terbuka.

"Pa,"

tenggorokan Agra terasa sakit, suaranya parau karena berusaha terlalu kuat menahan amarah. "Yang ngerasa kehilangan Mama dan Arinda bukan cuma Papa, Pa... Agra juga ada di posisi yang sama." Mata Agra kini memerah.

"Apa Agra pernah ngelarang papa buat nikah lagi? Enggak kan Pa?"

Tidak Ada jawaban, Abdullah hanya berusaha mengalihakan pandanganya dan sesekali menunduk, persis seperti orang yang sedang merasa bersalah.

"Agra akuin sejujurnya, Agra juga masih pengen mama balik."

Agra berhenti sejenak, perasaan yang selama ini ia timbun; rasa yang selalu ia bentengi akhirnya tumpah. Agra kalah telak dengan takdir yang selama ini Ia lawan.. melihat ayahnya dengan pelacur membuat hatinya marah. Marah karena dibohongi dan marah karena ibunya telah dikhianati—meskipun sebenarnya, istri yang tiba-tiba pergi meninggalkan keluarganya lah yang patut disematkan predikat seorang penghianat—

Agra tak bisa bohong. Jauh dilubuk hatinya selalu ada rindu untu Mamanya, rindu yang selalu berusaha Ia usir dan berujung amarah pada dirinya sendiri.

"Agra lebih seneng punya ibu tiri ketimbang harus dibohongin tentang kerjaan Papa terus tiba-tiba nemuin Papa sama perempuan bayaran gini!!"

"Gra, Papa bisa jelasin"

"Apa, Pa? Mau bilang semuanya gak kaya yang aku liat?" Agra tertawa sinis. "Sinetron banget!" Sambungnya ketus.

Mereka berdua sama-sama kalut dalam debatnya, sampai tak sadar perempuan yang jadi sumber pertengkaran malam ini mematung dengan seribu rasa bersalah.

"Mas, maaf saya bi—"

"Saya ga ngomong sama anda!!" Perempuan itu hampir melompat kaget karena bentakan Agra yang tiba-tiba dan dengan nada begitu tinggi.

"Udah Ratih, gakpapa ini urusan saya sama anak saya. Kamu naik aja ke atas duluan, bilang sama Mami Berlin saya bawa seluruh jumlah uang yang dia minta. Kamu tenang aja, dia gak akan berani nyakitin kamu."

"T..tap..pi Pak," bantahnya terbata.

"Naik Ratih, sekarang!" Perpepuan yang disapa Ratih itu tak punya pilihan selain mengikut instruksi Abdullah.

Agra sampai kehabisan kata-kata melihat adegan yang terjadi di depan matanya sekarang.

Bisa-bisanya Abdullah tetap melindungi wanita simpananya itu. Bahkan mungkin akan tetap melanjutkan transaksi biadabnya—Agra tau siapa Mami Berlin yang disebut-sebut oleh ayahnya

Tepat sebelum pintu lift yang dinaiki Ratih tertutup, Agra mengeluarkan sebuah kalimat.

"Perempuan sampah!" Kepala Ratih yang sedari tadi tertunduk, refleks menatap sang empunya suara.

Satu tetes air mata jatuh begitu saja ke pipi mulusnya sejurus kemudian pintu lift tertutup dan membawa tubuh gadis yang tengah menangis itu naik.

PLAKKK

Sepersekian detik setelah tubuh gadis itu menghilang dari pandangan mereka berdua, tangan Abdullah mendarat tepat di pipi kanan Agra.

"PAPA GAK PERNAH NGAJARIN KAMU KURANG KAYA GITU SAMA PEREMPUAN!!" Abdullah yang sedari tadi hanya menerima segala makian anaknya, kini justru meninggikan suara dengan nada yang lebih keras.

Keheningan menyeruak setelah pria itu menampar dan meneriaki putra sematawayangnya.

Abdullah terdiam.

Menyesali apa yang baru saja dilakukanya seperti orang kehilangan kontrol, sementara Agra mematung.  Tak menyangka ayahnya menampar dan memaki dia demi membela seorang pelacur.

"Gra.. Papa minta maaf, Gra. Papa gak bermaksud—" bahkan Abdullah tidak sanggup meneruskan kata-katanya sendiri.

Agra hanya bergeming di tempatnya. Tidak! Dia tidak boleh menangis di depan seorang hidung belang yang mengajarinya prihal 'cara menghormati perempuan'. Dia tidak mau mememperlihatkan setetes air matapun di hadapan Papanya.

Abdullah melirik jam tangan.

Ada banyak hal yang ingin Abdullah jelaskan pada Agra namun bukan sekarang, sebab Mami Berlin tidak akan segan menyakiti Ratih kalau-kalau dia sebal karena menunggu terlalu lama.

"Gra, Papa bener-bener minta maaf.. banyak hal yang harus papa jelasin ke kamu, tapi gak sekarang. Kita selesain semua dirumah."

Tanpa menunggu jawaban Agra, Abdullah pergi menuju lift lain di belakang Agra yang kebetulan terbuka.

Sekarang hanya ada Agra yang masih mematung di tempatnya.

Seisi ruangan sunyi. Kepala Agra kosong. Ia baru tau ternyata seperti ini rasanya benar-benar ditinggalkan.

'Bahkan dia tetep pergi, satu-satunya orang yang saya punya.' lirih Agra dalam hati.

Laki-laki itu tertawa, sorot matanya kosong dan satu persatu bulir air matanya mulai jatuh.

Siapapun yang mengenal Agra tidak akan menyangka lelaki itu bisa berada di titik serendah ini dengan kondisi semengenaskan sekarang.

Bad Boy Syar'iTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang