Ara melangkahkan kaki keluar dari Mixme. Tatapannya kosong dengan isi kepala berkecamuk. Ara berhenti sebentar ketika sudah agak jauh dari pintu keluar. Kalimat dari Hani tadi terus terngiang di kepalanya.
"Aro tulus sama lo...."
Ah, masa sih?
Ara menggeleng pelan, akan melangkahkan kaki lagi sebelum sebuah tangan menggenggam lengannya.
"Ra."
Ara menoleh ke belakang, tempat seseorang memanggil namanya. Mata Ara melebar ketika melihat siapa yang memanggil namanya.
"What the... Pan?! Lo jadi ke sini?!"
Cowok itu nyengir bodoh sambil garuk belakang kepalanya.
"Ah, itu....."
Belum selesai kalimat Jovan, seorang cowok dengan hoodie ungu keluar dari Mixme. Matanya memang tidak menatap Ara. Tapi hanya dengan gerakan cowok itu menyingkap rambutnya saja membuat Ara terpaku.
Ara masih menatapnya, sampai cowok itu balas menatapnya. Bibir tebal cowok itu terbuka kecil. Kebiasaan kecilnya ketika sedang fokus menatap sesuatu.
Ara ingin menoleh, menyudahi tatapan itu. Tapi kedua manik itu seakan menguncinya. Membuatnya larut, tenggelam dalam gravitasi yang diciptakan mata memikat itu.
"Maaf."
Satu kata singkat yang terlontar dari bibir cowok itu, membuat bibir Ara bergetar. Suara lembutnya. Lirih namun jelas terdengar di antara ramainya Jakarta malam itu.
Ara ingin berkata. Ingin mengucapkan semua yang selama ini tertahan. Bahwa dia rindu sosok di depannya itu. Dia rindu aroma apel dari rambut hitam cowok itu. Dia rindu tawa lucu cowok itu. Atau juga ringisan imut cowok itu.
Dia rindu semuanya. Tapi kalau dia melakukan kilas balik, dia merasa bersalah.
Dia yang merusak hubungan Aro dan Hani. Dia yang membuat Aro meninggalkan Hani. Dia yang membuat Aro akhirnya tersakiti oleh pilihannya sendiri.
Dia juga yang membuat Aro berharap lebih padanya, yang kini hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri.
"Maaf."
Ara menggeleng kecil. Itu bukan salah Aro. Ini semua salah Ara. Seandainya saja saat itu Aro tidak bertemu Ara. Seandainya saja saat itu Ara tidak buru-buru mendaftar SMA. Seandainya saja saat itu Ara bertingkah seperti cewek kebanyakan yang sangat mengagumi Aro. Tentu semuanya tidak akan jadi seperti ini.
"Ra?"
Ara mengerjap kecil sebelum berbalik. Jackson berdiri di sana dengan tatapan sendunya. Ara ingin berlari ke arah kakaknya itu dan menangis keras-keras di dadanya.
Tapi ya masa sekarang?
Malu lah kan di tempat umum.
Jadi Ara hanya berdeham kecil lalu berbalik dan menatap Jovan.
"Gue duluan," pamitnya pelan lalu menatap Aro sebentar sebelum akhirnya berjalan menuju Jackson dan motornya.
Jackson menatap Ara yang hanya mengenakan baju seperempat lengan dan celana jeans. Tidak ada pertahanan sama sekali dari hawa dingin membuat Jackson berdecak karena dia juga hanya memakai kaos lengan panjang, bukan jaket.
Sebuah tangan menahan pundak Ara membuat Ara menoleh cepat. Aro sudah berdiri di depannya dengan kaos hitam lengan pendek. Di tangan kanannya tersampir hoodie ungu miliknya.
Tanpa kata, Aro segera memakaikan hoodie itu ke tubuh Ara. Ara yang dipakaikan hanya diam, tak mampu berkata apa-apa. Tubuhnya kaku, membuat Aro sedikit kesusahan memakaikan hoodie ungunya pada Ara.
"Udah malem, dingin. Hoodie gue dipake. Baik-baik, ya," pesan Aro lalu menepuk pundak Ara pelan sebelum berbalik dan berjalan menjauh yang diikuti Jovan.
Ara masih terdiam. Menatap punggung Aro yang hanya dilapisi kaos hitam.
Pasti dingin.
"Ra, ayo," panggil Jackson membuat Ara segera mengerjap dan naik ke jok belakang motor Jackson.
Jackson hanya menghela nafas kecil sebelum melajukan motornya membelah malam dingin Jakarta.
[A/N]
ini visualisasi Aro waktu keluar dari Mixme
Wajah sendu Aro ketika menatap Ara.............................
hngg..... Aro jangan sedih dong:(
Apa Aro sama aku aja kali ya?:(
KAMU SEDANG MEMBACA
Playboy Next Door | ✔ #YOURKIDUCE
Novela JuvenilNamanya Aro. Dia ganteng. Dia pinter. Dia tinggi. Dia jadi favorit cewek-cewek. Tapi Kiara nggak suka sama dia. Karena dia playboy. Dia songong. Dia sok. Dia temen sekelas Kiara. Dan yang paling bikin Kiara enek sama dia, karena dia tetangga Kiara. ...